Peraturan pemerintah pengganti undang-undang tentang penundaan pilkada akibat Covid-19 hingga kini belum ada. Politisasi bantuan sosial pun dimungkinkan karena ketidakpastian penundaan pilkada lewat perppu tersebut.
Oleh
PDS/INK
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Politisasi bantuan sosial bisa terjadi karena hingga kini belum ada kepastian penyelenggaraan pilkada yang sebelumnya ditunda akibat pandemi Covid-19. Jadwal pasti Pilkada 2020 dari sebelumnya 23 September menjadi 9 Desember mendatang pun hingga kini masih belum ditetapkan karena belum ada peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau perppu tentang penundaan pilkada.
Untuk itu, saat diskusi secara daring bertajuk ”Perempuan, Pendidikan Politik, dan Upaya Mencegah Politisasi Program Penanganan Covid-19”, di Jakarta, Minggu (3/5/2020), Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mendesak pemerintah memberikan kepastian hukum dengan menerbitkan perppu penundaan pilkada.
”Untuk menghindari politisasi program penanganan Covid-19, pilkada ditunda ke 2021 sehingga tak ada irisan program penanganan Covid-19 dengan agenda elektoral,” kata Titi.
Politisi Partai Persatuan Pembangunan, yang juga aktivis Maju Perempuan Indonesia, Lena Maryana Mukti, menambahkan, pencegahan politisasi bansos dapat dilakukan dengan sosialisasi pendidikan politik kepada masyarakat. Ia pun mendorong Badan Pengawas Pemilu menetapkan sanksi tegas bagi calon yang mengambil keuntungan pribadi dalam pemberian bansos yang menggunakan APBN ataupun APBD.
Untuk menghindari politisasi program penanganan Covid-19, pilkada ditunda ke 2021 sehingga tak ada irisan program penanganan Covid-19 dengan agenda elektoral.
Belum pastinya jadwal Pilkada 2020 yang ditunda dinilai juga oleh pendiri Institut Otonomi Daerah yang juga Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan, turut memperbesar peluang praktik politisasi bansos. ”Akarnya itu dari tradisi pemilihan kepala desa di Jawa. Biasanya, untuk merayu pemilih, kandidat kepala desa bagi-bagi sembako, uang, hingga makanan,” ujar Djohermansyah.
Terkait pemanfaatan bencana nonalam saat Covid-19, Djohermansyah menyatakan, hal itu merupakan fenomena baru. Praktik tersebut mengambil keuntungan dengan cara mudah. Apalagi jika ada pihak-pihak yang hendak maju pada momen pilkada. Kondisi pandemi seperti saat ini dianggap momen bagus membangun simpati pemilih karena tanpa ongkos dan relatif hanya bermodalkan stempel.
Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Muhammad Ihsan Maulana, menyatakan hal senada. Jika pemerintah mengundur-undur penerbitan perppu, tahapan dan jadwal pilkada bakal semakin tak pasti. Hal ini membuat peluang praktik politisasi bansos cenderung terbuka.
Surat edaran Bawaslu
Kepala daerah dilarang menyalahgunakan wewenang dan jabatannya yang bisa menguntungkan atau merugikan pasangan calon saat pemberian bansos di masa Covid-19. Mereka akan dikenai sanksi berupa pembatalan sebagai calon.
Sementara itu, terkait dugaan penyalahgunaan bansos untuk kampanye pilkada di Klaten, Jawa Tengah, dan di Lampung, anggota Komisi Pemilihan Umum, Hasyim Asy’ari, mengatakan, kepala daerah dilarang menyalahgunakan wewenang dan jabatannya yang bisa menguntungkan atau merugikan pasangan calon saat pemberian bansos di masa Covid-19. Mereka akan dikenai sanksi berupa pembatalan sebagai calon. Larangan itu tercantum dalam Pasal 71 Undang-Undang 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Anggota Badan Pengawas Pemilu, M Afifuddin, mengatakan, untuk mencegah politik uang dan penyalahgunaan bansos pada Pilkada 2020, Bawaslu menerbitkan surat edaran pencegahan pelanggaran Pilkada 2020 yang ditujukan kepada Bawaslu provinsi dan kabupaten/kota.