Risiko Besar Dipertimbangkan KPU Jika TPS Besar Pemilihnya
›
Risiko Besar Dipertimbangkan...
Iklan
Risiko Besar Dipertimbangkan KPU Jika TPS Besar Pemilihnya
Risiko penularan Covid-19 dikhawatirkan tetap ada selama pandemi virus korona baru. Karena itu, KPU harus mempertimbangkan risiko penularan Covid-19 jika di tiap TPS masih besar jumlah pemilihnya.
Oleh
Ingki Rinaldi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -Komisi Pemilihan Umum harus mempertimbangkan risiko penularan Covid-19 jika tempat pemungutan suara atau TPS besar jumlah pemilihnya. Meskipun dalam TPS dilakukan pembagian waktu pemungutan suara ke jam-jam tertentu bagi para pemilih, risiko masih tetap ada.
Hal itu diungkapkan Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini di Jakarta, Kamis (14/5/2020), saat dihubungi. "Tantangan lainya, ada pada aspek sosialisasi serta dorongan kepada masyarakat. Pasalnya, pengaturan waktu pemungutan suara membuat warga tidak memiliki fleksibilitas untuk menuju TPS. Jika hal ini tidak dikelola dengan baik, hal itu dapat berpotensi keengganan warga pergi ke TPS. Pada akhirnya, berakibat pada penurunan pengguna hak pilih," ujar Titi.
Terkait dengan pengaturan kampanye, Titi menyatakan, bisa dilakukan dengan menyesuaikan jumlah peserta dalam batasan yang tidak membahayakan. Selain itu dengan mengutamakan sejumlah metode kampanye virtual. KPU dinilai perlu menyelarasakan teknis metode kampanye dengan menekankan pada mekanisme daring. Termasuk di dalamnya intensitas dan jumlah peserta kampanye sesuai protokol penanganan Covid-19.
“Jadi perlu ada ketentuan baru metode kampanye di masa pandemi, di dalam Peraturan KPU dalam kampanye,” ujar Titi menambahkan.
"Tantangan lainya, ada pada aspek sosialisasi serta dorongan kepada masyarakat. Pasalnya, pengaturan waktu pemungutan suara membuat warga tidak memiliki fleksibilitas untuk menuju TPS. Jika hal ini tidak dikelola dengan baik, hal itu dapat berpotensi keengganan warga pergi ke TPS. Pada akhirnya, berakibat pada penurunan pengguna hak pilih"
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Viryan Azis menyatakan, selama ini rata-rata jumlah Daftar Pemilih Tetap atau (DPT) per TPS dalam pelaksanaan pilkada adalah 500-600 pemilih. Berdasarkan pengalamannya,selama ini belum pernah terjadi antrean konstan selama waktu pemungutan suara yang berkangsung mulai dari jam 07.00 hingga 13.00 waktu setempat. “Biasanya ada waktu sekitar dua jam yang kosong,” kata Viryan menambahkan.
Karena itulah, imbuh Viryan, jumlah DPT maksimal per TPS sebagaimana berlaku selama ini, secara teknis masih memungkinkan dipraktikkan. Pengurangan jumlah DPT maksimal dan penambahan TPS belum diperlukan.
Viryan mengatakan KPU sedang mematangkan pengaturan proses pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih yang tidak lagi dilakukan dari rumah ke rumah. Coklit akan dilakukan berbasis RT/RW.
Ia mengatakan hal itu memungkinkan diatur dalam Peraturan KPU. Hal ini berbeda dengan tahapan verifikasi faktual bakal calon perseorangan yang mesti dilakukan dengan metode sensus dan mendatangi pemilih. Pasalnya hal tersebut diatur dalam Ayat 6 Pasal 48 UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada yang berbunyi: Verifikasi faktual sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dilakukan dengan metode sensus dengan menemui langsung setiap pendukung calon.
“Kalau untuk pemutakhiran data pemilih (coklit), tidak ada disebutkan begitu (dilakukan dengan metode sensus),” sebut Viryan.
Norma Baru
Viryan juga mengatakan bahwa KPU hendak mendorong norma baru dalam kampanye. Arahnya lebih pada pengaturan kampanye di media daring yang di dalamnya termasuk media sosial. Menurutnya menjadi kebutuhan bagi KPU untuk mengadaptasi teknik penyelenggaraan pilkada di masa pandemi Covid-19.
Akan tetapi kampanye dengan pertemuan fisik tetap dimungkinkan. Pasalnya hal itu tercantum dalam UU Nomor 10/2016 sehingga praktiknya tidak bisa dinafikkan.
Hal senada diutarakan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat, Alwan Ola Riantoby. Menurut Alwan tantangan sejumlah penyesuaian tahapan dihadapkan pada tantangan kesiapan pemilih dan pengetahuan penyelenggara ad hoc.
"Gugus Tugas tidak bisa memastikan kapan pandemi Covid-19 akan selesai. Bahkan, status keadaan tertentu darurat bencana Covid-19 yang ditetapkan BNPB hingga 29 Mei berpeluang diperpanjang lagi"
Pada sisi lain, imbuh Alwan, hambatannya cenderung terletak pada relatif masih minimnya sosialisasi yang dilakukan. Hal ini berkelindan pula dengan relatif terbatasnya metode sosialisasi yang digunakan.
Sementara itu, terkait dengan surat KPU kepada Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19,yang menanyakan dua hal, Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, hingga Kamis itu, KPU belum menerima jawaban resmi.
Sebelumnya, KPU menanyakan, kapan pandemi Covid-19 dinyatakan selesai dan aman. Pertanyaan kedua, jika pandemi dinyatakan usai dan aman, apakah masih dibutuhkan tahapan pemulihan seperti dari sisi psikologis, ekonomi, sosial, dan politik.
Namun, saat diskusi kelompok untuk menyusun rancangan PKPU tentang tahapan, program dan jadwal Pilkada 2020 pada Rabu lalu, Arief menyatakan, perwakilan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyatakan, Gugus Tugas tidak bisa memastikan kapan pandemi Covid-19 akan selesai. Bahkan, status keadaan tertentu darurat bencana Covid-19 yang ditetapkan BNPB hingga 29 Mei berpeluang diperpanjang lagi.