Menjaga Solidaritas, Mencegah Konflik akibat Covid-19
Solidaritas warga di masa pandemi Covid-19 ini terus menguat. Beragam bentuk partisipasi publik bagi tenaga medis ataupun warga terdampak telah muncul sejak awal wabah hingga sekarang.
Solidaritas warga di masa pandemic Covid-19 ini terus menguat. Beragam bentuk partisipasi publik bagi tenaga medis ataupun warga terdampak telah muncul sejak awal wabah hingga sekarang. Modal sosial yang telah terbentuk ini bisa menjadi salah benteng pencegahan konflik sosial akibat wabah.
Wabah Covid-19 mulai merebak awal Maret lalu di Indonesia. Pandemi telah menimbulkan dampak terhadap berbagai kehidupan bangsa. Salah satunya terpuruknya ekonomi masyarakat.
Kebijakan pembatasan sosial di sejumlah wilayah mengharuskan beberapa lapangan usaha menutup kegiatannya untuk memutus rantai penyebaran virus. Akibatnya, sejumlah masyarakat dirumahkan sementara dari pekerjaannya, bahkan ada juga yang harus kehilangan pekerjaan.
Di tengah situasi yang diliputi kecemasan dan ketidakpastian, jajak pendapat Kompas pertengahan Mei lalu menilai solidaritas publik semakin meningkat. Sebanyak 64 persen responden mengatakan masyarakat semakin peduli saat pandemi ini.
Hal ini cukup terlihat dari berbagai gerakan swadaya masyarakat yang dikoordinasi perorangan ataupun figur publik, komunitas masyarakat, organisasi sosial, dan perusahaan. Mereka langsung bergerak atas nama kemanusiaan tanpa menunggu komando dari pemerintah.
Tingginya kepedulian tersebut juga dapat dilihat dari 40 persen responden yang berencana secara rutin memberikan donasi satu hingga dua kali dalam sebulan selama pandemi. Bahkan, ada 16 persen yang mengaku berdonasi dengan frekuensi lebih banyak, yakni lebih dari tiga kali dalam sebulan.
Saat awal wabah, gerakan sosial yang muncul berupa penggalangan dana bagi petugas kesehatan. Hasilnya digunakan untuk membeli alat kesehatan, seperti hazmat, masker medis, sarung tangan, hingga asupan gizi dan vitamin bagi tenaga medis.
Aktivitas tersebut pernah dilakukan oleh seperempat responden. Meski proporsinya kecil, cukup membantu tenaga kesehatan yang pada saat itu sangat kekurangan peralatan medis untuk merawat pasien korona.
Selanjutnya, saat pasien Covid-19 mulai meningkat di sejumlah daerah, muncul gerakan solidaritas untuk menjadi sukarelawan yang membantu petugas kesehatan. Sukarelawan ini tidak hanya yang berprofesi dokter ataupun perawat, tetapi siapa saja yang berbadan sehat dan bersedia meluangkan waktu membantu. Tercatat ada separuh lebih responden yang bersedia menjadi sukarelawan untuk membantu tenaga kesehatan.
Kesediaan menjadi sukarelawan ini banyak dilakukan (51,7 persen) oleh usia dewasa (31-50 tahun). Dari pamflet perekrutan sukarelawan Kementerian BUMN salah satu syarat maksimal berusia 36 tahun.
Hal ini tidak menutup kemungkinan juga dilakukan generasi milenial seperti yang dilakukan beberapa mahasiswa Universitas Indonesia. Mengutip dari pemberitaan Kompas (13/5/2020), Javas, mahasiswa Program Studi Kesejahteraan Sosial, bertugas menjadi asisten perawat yang mengambil pakaian kotor pasien di RS Universitas Indonesia.
Warga terdampak
Dampak ekonomi karena pembatasan sosial mulai terasa. Sejumlah masyarakat mengeluhkan kekurangan penghasilan hingga ada yang terpaksa kehilangan pekerjaan. Masyarakat masih cukup antusias membantu meringankan beban mereka yang kekurangan.
Hal tersebut terlihat dari kesediaan separuh responden yang bersedia berpartisipasi dalam membantu warga terdampak ekonomi akibat Covid-19. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari menyediakan makanan gratis serta memberikan bantuan bahan pokok dan bantuan tunai.
Solidaritas menjadi modal sosial masyarakat Indonesia yang terbentuk sejak lama.
Selain memberikan bantuan kepada warga terdampak, beberapa komunitas masyarakat juga memberikan sosialisasi dan pencegahan penyebaran virus. Di antaranya pembuatan hand sanitizer kemudian membagikannya secara gratis seperti yang dilakukan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Kemudian sejumlah perusahaan melalui kegiatan CSR-nya melakukan kegiatan penyemprotan disinfektan di berbagai fasilitas publik, membangun fasilitas pencucian tangan, hingga ikut melakukan kampanye cara mencuci tangan yang baik dan benar.
Saat pemerintah mengharuskan pemakaian masker kain kepada seluruh masyarakat, mulai muncul gerakan pembagian masker kain gratis kepada masyarakat yang membutuhkan.
Keharusan memakai masker kain ini akhirnya banyak menggerakkan komunitas masyarakat bersama sekelompok penjahit untuk membuat masker kain dalam jumlah banyak. Di antaranya dilakukan sekelompok penjahit di Kota Malang, ibu PKK di Mesuji Lampung, hingga warga Desa Harjowinangun, Pakem, Sleman.
Solidaritas cenderung meningkat ini harus terus dijaga baik oleh masyarakat dan pemerintah. Ini modal sosial yang telah terbentuk sejak lama. Bahkan, sebelumnya, dalam beberapa kejadian bencana alam, gerakan sosial langsung muncul dari masyarakat. Mereka berinisiatif sendiri membantu sesamanya dulu.
Tak heran jika Indonesia dijuluki sebagai negara paling dermawan di dunia oleh Charities Aid Foundationa melalui World Giving Index 2018 (Kompas, 18/05/2020). Skor kedermawan Indonesia 59 persen, diukur dari pertolongan kepada orang asing yang membutuhkan, mendonasikan uang, dan kesediaan menjadi sukarelawan.
Potensi Konflik
Kondisi ekonomi masyarakat yang kian menyusut di tengah ketidakpastian akhir masa pandemi ditambah penyaluran bantuan sosial yang masih belum menggapai seluruh warga yang terdampak akan dapat menghadirkan konflik di masyarakat.
Konflik antarwarga dinilai hampir 60 persen publik akan sangat mungkin meningkat jika masa pandemi Covid-19 masih akan terus berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
Covid-19 secara nyata telah berdampak terhadap perekonomian di berbagai sektor, mulai dari sektor rumah tangga, UMKM, hingga korporasi ataupun sektor keuangan, baik swasta maupun negara. Tenaga kerja yang di-PHK atau dirumahkan hingga April 2020 menurut data Kementerian Tenaga Kerja mencapai 2,08 juta.
Angka ini diperkirakan masih akan meningkat, bahkan Bappenas telah merevisi target yang memperkirakan angka pengangguran hingga akhir 2020 akan bertambah 4,2 juta jiwa dibanding 2019.
Akibatnya, terjadi penurunan daya beli masyarakat. Lebih jauh, jika tidak mampu ditangani dengan baik, tidak hanya semakin menambah jumlah penduduk miskin, tetapi juga penduduk yang kelaparan.
Ketegangan, kecurigaan, dan ketidakpercayaan akan dapat meningkat jika kondisi ekonomi kian merosot. Akibatnya, konflik antarwarga, baik berupa kekerasan maupun kriminalitas, bisa meningkat.
Bantuan sosial dari pemerintah pusat dan daerah rentan menimbulkan konflik horizontal di tengah masyarakat. Data penerima bansos pemerintah yang didata sebelum Covid-19 berubah karena tingginya pertambahan jumlah warga yang berubah status sosialnya akibat dampak Covid-19 yang meluas.
Penyaluran bantuan sosial yang masih belum rapi sehingga belum menjangkau seluruh warga yang terdampak dapat menimbulkan konflik vertikal antara masyarakat dan pemerintah.
Masyarakat akan menilai buruk penyaluran bantuan dari pemerintah yang seringkali tidak tepat sasaran. Kondisi ini sangat mungkin terjadi jika tidak ada pembenahan dalam pendataan yang tepat dan penyaluran dalam memberikan bantuan sosial.
Harapan
Di tengah segala kondisi yang masih penuh dengan ketidakpastian serta menjadi masa sulit bagi mereka yang terdampak Covid-19, publik masih menaruh keyakinan cukup tinggi kepada pemerintah. Hampir 60 persen responden masih berharap pada kemampuan pemerintah dalam mengatasi dengan cepat dampak dari pandemi Covid-19 terlebih terhadap kehidupan ekonomi masyarakat.
Harapan besar publik didasari akan kesadaran bahwa peran masyarakat untuk mendukung pemulihan kondisi ekonomi oleh pemerintah sangat penting. Publik harus tetap mengikuti protokol kesehatan yang dianjurkan selama masa pandemi.
Sementara itu, pemerintah akan terus melakukan evaluasi terhadap penerapan PSBB untuk dapat menetapkan waktu pelonggaran pembatasan sosial. Pemerintah membutuhkan kepatuhan publik untuk mampu mengatasi wabah Covid-19 dengan cepat.
Masih tingginya harapan publik terhadap kemampuan pemerintah seharusnya dimanfaatkan pemerintah untuk memperbaiki kinerjanya dalam menangani wabah Covid-19.
Selanjutnya, solidaritas sosial yang diinisasi masyarakat juga dapat dikembangkan di tingkat nasional dengan koordinasi pemerintah. Optimisme publik dan solidaritas sosial bisa menjadi modal pemerintah untuk menghadapi pandemi Covid-19 bersama-sama, sekaligus menangkal konflik sosial yang berpotensi muncul.(LITBANG KOMPAS)