Publik Jenuh Pemberitaan Covid-19
Masifnya berita dan informasi terkait Covid-19 yang beredar luas di media massa dan media sosial dengan intensitas tinggi, telah membuat masyarakat jenuh. Berita yang memberi harapan lebih dibutuhkan publik
Masifnya berita dan informasi terkait Covid-19 yang beredar luas di media massa dan media sosial dengan intensitas tinggi telah membuat masyarakat jenuh. Meskipun demikian, masyarakat tetap memantau berita untuk memastikan sejauh mana situasi dan perkembangan pandemi ini.
Secara psikis, kejenuhan yang melanda sebagian besar masyarakat bisa jadi disebabkan sejumlah hal, yakni terlalu lama beraktivitas dan bekerja di rumah, tidak pastinya kapan pandemi ini akan berakhir, lesunya laju perekonomian, dan ribuan masyarakat kehilangan pekerjaan akibat pandemi.
Setelah jenuh secara psikis, masyarakat seakan ”dibombardir” dengan berita-berita soal Covid-19. Masa awal pandemi ini merebak, masyarakat masih banyak mencari tahu penyakit yang disebabkan oleh virus korona ini. Pada awal pandemi pula, media massa dan media sosial tampak berlomba menyajikan apa dan bagaimana mencegah agar tidak terkena Covid-19.
Seiring berjalan waktu, jumlah informasi yang diterima masyarakat sangat melimpah dan bisa dikatakan dalam hitungan menit selalu ada informasi tersaji dari beragam kanal media tentang Covid-19. Terpaan informasi dan berita yang tersaji secara terus-menerus dan melebihi kapasitas, justru bisa membuat masyarakat mengalami frustrasi dan sangat jenuh.
Hasil jajak pendapat Kompas yang dilakukan pada 6–9 Mei 2020 menggambarkan sebagian masyarakat (65,8 persen) merasa jenuh terhadap berita-berita Covid-19. Hal ini bisa dimaklumi karena, bisa jadi, isi berita yang disajikan dari hari ke hari tidak menumbuhkan harapan kepada masyarakat.
Sudut pandang tulisan atau artikel yang tersaji di media massa barangkali dianggap masyarakat justru menghantui dan memberikan tekanan kepada masyarakat. Tidak ada perkembangan berarti yang dianggap sebagai hal positif atas sudut pandang pemberitaan Covid-19 yang disajikan bagi masyarakat.
Hasil monitoring pemberitaan halaman depan pada enam surat kabar nasional yang dilakukan Litbang Kompas sejak Januari-April 2020, menunjukkan tren yang signifikan pada jumlah pemberitaan Covid-19.
Tercatat hingga April 2020 terdapat 589 berita terkait Covid-19 yang disajikan di halaman depan sebagai berita utama (headline) ataupun non-headline pada enam surat kabar nasional. Ini artinya, surat kabar memberikan ruang dan panggung pandemi ini sebagai masalah serius yang harus dituntaskan.
Tidak sedikit pula pada pemberitaan surat kabar yang bernada kritis dan cukup keras yang ditujukan kepada pemerintah karena dianggap kurang cepat menangangi pandemi ini. Kritik surat kabar bisa dimengerti karena bagaimanapun pemerintah adalah pihak yang memiliki otoritas dalam menentukan langkah apa yang akan diambil akibat bencana kesehatan ini.
Tidak sedikit pula pemberitaan media massa yang menyajikan kesedihan dengan meninggalnya para tenaga kesehatan seperti dokter dan perawat. Pemberitaan dengan tema tersebut bisa menimbulkan implikasi dua hal, yakni empati dari masyarakat terhadap para tenaga kesehatan, tetapi sebaliknya bisa menambah pilu dan kecemasan masyarakat.
Tarik ulur kebijakan karantina wilayah atau yang disebut lockdown tidak sedikit menimbulkan wacana pro dan kontra di masyarakat dan kalangan media massa itu sendiri. Munculnya kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang tidak serempak dilakukan di semua wilayah di Indonesia atau diberlakukan secara parsial, telah menimbulkan beragam dampak sosial di masyarakat. Kasus positif Covid-19 juga terus meningkat.
Hanya sepertiga responden (33,3 persen) yang merasa tidak jenuh dengan terpaan berita-berita terkait Covid-19. Artinya, pada kelompok responden ini merupakan kategori responden yang bisa dikatakan menyikapi banjirnya informasi Covid-19 yang tidak berpengaruh apa pun terhadap dirinya.
Bisa jadi pula, responden pada kelompok ini mampu memilah mana informasi yang bisa disikapi secara bijak dan mana informasi yang tidak perlu dikonsumsi. Atau justru sebaliknya, responden kelompok ini tidak terlalu memedulikan informasi terkait Covid-19 dan lebih fokus pada aktivitas keseharian yang dilakukan.
Sesuai hasil jajak pendapat ini, meskipun merasa sudah jenuh terhadap berita Covid-19, masih banyak masyarakat yang tetap mengikut berita-berita terkait pandemi ini. Meskipun jenuh, publik masih berharap dengan mengikuti berita-berita terkait Covid-19, mereka makin waspada pada pandemi virus korona dan tetap taat terhadap protokol kesehatan yang diterapkan pemerintah, termasuk larangan mudik dan PSBB. Jumlah responden pada kelompok yang tetap mengikuti berita seputar Covid-19 ini cukup besar, yakni 59,7 persen.
Sementara sebanyak 36,1 persen responden menyatakan berhenti mengikuti berita-berita terkait Covid-19. Fenomena ini menjadi indikasi ”alarm” bagi awak media jika berita Covid-19 sudah tidak menarik lagi bagi masyarakat sebab tidak ada kebaruan fakta yang disajikan yang dianggap bermanfaat bagi masyarakat.
Bisa jadi belum banyak media yang mengulas pascapandemi apa yang harus dilakukan masyarakat, bagaimana kondisi ekonomi pascapandemi, dan berita yang memberikan angin segar bagi masyarakat pascapandemi.
Isu hoaks Covid-19
Selain media arus utama, seperti koran dan televisi, yang konten informasinya dikonsumsi oleh masyarakat, media sosial dalam hal ini turut andil dalam memberikan efek psikis atau kejenuhan di masyarakat.
Media sosial bahkan diyakini bisa memberikan efek jenuh secara berganda dibandingkan dengan media arus utama karena pesan yang disebarkan melalui media sosial tanpa filter dan tanpa proses penyuntingan editorial. Acap kali bahkan tanpa verifikasi fakta dan kebenaran dan langsung disebarkan begitu saja oleh masyarakat.
Munculnya informasi bohong atau hoaks serta beredarnya disinformasi membawa masyarakat ke dalam perangkap kegelapan atas suatu kebenaran realita atau fakta sesungguhnya. Jika hoaks tidak dicegah, bukan tidak mungkin bangsa ini akan menjadi tumpul kecerdasannya dalam menyikapi datangnya sebuah informasi.
Kementerian Komunikasi dan Informatika secara rutin setiap hari menjaring puluhan kasus hoaks dan disinformasi. Hingga 10 Mei 2020, tercatat 673 kasus hoaks dan disinformasi. Jumlah ini selalu menunjukkan tren yang meningkat sejak Januari hingga April 2020.
Berita hoaks bisa jadi memicu kejenuhan bagi masyarakat karena pada dasarnya lama-kelamaan masyarakat sudah bisa membedakan mana berita hoaks dan bukan setelah cukup lama terpapar hoaks dan disinformasi soal Covid-19 selama tiga bulan terakhir.
Tidak ada yang salah dalam konten karya jurnalistik, tetapi kejenuhan yang dialami masyarakat terhadap berita Covid-19 seharusnya bisa dibaca oleh awak media dalam menyajikan berita yang lebih memberikan harapan ke depan.
Berita kepergian Sang Maestro Didi Kempot, yang menjadi berita utama di media massa dan menjadi tren pada lini masa media sosial, merupakan kabar duka mendalam bagi bangsa ini karena almarhum juga turut andil mengampanyekan ”jangan mudik” saat pandemi virus korona dan melakukan kegiatan donasi.
Berita kepergian Didi Kempot dan tayangan ulang konser karya-karyanya selama hampir seminggu di hampir semua stasiun televisi merupakan penghormatan kepada almarhum sekaligus mampu mengalihkan perhatian masyarakat dan mengurangi kejenuhan masyarakat dari berita-berita Covid-19.
Semoga tidak hanya berita tentang publik figur yang mampu menghalau kejenuhan, tetapi berita-berita lain diharapkan mampu menumbuhkan semangat bagi masyarakat. (LITBANG KOMPAS)