PAN Tanpa Modal Simbolik Amien
Kekalahan Amien Rais dalam Kongres V Partai Amanat Nasional di Kendari, Sulawesi Tenggara, Februari lalu, menjadi sinyal meredupnya pengaruh politik pendiri PAN ini.
Dalam tubuh Partai Amanat Nasional (PAN), sosok Amien Rais menyatu sekaligus menjadi modal kekuatan simbolik partai dalam berpolitik. Tanpa pengaruh politik Amien, kekuatan apa lagi yang masih dimiliki PAN?
Kemunduran Hanafi Rais, putra Amien Rais, dari kepengurusan PAN menjadi salah satu titik pisah hubungan mutual politik yang terbangun selama ini antara PAN dan sosok Amien Rais. Perceraian politik klan Amien Rais memang tidak datang tiba-tiba. Semenjak Kongres V PAN yang berlangsung di Kendari, Sulawesi Tenggara, 10-12 Februari 2020, hal itu sudah terindikasikan.
Mundurnya Hanafi Rais dari kepengurusan PAN menjadi titik pisah PAN dengan Amien Rais.
Kongres PAN yang kembali menempatkan Zulkifli Hasan sebagai ketua umum partai, jelas di luar kehendak politik Amien Rais. Amien, dalam kongres tersebut, menentang pencalonan Zulkifli dan sebaliknya mendukung jagonya, Mulfachri Harahap. Padahal, dalam sejarah perjalanan politik PAN sebelumnya, Amien selalu menjadi determinan dalam kemunculan sosok ketua umum partai.
Dalam setiap kongres partai, estafet kepemimpinan dari dirinya kepada Soetrisno Bachir (2005-2010), berlanjut kepada Hatta Rajasa (2010-2015), hingga periode pertama kepemimpinan Zulkifli Hasan (2015-2020), berjalan dalam kehendak politik Amien Rais.
Kekalahan dalam kongres menjadi sinyal meredupnya pengaruh politik Amien Rais. Menjadi semakin nyata tatkala tidak banyak lagi kepentingan politik terakomodasikan, sebagaimana yang tecermin dalam sosok susunan para pengurus baru partai. Kendati berbagai protes dilakukan, bahkan disertai pula ancaman pembentukan partai politik baru, PAN dalam kendali Zulkifli bergeming.
Mundurnya Hanafi Rais menjadi penanda yang semakin menyiratkan berpalingnya kekuatan simbolik Amien Rais. Persoalannya, dalam kiprah politik kepartaian selanjutnya, dapatkah PAN bertahan tanpa modal simbolik tersebut?
Menjadi ciri khas dalam format kepartaian di negeri ini jika kekuatan hybrid menjadi model yang paling banyak dijadikan sandaran.
Di satu sisi, sebagaimana Gunther dan Diamond (2003) paparkan, partai-partai dibangun dalam struktur organisasi kepartaian yang tidak kuat, cenderung bersandarkan pada kekuatan elite bersama kelompoknya dalam satuan wilayah tertentu (elite-based parties). Pola hubungan yang terbentuk dalam model partai semacam itu bersifat patron-klien, di mana model relasi klientelisme antara pemimpin dan konstituen partai yang tidak simetris tetapi bersifat mutual (reprositas) itu teruji terus-menerus dalam bentuk kontrol loyalitas.
Namun, di sisi lain, di negeri ini relasi klientelis semacam itu juga menjadi bagian dari model personalistic parties, yang mendasarkan pendirian dan segenap eksistensi politik partai dalam sosok setiap pendirinya. Kehadiran dan kiprah politik PDI-P, Gerindra, dan Demokrat, tidak lepas dari model semacam ini. Sosok Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, dan Susilo Bambang Yudhoyono, merupakan para pendiri partai dan tergolong berhasil membangun kekuatan klientelistik.
Sekalipun bersifat kolektif, Amien Rais juga menjadi pendiri PAN. Begitu pula, sejak 1998 ia berhasil menanamkan pengaruh politik hingga menjadi sosok dominan pada partai. Dapat dikatakan, dalam kurun waktu dua dasawarsa terakhir ia bahkan membangun partai cenderung menjadi lebih bersifat personalistic parties.
Akan tetapi, berbeda dengan Megawati, Prabowo, dan Yudhoyono yang berperan sebagai patron, relasi klientelistik yang dibangun Amien Rais terbatas. Ia memang tergolong berhasil menjadi patron politik, tetapi tidak dalam kehidupan material partai. Dalam kondisi demikian, kontrol loyalitas terhadap para klien relatif rapuh. Artinya, Amien tidak berhasil menempatkan posisinya menjadi sufficient condition bagi PAN, patron segalanya. Sejauh ini, hanya kekuatan simbolik saja yang tersemat dalam dirinya.
Sebagai patron, peran Amien Rais dalam PAN cenderung terbatas.
Saat perceraian politik terjadi, PAN berpotensi kehilangan modal simbolik tersebut. Hanya saja, suatu konsekuensi dari partai politik yang tidak dibangun berdasarkan kekuatan personal, masih terdapat modal ataupun kekuatan politik lain yang dapat diberdayakan. Persoalannya, apa saja dan bagaimana semua kekuatan tersebut dapat terwujud?
Becermin pada kekuatan elektoralnya, PAN masih memiliki modal politik konstituen kalangan menengah perkotaan yang relatif solid semenjak pendiriannya. Dari segi pendidikan, misalnya, konstituen pemilih PAN merupakan kalangan yang berbasis pendidikan menengah ke atas.
Dibandingkan dengan partai politik dengan perolehan suara yang tidak berjarak jauh, hanya PAN yang memiliki proporsi pemilih berpendidikan dasar terkecil, dan hanya dengan PKS yang tercatat memiliki proporsi berpendidikan tinggi besar. Posisi sebagai partai kalangan menengah juga dikukuhkan dengan kekuatan basis ekonomi pemilihnya. Sebagian besar bertumpu pada kalangan ekonomi menengah (Grafik 1).
Dari sisi jumlah, bersandar pada basis massa pemilih kalangan menengah memang tidak menjadi populasi pemilih yang terbanyak dan cenderung bersifat elitis. Akan tetapi, memiliki basis konstituen kalangan menengah dapat pula menjadi suatu modal lebih tersendiri bagi partai, terutama terkait dengan sisi kemandirian yang tidak hanya terpaku pada sosok hingga kepiawaian dalam pengelolaan isu persoalan.
Dalam banyak kasus, PAN telah membuktikan kepiawaian yang dimilikinya dalam mengelola ataupun mengendalikan persoalan politik hingga menempatkan partai ini sebagai determinan politik dalam setiap perubahan kekuasaan kepemimpinan negara.
Selain kekuatan dukungan kaum menengah, PAN juga ditopang oleh para pemilih yang cenderung moderat. Hasil survei terhadap para pemilih partai yang dilakukan oleh Litbang Kompas secara konsisten menunjukkan, dalam partai ini pemilih yang berorientasi nilai politik moderat jauh lebih besar dibandingkan dengan konservatif. Jika dibandingkan dengan partai-partai yang berbasis massa pemilih Islam, misalnya, PAN menjadi partai yang terbanyak proporsi pemilih kalangan moderatnya (Grafik 2).
Seperti juga kekuatan kelompok menengah, dukungan kaum moderat dalam kultur politik negeri ini memang tidak menjadi yang dominan di negeri ini. Kecenderungan konservatisme lebih banyak mewarnai praktik politik, termasuk dalam kepartaian. Namun, kondisi demikian bukan lagi harga mutlak, yang bersifat statis sepanjang masa.
Bagaimanapun bibit-bibit kemunculan kaum moderat yang lebih progresif bertumbuh sejalan dengan kemunculan generasi baru politik di negeri ini. Dalam hal ini, PAN berpotensi diuntungkan lantaran dari sisi usia pemilihnya mengakomodasikan kalangan muda yang cukup signifikan dibandingkan dengan para pemilih partai lain (Grafik 3).
Pada sisi lain, dua dekade berkiprah dalam pemilu telah terjadi suatu pergeseran massa pemilih PAN. Apabila sebelumnya dukungan terhadap PAN tersebar di sejumlah kota besar di Pulau Jawa dan Sumatera, yang menjadi wilayah politik kultural, dalam perjalanan politik selanjutnya menjadi lebih menyebar ke beberapa wilayah provinsi di sebelah timur Indonesia, seperti Sulawesi.
Dalam Pemilu 1999, misalnya, kutub pemilih PAN tampak di Kota Padang, Medan, Bandung, Jakarta, Tangerang, dan Surabaya. Dalam pemilu periode selanjutnya, kecenderungan penurunan terjadi. Akan tetapi, di wilayah lain, seperti Provinsi Sulawesi Tenggara, tampil menjadi salah satu basis kekuatan baru. Bahkan, menariknya, hingga Pemilu 2019, penguasaan PAN di wilayah ini mampu dipertahankan.
Fenomena peningkatan suara PAN yang sebenarnya terjadi di wilayah yang tidak menjadi basis awal kulturalnya itu menarik dicermati yang sekaligus mengindikasikan prospek baru partai ini. Artinya, kekinian PAN tidak hanya berkutat pada kekuatan basis massa politik perkotaan Jawa dan Sumatera.
Memang, fakta perkembangan PAN demikian tidak lepas pula dari pola kecenderungan terbentuknya kekuatan elite politik lokal yang mengukuhkan kembali model elite-based parties dibandingkan dengan programmatic parties, model yang biasanya diadopsi oleh partai-partai politik pilihan kaum menengah perkotaan.
Namun, dalam posisi cerai politik dari kekuatan simbolik Amien Rais, kemunculan dan kiprah dari kekuatan elite lokal, khususnya kader partai, menjadi pilar-pilar baru dalam matahari politik PAN. (LITBANG KOMPAS)