Hamil Tua
Tidak usah kaget, sekarang Ibu Pertiwi sedang hamil tua. Sang dukun sudah siap dengan segala alat yang diperlukan untuk kelahiran bayi yang lama dinanti-nanti.
Sinar petromaks berangsur redup, desisnya melirih ditingkah hujan yang memukul-mukul genteng rumah keluarga Pratiwi. Bapak Pendeta sudah siap memberikan pemberkatan perkawinan, tapi calon suami Pratiwi belum menunjukkan batang hidungnya.
Bila Mayar—calon suami Pratiwi—tidak muncul malam ini, akan menjadi aib yang lebih besar bagi keluarga Pratiwi. Bu Padmi—ibu Pratiwi—yang akan paling pedih dililit perkara ini. Nama keluarga akan tercoreng. Bu Padmi akan dikejar-kejar rasa malu pada seluruh warga Desa Pelemsewu dan desa-desa sekitar di kaki Gunung Merapi. Nama baik keluarga Bu Padmi sedang dipertaruhkan.
Raut muka Pratiwi murung, orangtua Pratiwi murung. Semua wajah murung, kecuali Subekan, rival Mayar memperebutkan Pratiwi. Subekan rela mengakui anak Mayar dalam kandungan Pratiwi sebagai anaknya sendiri bila Pratiwi mau dikawininya. Bila Mayar muncul malam ini, Subekan akan sangat kecewa. Tapi akan menjadi hadiah Natal terbesar bagi Pratiwi.
Wajah bulat Subekan berseri menyembunyikan optimisme dalam hati. Kerah baju tetoronnya menyembul dari balik lubang leher sweeter berbahan kashmir, penahan dingin yang menikam di kaki Gunung Merapi. Kupluk di atas kepala dan kain sarung kotak-kotak penuh warna yang dibeli di pasar Kliwon dekat kecamatan memperparah penampilannya.
Bau sedap sambel goreng hati tercium dari ruang depan. Barisan piring-piring makanan sudah siap di belakang. Subekan dan Japar memompa petromaks-petromaks yang redup. Sampai sinarnya kembali memutih, terang benderang menerpa wajah-wajah para tetamu. Japar menaruh kembali petromaks-petromaks pada gantunganya masing-masing.
”Tidak bakalan datang!” Bisik Subekan pada Japar meningkahi desis petromaks yang kembali ngeses macam kereta uap.
”Apa?”
”Mayar tidak bakal datang!”
”Dari mana kamu tahu?”
”Orang yang disekolahkan di SD Mlinjon mana mungkin keluar hidup-hidup!”
Mayar ditahan di SD Mlinjon, dekat kabupaten. Bekas gedung sekolah rakyat desa Mlinjon yang di sulap menjadi rumah tahanan politik sejak Gestok, awal Oktober tahun lalu.
Hari itu ayah Mayar pulang awal, seperti biasanya setiap hari Jumat. Bu Supar berhenti mengeringkan gabah begitu melihat suaminya pulang. Sekawanan burung-burung kecil terbang serentak menghindari terjangan langkah Bu Supar menyeberangi lautan gabah yang tumpah-ruah di pelataran rumah. Bleber kepakan sayap-sayap kecil mereka riuh menjelajah sekeliling atap limasan rumah orangtua Mayar.
Pak Malik menyetandarkan sepedanya di emperan lalu duduk bersandar melepas lelah. Tangannya meraih tombol radio di atas meja dan memasangnya. Radio tabung merek Phillips kesayangannya.
”Lestari sudah pulang?” tanya Pak Malik ketika Bu Supar melintas di sampingnya.
”Belum,” jawab Bu Supar tanpa menengok dan tak pula menghentikan langkahnya ke dapur. Di dapur Bu Supar menyalakan kembali api tungku dan menumpangkan seceret air di atasnya.
Sudah hampir sepekan Lestari, kakak Mayar, tidak pulang. Membuat Pak Malik dan Bu Supar gundah gulana. Terakhir di rumah Lestari makan malam bersama keluarga. Pak Malik, Bu Supar, Mayar, dan Lestari duduk mengelilingi meja makan. Tak ada yang tahu malam itu malam perpisahan. Perpisahan yang seolah tanpa kesedihan. Lestari mengatakan sesuatu yang membuat Pak Malik dan Mayar tersentak. Kalimatnya masih diingat sampai sekarang. Sejak Lestari pergi, kalimat itulah yang terus berputar-putar di kepala Pak Malik sampai siang ini,
”…Tidak usah kaget, sekarang Ibu Pertiwi sedang hamil tua. Sang dukun sudah siap dengan segala alat yang diperlukan untuk kelahiran bayi yang lama dinanti-nanti. Bayi kekuasaan politik yang sudah ditentukan dalam Manipol, yaitu kekuasaan gotong royong yang berporoskan Nasakom, bersaka guru buruh dan tani.”
Bu Supar tidak kaget, malah tersenyum sambil terus mengunyah makan malamnya. Sebenarnya Bu Supar tak terlalu mengerti juga maksud kalimat anak perempuannya, tetapi beliau tak terlalu peduli. Bu Supar menikmati setiap kali anak perempuannya berbicara berapi-api. Apalagi sampai membuat Mayar dan ayahnya tersentak dan melongo. Beliau sangat menikmati makan malam dan bangga pada kakak Mayar. Walau parasnya tak cantik, tapi ia cerdas, berani, teguh.
Sekawanan burung kembali mendarat di depan rumah, bermain-main di atas jemuran gabah. Riuh percakapkan di antara mereka sambil berlompatan menghindari terjangan sorok para pekerja membolak-balik gabah agar keringnya merata. Bu Supar muncul lagi dengan lengan kebaya tergulung,
”Sebelum istirahat gabah dientasi dulu!”
Seru Bu Supar kepada para penjemur gabah di pelataran untuk memasukkan gabah sebelum mereka istirahat siang. Cuaca bulan Oktober memang susah ditebak, hujan awal musim sering datang mendadak. Gabah yang tidak kering betul tak bisa ditumbuk menjadi beras. Kurang kering sedikit saja akan menjadikan beras patah-patah, terlalu banyak menirnya.
Tiba-tiba Pak Malik tersentak oleh siaran radio, ia bangkit dari sandaran kursi, dan mencondongkan badan ke radio,
”Bener yang dikatakan Lestari Bu.”
”Apa yang dikatakan Lestari?”
”Sssttt…!” jari telunjuknya Pak Malik ditempelkan di bibir, lalu tenggelam dalam siaran radio,
”…Sejumlah Jenderal telah ditangkap, dan alat-alat komunikasi penting, serta obyek-obyek vital berhasil dikuasai. Presiden Soekarno selamat dalam lindungan Gerakan 30 September.”
Mendung menyergap lagit siang, guntur berlaga bergulung-gulung berkejaran sampai jauh, merontokkan gerimis awal musim membasahi pohonan dan batu-batu sekeliling rumah. Bau tanah yang lama tak tersentuh hujan menjelajah sampai sudut-sudut desa. Suara radio krasak-krusuk seolah mau lepas dari gelombangnya. Tapi dengan sigap jemari Pak Malik meraih tombol tuning menangkap kembali siaran RRI. Pak Malik kembali tenggelam dalam siaran radio,
”…Tindakan yang dilakukan di Jakarta terhadap Dewan Jenderal akan dilanjutkan dengan tindakan yang sama terhadap kaki-tangan dan simpatisan Dewan Jenderal di daerah-daerah.
Akan segera dibentuk Dewan Revolusi Indonesia dari tingkat pusat sampai daerah. Dewan Revolusi Daerah adalah kekuasaan tertinggi, terdiri dari orang-orang sipil dan militer yang mendukung Gerakan 30 September tanpa reserve.
Dewan Revolusi akan setia melaksankan panca azimat revolusi dan melaksanakan ketetapan MPRS serta putusan-putusan DPR-GR maupun DPA.
Partai-partai, ormas-ormas, surat kabar-surat kabar dapat meneruskan kegiatnya asal dalam jangka waktu yang akan ditetapkan kemudian menyatakan kesetiaanya kepada Dewan Revolusi Indonesia.
”Sukses…!,” Seru Pak Malik bangkit meninggalkan radionya.
”Bu…, kita rayakan dengan minum teh!”
Tak lama kemudian Bu Supar keluar dari senthong tengen dengan teko blirik dan cangkir-cangkir di atas talam. Berdenting gula batu membentur dinding cangkir. Waktu Bu Supar menuang teh ke cangkir suaminya, Mayar pulang,
”Sudah dengar berita dari Jakarta Pak?” katanya Mayar sambil menyetandarkan sepeda humbernya. Sepeda kesayangan dengan garpu depan ganda dan kunci setang internal, tertanam dalam kerangka.
”Sudah! Mari kita rayakan dengan minum teh dan goreng pisang.”
”Bapakmu jingkrak-jingkrak di depan radio tadi,” kata Bu Supar dengan sorot mata berbinar-binar menyambut anak nya pulang, beliau menuang teh di cangkir Mayar.
Menjelang sore nama Lestari disebut dalam siaran RRI sebagai anggota Dewan Revolusi Jawa Tengah dari unsur Gerwani. Bu Supar setengah tak percaya, tapi senyumnya mengembang, bangga menghapus gundah akan kepergian anak perempuan satu-satunya itu. Beliau menggeser duduknya mendekati radio, kedua telapak tangannya tertangkup di atas pangkuan.
Markas Kodam VII Diponegoro diambil alih Kolonel Sastradibrata. Panglima Kodam Brigadir Jederal Suryasumpena kabur ke garnisun Magelang. Letnan Kolonel Sahirman memimpin Dewan Revolusi Jawa Tengah.
Sebelumnya Sahirman adalah Asisten I bidang Intelijen Kodam. Sahirman dikawal dua peleton pimpinan Mayor Kaderi dari Sala. Ia juga dibantu Mayor Sukirjan, yang sebelumnya Wakil Asisten 5, serta Mayor Karsidi, yang sebelumnya wakil Asisten 2.
Di Salatiga Letkol Idris menangkap Komandan Korem 073, Kolonel Sukardi. Komandan Brigif 6 Sala juga ditangkap. Di Purwakerta, Letkol Sumitra melawan Kolonel Tjiptana, Danrem 071. Komandan Batalyon 451 Mayor Mulyana memimpin Dewan Revolusi Yogyakarta menangkap Komandan Korem Kolonel Infanteri Katamso serta Kasrem Letnan Kolonel Sugiyana. Dewan Revolusi menguasai separuh jumlah korem di wilayah Kodam.
”Mengapa yang memimpin Dewan Revolusi selalu tantara?” Mayar tidak siap dengan sergapan pertanyaan ayahnya itu. Setengah improvisasi Mayar menjawab, ”Dewan Revolusi dibentuk oleh Gerakan 30 September. Gerakan 30 September memang semata-mata gerakan dalam Angkatan Darat melawan Dewan Jenderal.”
”Apa Dewan Jenderal itu?” Lagi lagi Mayar tidak siap. Dan ia bukan tantara, hanya seorang pelajar kelas dua Sekolah Pertanian di Maduganda. Ia menggeledah ingatannya akan siaran Gerakan 30 September melalui RRI. Dengan rasa sok tahu Mayar menjawab, ”Itu jenderal-jenderal dan perwira-perwira yang gila kuasa, mereka menamakan dirinya Dewan Jenderal. Di atas tumpukan penderitaan anak-buahnya mereka hidup bermewah-mewah dan foya-foya, menghina kaum wanita dan menghambur-hamburkan uang negara.”
”Jadi ini urusan revolusi atau ketidakpuasan anak buah sama atasannya di Angkatan Darat Mayar?”
Semakin jauh Mayar terseret oleh ketidak siapannya, ”Dewan Jenderal itu gerakan subversif yang disponsori oleh CIA. Dewan Jenderal telah merencanakan coup sebelum 5 Oktober 1965. Untuk mencegah coup kontra revolusioner itu, Letnan Kolonel Untung melancarkan Gerakan 30 September yang ternyata berhasil dengan baik.”
Pak Malik menatap Mayar dengan tatapan tidak puas. Tapi Mayar memalingkan muka ke pisang goreng buatan ibunya.
”Ini pisang raja dari kebun belakang Nak, manis sekali seperti pacarmu.”
”Kita tidak bisa bergerak berdasar desas-desus, Mayar.”
”Desas-desus atau beneran, dampak politiknya sama Pak. Dalam politik yang ada menang atau kalah, bukan bener atau salah.”
”Politik cap apa itu?”
”Capnya boleh beda Pak, tapi sepak terjangnya sama! Mau politik partai kiri, partai kanan, partai tengah, partai agama, apa bedanya? Politik hanya memberi ruang bagi yang menang.”
”Bapakmu memang ngeyel, sudah saya suruh berhenti berpolitik, sebelum pikun.”
”Tidak ada yang bisa benar-benar berhenti berpolitik Ibu, dalam setiap butir gabah yang Ibu jemur, dalam setiap butir nasi yang kita makan ada keputusan politik di dalamnya. Keputusan politik tentang ekspor impor beras, harga dasar gabah, mekanisasi pertanian, subsidi sarana produksi dan berbagai keputusan politik yang berkaitan dengan pengadaan pangan lainnya. Tak seorang pun bisa benar-benar bebas dari politik bu.”
”Begitu juga boleh, yang penting kamu hati-hati Mayar.”
”Terima kasih Ibu, tapi aku harus pamit dulu.”
”Ke mana?”
”Rapat pembentukan Dewan Revolusi Kabupaten!”
Tak ada yang menyangka, itu sebuah perpisahan. Tidak Pak Malik, tidak Bu Supar tidak Mayar, tidak pisang goreng, talam ataupun teko blirik. Perpisahan yang seolah tidak menorehkan kesedihan.
Seperti cuaca awal musim, situasi politik berubah sangat cepat. Esoknya Brigadir Jenderal Suryasumpena membawa satu peleton tank dari Batalyon 2 Garnisun Magelang, satu peleton artileri medan dari Batalyon 11, dan satu peleton zeni tempur merebut kembali Markas Kodam. Kolonel Sastradibrata kabur, Mayor Kaderi menarik dua peleton pasukannya kembali ke Sala. Letnan Kolonel Sahirman dan Dewan Revolusi Jawa Tengah diburu sampai ke gunung-gunung. Dalam sebuah baku tembak di lereng Gunung Lawu, Lestari tewas diterjang peluru. Sahirman dan anggota Dewan Revolusi lainnya juga tewas dalam baku tembak di Cemarasewu itu.
Ketua Dewan Revolusi Mulyana tertangkap di Dusun Karanggeneng, terbongkarlah penculikan Letnan Kolonel Katamsa dan Kolonel Sugiyana. Pangdam Suryasumpena menugaskan seluruh anggota Batalyon 451 ke Kalimantan Utara dalam operasi Dwikora. Mereka yang terlibat langsung dalam penculikan ditugaskan latihan survival tanpa senjata. Tak seorang pun di antara mereka kembali.
Mayat Letnan Kolonel Katamso dan Kolonel Sugiyana diarak di atas panser RPKAD untuk diotopsi. Sepanjang perjalanan dari Markas Batalyon 451 di Jalan Kaliurang sampai rumah sakit tantara di Kotabaru, rakyat berjajar di tepi-tepi jalan, menahan marah. Begitu juga dalam prosesi pemakaman dari Kotabaru sampai taman makam pahlawan di Semaki keesokan harinya.
Koran-koran memberitakan dengan sangat provokatif. Helikopter militer menabur selebaran setiap kali, berputar-putar di atas desa Pratiwi di kaki Gunung Merapi yang tak tersentuh koran. Di alun-alun Kabupaten, ormas-ormas kepemudaan dilatih kemiliteran. Juga di kecamatan-kecamatan. Pangdam Suryasumpena mengumumkan seluruh ormas yang berafiliasi pada PKI sebagai organisasi terlarang: Gerwani, Pemuda Rakyat, BTI, Lekra, dan Baperki.
Ormas-ormas yang selama ini tertekan oleh aksi ganyang 7 setan desa, aksi sepihak, cegatan rok sepan, ngang ngik ngok dan lain sebagainya sekarang balas dendam. Militer pamer kekuatan dengan berbagai atraksi terjun payung dan berbagai keterampilan militer lainnya. Rakyat yang haus mendapatkan hiburan berduyun-duyun menontonnya. Di alun-alun, di lapangan kecamatan, di kampus-kampus. Letnan Kolonel Sarwoedi, Komandan RPKAD, dengan sangat provokatif menyerukan, ”…jangan berikan lehermu gratis pada PKI…!”
Suatu malam rumah orangtua Mayar digedor-gedor, begitu pintu terkuak massa yang beringas langsung menerjang. Pak Malik tak berdaya, mereka melihat Bu Supar seperti melihat iblis betina. Entah apa yang merasuki, mereka menggelandang Pak Malik dan Bu Supar serta menjarah seluruh isi rumah lalu membakarnya. Bu Supar dan Pak Malik ditemukan tewas penuh luka bermandi darah di ladang desa sebelah keesokan harinya.
Mayar diselamatkan Pratiwi, kawan sekolah kakaknya. Mayar disembunyikan di gudang hasil bumi dekat kabupaten. Pratiwi mengurus bisnis keluarga sejak perceraian dengan suaminya. Di gudang itu, kantor Pratiwi dilengkapi tempat tinggal kecil dan sederhana di bagian belakang. Dari luar hanya tampak truk keluar masuk mengangkut hasil bumi. Mayar baru tertangkap operasi Merapi yang dipimpin Pangdam Suryasumpena atas laporan Subekan. Mayar dijebloskan ke SD Mlinjon bersama delapan ratus orang lebih tahanan politik lainnya. Banyak tahanan dipanggil untuk apel darurat saban malam hari dan tak satu pun di antara mereka kembali.
Angin bersuir di kaki Gunung Merapi. Sayup-sayup terdengar kendaraan menderu-deru menaiki jalan melambung di kaki bukit. Mata Pratiwi nanap tapi yang tampak hanya malam yang telah basah oleh hujan sekujur Desa Pelemsewu.
Suara kendaraan itu kian lama kian mendekat, membuat semua mata nanap kearah datangnya suara. Di tanjakan dekat rumah kendaraan itu meraung-raung. Tampak Jeep Willys beratap terpal dan Mayor CPM Sumarno di belakang setir. Di sampingnya duduk Mayar dan di jok belakang Sersan Warsidi menyanding stand gun dengan untaian peluru yang mengular, berumah di kotak besi di sampingnya. Sersan Warsidi segera membuka borgol di tangan Mayar begitu jeep berhenti di halaman rumah keluarga Pratiwi.
Riuh semua orang melihat kedatangan Mayar. Ia membalas tatapan semua orang dengan senyum takzim. Pratiwi dan Bu Parmi merasa ada beban yang telah diturunkan dari pundaknya. Terbebas dari rasa yang selama ini selalu mengimpit menyesakkan dada.
Upacara perkawinan berlangsung singkat, padat tapi khidmat walau tanpa dentang gendhing kebogiro. Ketika Pratiwi sungkem, mencium lutut ibunya, Bu Parmi menitikkan air mata.
Belum selesai seluruh tetamu menikmati sambel goreng hati dan sajian istimewa lainnya, Mayor Sumarno sudah memerintahkan Mayar meninggalkan tempat. Diapit sang Mayor dan Sersan Warsidi, Mayar kembali ke atas jeep. Sersan Warsidi memasang kembali borgol di tangan Mayar, lalu duduk di samping stand gun, membelakangi sopir dan Mayar. Pratiwi tak mampu lagi menahan perasaannya, tangis Pratiwi meledak dan jatuh pingsan. Pratiwi merasa Mayar tak akan pernah kembali.
Karangmalang, Natal 2019