Petahana Jadi Pihak Paling Diuntungkan jika Pilkada Tetap Digelar Desember
›
Petahana Jadi Pihak Paling...
Iklan
Petahana Jadi Pihak Paling Diuntungkan jika Pilkada Tetap Digelar Desember
Bakal calon kepala daerah petahana akan menjadi pihak yang paling diuntungkan apabila Pilkada 2020 tetap digelar Desember. Sementara itu, pilkada di tengah pandemi Covid-19 dinilai berisiko bagi kesehatan masyarakat.
Oleh
Ingki Rinaldi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bakal calon kepala daerah petahana menjadi pihak yang paling diuntungkan jika Pilkada Serentak 2020 tetap dilaksanakan bulan Desember. Insentif kepetahanaan berupa ingatan dan keterhubungan antara masyarakat dengan kepemimpinan saat ini menjadi hal penting yang bisa diperoleh calon petahana.
Apabila pilkada diselenggarakan pada tahun 2021, akan terdapat banyak posisi kepala daerah yang akan diisi penjabat. Hal ini menyusul habisnya masa jabatan sebagian besar kepala daerah saat ini pada Februari 2021. Semakin lama pilkada ditunda maka cenderung makin besar dan dalam pula kesenjangan ingatan dan keterhubungan antara warga dan kepala daerah yang berkuasa di saat ini.
Sementara itu, beberapa pihak sudah mendorong agar Pilkada di 270 daerah tidak dipaksakan berlangsung pada Desember 2020. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas Ham) mendorong pilkada diselenggarakan di 2021. Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengusulkan agar penyelenggaraan Pilkada 2020 dilanjutkan setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencabut status pandemi Covid-19.
Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia Djayadi Hanan, dalam diskusi daring, Minggu (17/5/2020), tidak ada selain petahana yang menjadi pihak paling diuntungkan tatkala pilkada dilaksanakan pada Desember 2020. Pasalnya, dalam situasi pandemi Covid-19, hanya bakal calon petahana yang leluasa bergerak di tengah masyarakat.
Sementara calon-calon potensial non-petahana cenderung tidak ada yang bisa melakukan hal serupa. Para calon potensial itu relatif tidak bisa melakukan sosialisasi terkait keberadaan diri dan program mereka kepada masyarakat.
”Yang bisa terlihat terus-menerus oleh publik ya petahana,” kata Djayadi dalam diskusi daring bertajuk ”Buru-buru Melaksanakan Pilkada untuk (si) apa?”.
Tidak ada selain petahana yang menjadi pihak paling diuntungkan tatkala pilkada dilaksanakan di bulan Desember 2020
Diskusi itu juga menghadirkan pembicara lain, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, Peneliti Centre for Strategic and International Studies, Arya Fernandes, dan Deputi Direktur Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati.
Djayadi menambahkan, petahana cukup mengelola dirinya tampil baik di depan publik selama masa tersebut. Djayadi mengatakan pemimpin pada masa krisis akan cenderung dinilai baik masyarakat. Kesulitan terkait potensi keterpilihan baru akan terjadi jika kepala daerah itu benar-benar tampil dengan sangat buruk.
Sementara itu, Titi Anggraini memetakan sejumlah alasan mengapa pilkada dilaksanakan pada tahun 2020. Pertama, hal itu terkait dengan siklus lima tahunan pilkada. Sebelumnya pilkada pada 2015 diselenggarakan di 269 daerah. Pilkada 2020 merupakan pengulangan siklus itu ditambah pilkada Kota Makassar yang sebelumnya dihelat pada 2018.
Kedua, kepala daerah di 207 daerah bakal mengakhiri masa jabatannya pada Februari 2021. Ketiga, ada keinginan memelihara hubungan dan ingatan terkait impresi politik, sosial, dan psikologis dari kepemimpinan yang berkuasa dan masyarakat.
Keempat, adanya kekhawatiran jika pilkada dilakukan September 2021, penjabat yang dipilih akan merugikan partai-partai nonpenguasa. Kelima, soal ketersediaan anggaran. Keenam, menjaga kondisi psikologis petugas pemilihan yang sudah direkrut.
Menteri Kesehatan lebih condong pada pilkada yang dilaksanakan seusai pandemi, sedangkan Menteri Dalam Negeri cenderung ingin menggelar pilkada pada Desember 2020
Beda pendapat
Sementara Arya menyoroti keterbelahan sikap antara Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam hal waktu pelaksanaan pilkada. Menteri Kesehatan lebih condong pada pilkada yang dilaksanakan seusai pandemi, sedangkan Menteri Dalam Negeri cenderung ingin menggelar pilkada pada Desember 2020.
Arya melihat bahwa dengan demikian pemerintah juga belum satu suara terkait jadwal pelaksanaan pilkada. Selain itu, pemerintah juga belum sepenuhnya yakin dan mampu menyelenggarakan pilkada pada Desember 2020.
”Saya kira Menkes mungkin melihat aspek kesehatan lebih penting,” kata Arya.
Jika pilkada dilaksanakan pada Desember 2020, lanjutan tahapan sudah mesti dilakukan pada Juni. Sementara itu, jika merujuk pada pemetaan kondisi Covid-19 di daerah pilkada yang dilakukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) berdasar data 15 Mei 2020, sebanyak 55 persen (596 orang) dari jumlah kematian akibat Covid-19 secara nasional, terjadi di kabupaten/kota yang menggelar pilkada. Sementara itu, juga ada 62 kabupaten dan kota yang menyelenggarakan pilkada dan saat ini menjalankan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Bawaslu juga mengindentifikasi adanya 541 kecamatan, dari total 3.935 kecamatan yang menyelenggarakan pilkada, memiliki kendala jaringan internet. Persoalan ini, menurut Bawaslu mesti jadi perhatian serius jika KPU hendak melaksanakan tahapan pemilihan dengan memanfaatkan teknologi informasi.