Sejumlah WNI berbagi cerita saat menjalani puasa di negara asing di tengah pandemi Covid-19. Kendati jauh dari rumah dan kondisi normal, mereka tetap menyambut Ramadhan dengan sukacita.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
Di ”Benua Biru”, azan tidak berkumandang setiap hari seperti di Tanah Air. Ramadhan di sana dijalankan dalam diam, bahkan acap kali dijalankan secara soliter. Dalam heningnya Ramadhan kali ini, terselip doa agar pandemi Covid-19 segera usai.
Siti Widyastuti Noor (24), diaspora Indonesia di Belanda, masih merasakan suasana Ramadhan yang guyub tahun lalu. Kota Wageningen yang tidak mengenal hiruk pikuk Ramadhan mendadak hangat karena dijalani bersama teman-teman sesama WNI. Kini, kehangatan itu cukup dirasakan dari layar gawai masing-masing saat mereka bertukar kabar.
”Tahun lalu belum ada pandemi Covid-19. Jadi, aku dan para mahasiswa Indonesia masih bisa bikin acara buka puasa bareng seminggu sekali. Kami tidak bisa buat acara seperti itu tahun ini. Tanpa pandemi saja, suasana Ramadhan di sini sudah sepi,” kata Siti saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (30/4/2020) sore.
Buka puasa kini dijalani dengan teman-teman serumah. Agar semangat Ramadhan tetap menyala, kadang mereka masak bersama. Mereka lalu barter makanan dengan WNI lain. Momen barter ini, walau hanya sebentar, dirasa cukup mengobati rindu. Apalagi, yang disantap adalah masakan khas Tanah Air.
Waktu berpuasa di Belanda lebih lama dibandingkan di Indonesia. Puasa dimulai sekitar pukul 05.00 hingga 21.00 atau sekitar 16 jam, sedangkan di Indonesia puasa berlangsung sekitar 13 jam. Kebijakan bekerja dari rumah selama pandemi setidaknya mengurangi beban puasa. Mereka bisa menghemat energi, namun tetap produktif.
Tahun lalu belum ada pandemi Covid-19. Jadi, aku dan para mahasiswa Indonesia masih bisa bikin acara buka puasa bareng seminggu sekali. Kami tidak bisa buat acara seperti itu tahun ini. Tanpa pandemi saja, suasana Ramadhan di sini sudah sepi.
Keheningan Ramadhan juga dirasakan Ina Fajrina (24), diaspora Indonesia di Sydney, Australia. Ini adalah pengalaman pertamanya berpuasa di negeri orang. Durasi puasa 12 jam ia lalui dengan baik. Selain lebih singkat, puasa terasa ringan karena suhu udara di Australia lebih dingin dari Indonesia.
”Puasa di Indonesia lebih melelahkan akibat udara yang panas. Berbeda dengan di sini. Tetapi, suasana Ramadhan agak kurang terasa karena Pemerintah Australia memberlakukan lockdown (penutupan wilayah),” kata Ina, Rabu.
Penutupan wilayah membuat umat Islam tidak dapat melaksanakan shalat Tarawih di masjid. Buka puasa bersama juga tidak boleh dilakukan. Segala kegiatan dan ibadah pada bulan suci pun dilakukan di rumah bersama anggota keluarga.
”Di sisi lain, ibadah jadi lebih khusyuk. Waktu yang ada selama di rumah dipakai untuk aktivitas positif, misalnya membaca doa,” kata Ina.
Puasa sendirian
Sebelum pandemi melanda, warga Italia dikenal gemar bersosialisasi. Mereka berkumpul bersama teman di mana saja, entah di bar, warung kopi, ataupun perpustakaan. Kondisi berubah ketika pemerintah menerapkan penutupan. Perkumpulan yang semula menyenangkan kini berpotensi menyebarkan virus SARS-CoV-2.
”Mereka adalah tipe yang work hard, play hard. Nongkrong adalah kegemaran mereka. Kegiatan itu sekarang bergeser ke panggilan video,” kata Fauzi Rogera (26), mahasiswa Indonesia di Ravenna, Italia.
Suasana kota Ravenna kini sepi. Ramadhan pun menjadi semakin hening dibuatnya. Tidak ada kumandang azan di kota kecil itu. Teman-teman sesama Muslim pun tinggal terpisah dengan Fauzi. Mau tak mau, ibadah tahun ini dijalani sendirian.
Ia sempat mengaku kesepian mengingat budaya Ramadhan di Indonesia selalu dilakukan beramai-ramai. Namun, menurut dia, beribadah sendirian pun tidak masalah. Jika rindu keluarga, ia tinggal menelepon mereka dengan panggilan video sambil berbuka atau sahur.
Menjalani puasa di rumah dinilai punya sisi positif. Puasa 17 jam menjadi tertahankan bagi warga asal Bekasi tersebut. Waktu untuk salat Tarawih pun jadi lebih efisien karena dilakukan sendiri
Waktu refleksi
Menjalani Ramadhan di tengah pandemi tidak mengurangi esensi dan nilai spiritualitasnya. Beberapa orang menilai ini adalah masa untuk berefleksi menjadi manusia yang lebih baik di masa depan.
Diaspora Indonesia di London, Inggris, Chavia Zagita (25), memaknai Ramadhan tahun ini dengan merefleksikan kehidupan. Penutupan di Inggris akibat pandemi membuatnya terkurung di rumah selama berminggu-minggu. Selama itu pula, ia punya banyak waktu untuk mengevaluasi dirinya.
”Ambil hal-hal baiknya dari keadaan (pandemi) ini. Aku jadi punya kesempatan berefleksi. Apa yang bisa diperbaiki dari diri sendiri? Apa rencana di masa depan? Lebih kurang itu yang aku pikirkan,” kata Chavia.
Ramadhan juga jadi ajang mempererat persaudaraan dengan teman-teman serumah. Sahur, buka puasa, memasak, dan mengaji dijalani bersama-sama. Ketika ia sedih mengingat Lebaran mungkin dilalui di rumah, Chavia segera menyibukkan diri dengan tugas kuliah. Ia juga mengalihkan kesedihan dengan menghubungi teman-temannya yang lain.
Hal ini disepakati Siti Widyastuti. Menurut dia, Ramadhan di negara asing saat pandemi tidak perlu diratapi berlebihan. Sebab, bulan ini merupakan kesempatan beribadah, berefleksi, dan menjadi lebih baik.
”Apakah kita mau bersedih terus selama sebulan? Aku pernah merasa sedih karena berpuasa sendirian. Tetapi, pada akhirnya itu tidak mengubah esensi Ramadhan. Mari manfaatkan momentum ini untuk beribadah,” kata Siti.
Aku pernah merasa sedih karena berpuasa sendirian. Tetapi, pada akhirnya itu tidak mengubah esensi Ramadhan. Mari manfaatkan momentum ini untuk beribadah.
Terlatih menjalani Ramadhan sendiri di negara asing membawa nilai positif bagi Siti. Ia kini menjadi penyemangat keluarganya di Indonesia. Sebab, Ramadhan pertama tanpa suasana guyub sempat membuat keluarganya sedih.
Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar mengingatkan umat Islam agar mengutamakan kesehatan di masa pandemi ini. Imbauan pemerintah untuk tidak pergi shalat di masjid dan berkumpul dengan banyak orang hendaknya dipahami.
Ia mengatakan, segala kegiatan ibadah dapat dilakukan di rumah. Salat Tarawih yang selama ini dilaksanakan di masjid juga dapat dilaksanakan di rumah. Pasalnya, shalat Tarawih merupakan ibadah sunah sehingga tidak wajib dilaksanakan di masjid (Kompas, 23/4/2020).
Ramadhan kali ini mungkin berat untuk umat Islam di seluruh dunia. Namun, pandemi membumikan kembali makna ibadah yang khusyuk. Pandemi mengingatkan bahwa kehadiran Sang Pencipta hanya sejauh doa.