Hipertensi adalah salah satu faktor risiko keparahan dan komplikasi Covid-19. Selain itu, juga meningkatkan risiko penyakit degeneratif. Karena itu, deteksi dan mengendalikan hipertensi menjadi penting.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·4 menit baca
Di masa pandemi Covid-19, penderita hipertensi merupakan salah satu kelompok yang berisiko tinggi mengalami keparahan dan komplikasi.
Hipertensi atau tekanan darah tinggi menyebabkan kerusakan serius pada jantung. Penyebabnya, tekanan berlebihan merusak dan mengeraskan dinding pembuluh darah. Pada gilirannya, hal itu mengurangi aliran darah dan oksigen ke jantung.
Sementara itu, Covid-19 mengganggu sistem pernapasan dan memperberat kerja jantung.
Penelitian tim di China yang dipublikasikan di JAMA Internal Medicine, 13 Maret 2020, menunjukkan, 84 dari 201 penderita Covid-19 mengalami sindrom kesulitan pernapasan akut. Sebanyak 27,4 persen dari 84 orang tersebut memiliki tekanan darah tinggi.
Secara umum, kondisi penderita Covid-19 yang tekanan darahnya terkendali lebih baik dibandingkan dengan mereka yang tekanan darahnya tidak terkontrol.
Tekanan darah disebut normal jika pengukuran menunjukkan nilai maksimal 120/80 mmHg. Angka pertama disebut diastolik, yakni saat otot jantung berkontraksi. Yang kedua adalah diastolik, ketika otot jantung berelaksasi.
Menurut Asosiasi Jantung Amerika (AHA), hipertensi stadium satu adalah saat tekanan sistolik 130-139 mmHg dan diastolik 80-89 mmHg. Pada kondisi ini, sebaiknya dilakukan intervensi untuk mengendalikan tekanan darah dan mencegah kerusakan organ.
Disebut hipertensi stadium 2 jika sistolik 140 mmHg dan diastolik 90 mmHg. Kondisi saat sistolik lebih dari 180 mmHg dan diastolik lebih dari 120 mmHg disebut krisis hipertensi. Penderita perlu dirawat di rumah sakit untuk mengatasi kerusakan organ.
Hipertensi sering kali tidak menunjukkan tanda-tanda atau gejala. Bahkan, saat pengukuran tekanan darah mencapai tingkat yang membahayakan.
Masalahnya, demikian laman Mayo Clinic, hipertensi sering kali tidak menunjukkan tanda-tanda atau gejala. Bahkan, saat pengukuran tekanan darah mencapai tingkat yang membahayakan.
Tekanan darah tinggi yang tidak terkendali meningkatkan risiko masalah kesehatan serius, termasuk serangan jantung, stroke, dan gagal ginjal. Karena itu, hipertensi disebut sebagai pembunuh diam-diam (the silent killer).
Hipertensi kronis juga menyebabkan demensia vaskular, yakni penurunan kemampuan kognitif secara bertahap, dimulai dengan kehilangan daya ingat.
Tidak spesifik
Gejala hipertensi sering kali tak spesifik. Sebagai contoh, sakit kepala, mimisan, gangguan irama jantung, pandangan kabur, dan telinga berdengung. Adapun tanda hipertensi berat bisa berupa kelelahan, mual, muntah, kebingungan, kecemasan, nyeri dada, dan tremor otot.
Untunglah, tekanan darah bisa diukur sehingga hipertensi bisa dideteksi. Disarankan untuk memeriksakan tekanan darah setiap dua tahun mulai usia 18 tahun. Setelah menginjak usia 40 tahun atau jika diketahui berisiko tinggi hipertensi, pengukuran tekanan darah dilakukan setiap tahun.
Selain usia dan keturunan, penyebab hipertensi, antara lain, kegemukan, kurang gerak, dan stres. Tubuh yang gemuk memerlukan lebih banyak aliran darah untuk memasok oksigen dan zat gizi ke seluruh jaringan tubuh.
Penyebab lain adalah merokok. Zat kimia dalam rokok bisa merusak dinding pembuluh darah dan menyebabkan pembuluh darah menyempit. Sementara konsumsi garam (sodium) terlalu banyak menyebabkan lebih banyak air terserap aliran darah.
Hal itu mengakibatkan volume dan tekanan pada dinding pembuluh darah bertambah sehingga terjadi hipertensi. Hal yang sama terjadi jika ada defisiensi kalium yang berfungsi menyeimbangkan kadar sodium dalam sel tubuh.
Penyakit kronis, seperti gangguan fungsi ginjal, diabetes, gangguan tiroid, dan gangguan tidur di mana pernapasan sering terhenti (sleep apnea) juga menjadi penyebab hipertensi.
Konsumsi obat-obatan tertentu, di antaranya, obat kontrasepsi, obat batuk pilek, pelega pernapasan, dan penghilang rasa sakit, bisa memicu hipertensi. Demikian juga penyalahgunaan zat adiktif seperti kokain dan amfetamin.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, 1,13 miliar penduduk dunia mengidap hipertensi. Dua pertiga jumlah itu tinggal di negara berkembang dan negara miskin. Namun, lebih dari 50 persen penderita tidak menyadari kondisinya.
Karena itu, Liga Hipertensi Dunia (WHL), yang saat ini beranggotakan 60 organisasi hipertensi dari seluruh dunia, sejak tahun 2005 menginisiasi kampanye untuk meningkatkan kesadaran terhadap hipertensi dan dampaknya setiap tanggal 17 Mei.
Tema Hari Hipertensi Dunia (WHD) tahun ini adalah ”Measure Your Blood Pressure, Control It, Live Longer”, yakni imbauan untuk mengukur tekanan darah dan mengendalikan hipertensi sehingga bisa hidup lebih lama.
Di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 mencatat, 63,3 juta orang atau 34,1 persen penduduk di Indonesia menderita hipertensi. Dari jumlah tersebut, hanya 8,8 persen terdiagnosis hipertensi dan hanya 54,4 persen dari yang terdiagnosis hipertensi rutin minum obat. Angka kematian di Indonesia akibat hipertensi 427.218 kematian.
Terkait pandemi Covid-19, karena harus di rumah saja, orang tidak banyak melakukan aktivitas fisik. Bisa jadi berat badan pun bertambah. Pola tidur yang terganggu, cemas, dan stres karena khawatir kehilangan pekerjaan atau pendapatan merosot tajam juga dapat memicu hipertensi.
Untuk mengatasi hipertensi, bisa diterapkan gaya hidup dan pola makan sehat. Mengonsumsi makanan alami, banyak serat, mengurangi garam (rekomendasi AHA, maksimum 1 sendok teh atau 2.300 mg per hari), memperbanyak aktivitas fisik, dan mengelola stres.