Liputan Perang Irak (1): Disambut Ledakan Bom Saat Menembus Irak
Baru setengah jam menginjakkan kaki di Hotel Palestine, kami sudah mendengar ledakan bom yang bisa menggetarkan lantai hotel. Dentuman suara itu dibarengi rentetan peluru selama sekitar 15 menit.
Pada tanggal 19 Maret 2003 dini hari, Presiden Amerika Serikat George W Bush memerintahkan pasukan Koalisi pimpinan AS melancarkan serangan udara atas ibu kota Irak, Baghdad. Itulah awal perang yang menyebabkan Presiden Irak Saddam Hussein kehilangan kekuasaan, bahkan sempat menjadi buronan tentara sekutu, hingga kemudian diadili dan dijatuhi hukuman gantung.
Kira-kira tiga hari setelah serangan itu, saat di newsroom Kompas, tiba-tiba Pemimpin Redaksi Suryopratomo mendekati saya yang tengah duduk di meja kerja. ”Kir, kamu berangkat ke Irak, ya. Bisa bahasa Arab, kan,” ujar Mas Tomi, panggilannya, tanpa memberikan celah untuk menolak.
Saya yang baru menyelesaikan tugas sebagai wakil pimpinan proyek Tim Natal dan Lebaran (waktu itu jeda antara Natal dan Lebaran kurang dari sebulan) hanya bisa terperangah. Akan tetapi, karena sudah perintah, saya hanya bisa menjawab, ya. Sempat termenung sebentar sebelum kemudian saya minta waktu ke Mas Tomy untuk pulang ke kampung halaman di Sumenep, Madura.
Baca juga : Belajar Menghargai Hidup dari Kematian Seseorang
Saya lupa apa yang terbayang di benak saat itu, kok tiba-tiba ingin pulang ke Sumenep setelah mendapat tugas tersebut. Sesampainya di Sumenep, saya menghadap guru saya, KH Said Abdullah dan KH Zaini, untuk meminta restu. Dari kedua beliau, saya diberi semacam bacaan untuk dibaca setiap saat, mulai dari berangkat sampai kembali ke Jakarta.
Ada yang menarik ketika kembali dari Sumenep. Di pesawat, saya bertemu dengan seorang kiai pesantren, yang saya lupa namanya. Beliau langsung bertanya, ”Kapan berangkat ke Irak?”
Saya mengingat itu sebagai hal yang mengejutkan karena tak banyak orang tahu saya akan berangkat ke Irak. Di Jakarta, saya berusaha mendapatkan visa ke Irak. Namun, Kedutaan Besar Irak tak lagi mau mengeluarkan visa.
Saya diberi tahu Mas Tomi bahwa Mas Herman Darmo, bos Tribun, sudah memberangkatkan Dahlan Dahi ke Irak, tetapi masih tertahan di Amman. Terpaksa saya terbang ke Amman, Jordania, untuk mencari visa Irak di sana. Tanggal 26 Maret 2003, saya terbang ke Amman dan tiba di sana pukul 12.00 siang.
Di atas pesawat Jordan Air, saya berbincang dengan pramugari yang berasal dari Indonesia. Dia pun bertanya berapa lama saya di Amman dan untuk keperluan apa. Menurut dia, di Amman sedang banyak demonstrasi karena ada perang di Irak. Saya mencoba menggali cerita dari pramugari itu agar mendapatkan gambaran tentang kota Amman.
Baca juga : Jangan Ada Dusta di Antara Kita
Setibanya di kota Amman, saya segera mencari losmen yang ditinggali Mas Dahlan. Ternyata Amman kota yang enak dihuni dan tidak terlalu sibuk seperti Jakarta. Kami berdua tinggal di sebuah hotel dekat pasar, kawasan yang biasa dijadikan lokasi demonstrasi warga Amman untuk mendukung perjuangan rakyat Irak.
Baru menginap semalam di Amman, seusai shalat Jumat tanggal 28 Maret 2003, digelar demontrasi yang diikuti ribuan peserta. Mereka lantang berteriak, birruh bidam li ajlika ya Saddam (dengan jiwa dan darah kami, untukmu ya Saddam).
Dengan bekal bahasa Arab yang pas-pasan, esok paginya saya memberanikan diri pergi ke pasar kota Amman. Saat itu, banyak orang berjualan video compact disc (VCD) bajakan lagu-lagu Arab yang dijual seharga 1 dinar Jordania-2 dinar Jordania atau Rp 27.000 saat itu.
Ketika hendak membayar harga tersebut, penjual bertanya, ”Anda dari mana?” Saya jawab, ”Dari Indonesia.”
Penjual itu kembali bertanya, ”Apakah di Indonesia banyak orang Islam?” Saya jawab, ”Banyak sekali, lebih dari 150 juta orang.”
Baca juga : Sulitnya Menemui Penyintas Covid-19 yang Jadi Korban Hoaks Pemberitaan Media
Dia kaget, kok bisa sebanyak itu. Dengan bahasa Arab sebisanya, saya berusaha menjelaskan, tetapi jadi bingung sendiri karena setelah menjelaskan berkali-kali penjual itu tetap bilang tidak mengerti.
Ketika pamitan pulang, tiba-tiba dia memberi tahu, jika ingin menonton film ”triple x”, bisa ke bangunan di tengah pasar dan membeli tiket lewat dirinya. Film itu diputar setiap seusai shalat Dzuhur, kecuali hari Jumat.
Saya pun terkejut dan bingung. Negara dengan bahasa resmi Arab dan masih termasuk kawasan Timur Tengah memiliki tontonan yang aduhai.
Kami pun janjian untuk menonton. Lebih aneh lagi, tiba di bangunan itu, ternyata banyak sekali orang berpakaian lengkap tradisi Arab menunggu di pintu masuk. Ada yang memakai jubah atau gamis dan berkafiyeh.
Di Indonesia, pakaian seperti itu banyak dipakai ketika orang baru pulang haji sehingga di benak saya pakaian itu identik dengan kesalehan. Ternyata, di Amman yang saya lihat sebaliknya.
Sesampainya di losmen tempat menginap, kami mencoba menyetel VCD yang dibeli di pasar. Saya lupa nama penyanyi perempuan yang VCD-nya saya beli itu. Yang jelas, dia tidak memakai kerudung, burqa, atau sejenisnya. Penampilannya mirip Celine Dion atau penyanyi Barat lainnya, lengkap dengan lenggak-lenggok tubuhnya yang aduhai.
Baca juga: Kisah Fotografer Kompas Meliput Pandemi Covid-19
Kami tinggal di Amman lebih kurang 11-12 hari, yang akhirnya bisa masuk Irak lewat darat dengan menyewa mobil.
Selama di Amman, setiap hari kami berusaha mendatangi Kedutaan Irak di Amman dan Kantor Kementerian Luar Negeri Jordania untuk mencari berita soal Irak. Kedutaan Irak lebih banyak menerima tamu warga Irak yang ingin pulang dan tidak menerima permintaan visa.
Di luar kedutaan, beberapa orang warga Jordania dan Irak menawarkan visa dengan harga yang cukup mahal, 1.000 dollar AS. Banyak wartawan dari Barat yang mencoba peruntungan itu, tetapi hanya sedikit yang berhasil.
Kami pun ikut mencoba mendekati para calo itu, tetapi risiko tidak dapatnya lebih besar sehingga kami pun memutuskan untuk menunggu waktu yang tepat.
Kami sempat mengunjungi kamp pengungsi Irak di kota Ar Ruwayshid, di perbatasan Irak-Jordania. Kami bertemu sejumlah pengungsi dan aktivis badan kemanusiaan PBB.
Jarak 300 kilometer dari Amman ke Ruwayshid ditempuh dalam waktu 5-6 jam dengan taksi. Ketika berada di Ruwayshid inilah, kami bertukar informasi dengan wartawan dari seluruh dunia. Sebagian besar mereka juga tinggal di Amman.
Baca juga : Natal yang Tertunda
Saya lupa harinya, ketika suatu pagi, kami mendapat kabar bahwa perbatasan Irak dan Jordania yang dikawal tentara Jordania dan sekutu akan dibuka. Seperti tidak percaya, kami langsung bersiap pergi ke kota di perbatasan, Ruwayshid.
Waktu itu, kami berempat karena belakangan ikut bergabung Despen Omposungu dan Dedy dari TV7. Sama seperti wartawan lainnya, kami pergi dulu ke sebuah pangkalan sewa mobil di Amman yang biasa melayani perjalanan ke Baghdad.
Mereka memberi harga sewa cukup tinggi. Namun, setelah ditawar, tercapai kesepakatan 1.000 dollar AS. Belakangan terungkap, selama 10 hari terakhir, mereka sudah jarang mendapat pengguna yang mau masuk ke Irak. Mobil sewaan mereka lebih banyak berputar-putar di sekitar Amman dan Ruwayshid.
Sesampainya di perbatasan, kepastian pembukaan perbatasan ternyata masih simpang siur. Kami sempat seperti orang telantar karena duduk menunggu lebih dari delapan jam di mulut perbatasan. Menjelang dini hari, tiba-tiba kendaraan wartawan yang di depan bergerak cepat. Kami pun ikut bergerak.
Jarak dari perbatasan ke kota Baghdad sekitar 1.000 kilometer, yang menurut sopir bisa ditempuh sekitar 10 jam. Namun, ketika sampai di kota Ramadi, Irak, kami menyaksikan pemandangan yang menyesakkan.
Di sebuah stasiun pengisian bahan bakar, wartawan asal Jepang keluar mobil menenteng kamera. Namun, naas, belum lima menit dia di luar, segerombolan orang dengan mobil pikap lengkap dengan senjata menembak wartawan itu dan merampas kameranya.
Namun, naas, belum lima menit dia di luar, segerombolan orang dengan mobil pikap lengkap dengan senjata menembak wartawan itu dan merampas kameranya.
Melihat hal itu, sopir kami menyarankan tidak ada yang keluar mobil, apalagi membawa kamera. ”Mereka butuh kamera itu untuk merekam saat bisa mengalahkan pasukan koalisi,” ujarnya.
Kami pun batal mengisi bahan bakar. Iseng-iseng kami bertanya kepada sopir, berapa harga bahan bakar minyak di Irak.
”Kalau di sini murah, hanya sekitar 20 dinar Irak (waktu itu sekitar Rp 80) per liter. Presiden Saddam memang menjual murah minyaknya. Bahkan, pengantin baru di Irak mendapat bantuan berupa pembebasan sewa rumah dan biaya listrik selama dua tahun,” katanya.
Akibat kejadian di Ramadi itu, perjalanan kami ke Baghdad sempat tersendat. Apalagi, sebelum masuk Baghdad, pasukan koalisi meminta rombongan menunggu mobil wartawan lain yang masih di belakang.
”Karena Baghdad berbahaya, kami akan mengawal Anda sampai ke Hotel Palestine,” ujar juru bicara pasukan koalisi.
Kami baru masuk Baghdad sekitar pukul 15.00, dikawal pasukan koalisi yang menggunakan panser dan bersenjata lengkap. Di belakang, beberapa truk pasukan koalisi ikut mengamankan kami dari kemungkinan penyergapan tentara Irak loyalis Saddam.
Baru setengah jam menginjakkan kaki di Hotel Palestine, kami mendengar ledakan bom yang bisa menggetarkan lantai hotel. Dentuman suara itu dibarengi rentetan peluru selama sekitar 15 menit. Kami yang kelelahan, hanya bisa melihat tentara AS sibuk hilir mudik di hotel itu.
Kami menginap di hotel yang berada persis di depan Hotel Palestine bersama banyak wartawan lain yang sebagian berasal dari Timur Tengah, juga di pinggiran Sungai Tigris.
Kami menempati satu kamar yang sudah lebih dulu disewa dan ditempati teman dari Tempo, Rommy Fibri. Lalu masuk lagi rombongan yang baru datang, Merdi Sofansyah dan Eko dari SCTV, Budiana (Pikiran Rakyat), Pung Purwanto (Jawa Pos), Damanhuri Zuhri (Republika), Dahlan Dahi (Tribun), Despen dan Dedy (TV7), serta satu teman mahasiswa di Jordania, Mas Ilham, yang melaporkan untuk koran Suara Pembaruan. Total 11 orang kami menghuni satu kamar itu.