Suatu Malam Aku Melayang
Aku teringat bahwa listrik rumahku sering padam. Bahkan di malam hari. Sampai rumahku gelap. Sekarang sekelilingku masih gelap.
Aku suka hari libur. Aku juga suka saat Bapak mengangkatku tinggi-tinggi. Dengan dua tangannya yang besar Bapak melingkari pinggulku dan menaikkanku. Aku seperti melayang di udara sambil tertawa.
Aku bertanya apakah aku bisa melayang sendiri di udara. Biar Bapak tidak capai menyompohku. Tentu tidak bisa. Tak seorang pun bisa melayang tanpa naik pesawat kata Bapak. Padahal aku pernah mimpi suatu malam aku bisa melayang. Aku ingin melayang seperti di mimpi. Pasti mengasyikkan bisa berkelok-kelok di langit sesukaku.
Bapak mengajakku ke pantai di hari libur. Ibu dan adik juga ikut. Meski banyak sampah. Aku senang ke pantai. Di sekelilingku pasir. Aku bisa mencoret namaku di pasir. Atau mengentak kakiku sedalamnya. Jika kuangkat jejak kakiku tercetak jelas.
Ibu dari tadi cuma duduk di pasir. Adik tidur mulu digendong Ibu. Kata Ibu, adik suka tidur karena masih dua tahun kurang. Sedang aku dan adik beda tiga tahun lebih.
Bapak berdiri di tengah pantai. Aku di sampingnya. Rambutku meliuk-liuk dalam tiupan angin. Rambut Bapak tidak. Rambut Bapak cepak. Tidak seperti rambut Ibu. Aku suka menggelung rambut Ibu dengan jariku ketika hendak tidur.
Aku memandang Bapak. Bapak memandang ke air dan ufuk. Warna-warna langit terpantul di matanya. Pada saat yang sama Bapak melepaskan tangan dan mengayunkannya. Aku menirunya.
***
Aku sudah tujuh tahun lebih. Sudah kelas dua SD. Tapi Ibu Bapak masih suka mengecup pipiku saat mengantarku ke sekolah. Aku menolak saat Ibu ingin mengecupku. ”Apakah kamu sudah tidak sayang Bapak Ibu?”. Aku menggeleng. Aku sayang. Tapi aku sudah besar. Malulah dilihat teman-temanku di sekolah. Aku hanya mau mengecup kedua tangan mereka. Seperti ke bu guru.
Tapi Ibu suka memaksa dan memelas. Aku tidak bisa mengelak saat Ibu mengelus kepalaku. Bapak sama saja. Pipiku merasa geli karena kumis Bapak yang menggelitik.
”Kalian jangan kayak Rizki, ya. Rizki itu murid paling malas di sini.”
Bu Sri sering bilang begitu di kelas. Teman sekelas menertawakan Rizki. Ada yang menyoraki ”huu” atau ”tuh” serta ”sukurin” sambil memukul-mukul meja. Rizki yang duduk di sebelahku cuma menunduk.
Kata teman-temanku Bu Sri guru paling galak di sekolah. Semua murid takut Bu Sri. Bu Sri juga benci Rizki. Aku tanya kenapa mereka jawab tidak tahu. Aku kasihan kepada Rizki. Tapi aku lebih takut dibenci Bu Sri. Jadi aku ikut saja menertawakan dia.
Padahal Rizki anak baik. Dia pernah membelikanku sebatang es lilin. Waktu sedang pelajaran Bu Sri keluar kelas. Aku tiba-tiba ingin pipis. Rizki juga. Kami melihat Bu Sri dan bu guru lain sedang beli sayur saat ke toilet. Ibu penjual sayur suka ke sekolah pakai sepeda sebelum jam istirahat. Keranjangnya penuh sayur.
Aku hendak kembali kelas. Rizki mengajakku ke kantin sebentar beli es lilin. Dia bilang haus. Aku bilang, ”Jangan, nanti dimarahi Bu Sri.” Rizki bilang tidak apa-apa jajan sebentar. Bu Sri juga sedang beli sayur. Jadi tidak akan tahu. Nanti aku dibelikan es lilin. Aku mengangguk. Kami mengisap es lilin sampai pipi kami kempot. Kadang aku gigit esnya. Gigiku sampai menggigil. Es lilin Bu Mul memang paling enak dan segar.
Di kelas kami ketahuan jajan. Bu Sri memarahi kami habis-habisan. Terutama kepada Rizki. Bu Sri bilang Rizki membawa pengaruh buruk kepadaku. Sama seperti orang tuanya. Kami takut. Ternyata ada anak melapor. Kami cuma diam melempar pandangan ke lantai. Sekelas hening.
Saat kelas tiga Rizki tidak lagi ke sekolah. Bu Yanti katakan bahwa Rizki sudah pindah sekolah. Sekelas senang Bu Yanti jadi guru kelas kami. Bu Yanti baik dan tidak galak.
Di rumah aku cerita ke Bapak kalau temanku Rizki pindah sekolah. Kenapa pindah. Bapak penasaran. Aku menggeleng tak tahu. Ibu yang juga di situ menimpali. Orang tua Rizki juga pindah rumah karena punya utang banyak ke banyak orang. Termasuk ke seorang guru di sekolahku. Aku heran kenapa mesti pindah rumah. Ibu sering utang ke warung. Tapi kami tidak perlu pindah rumah. Aku juga tidak pindah sekolah. Bu Yanti tidak kasih tahu Rizki pindah ke mana. Aku kangen Rizki.
***
Pada hari Minggu aku nonton kartun TV pagi kesukaanku. Bapak sedang pergi. Adik masih tidur di kamar. Ibu masak nasi pakai kayu. Aku pernah bertanya kenapa tidak pakai gas lagi. Kata Ibu takut meledak. Bahaya. Harganya juga mahal.
Masak nasi pakai kayu jauh lebih enak ujar Ibu. Tapi aku tidak suka pakai kayu. Bau sangit. Asapnya bikin mataku pedih dan berair. Tapi mata Ibu tidak. Karena sudah terbiasa katanya. Padahal kadang aku ingin menemani Ibu masak.
Dari kamar adik panggil Ibu. Satu kali. Dua kali. Adik panggil Ibu makin keras. Tak ada sahutan. Aku bilang Ibu sedang masak. Aku bilang ssst jangan berisik. Aku sedang menonton jadi terganggu. Adik ngeyel masih memanggil-manggil.
Aku akhirnya mendekati dapur. Aku panggil Ibu. Ibu tetap bergeming duduk di kursi kecil di dekat pawon. Aku lihat mata Ibu merah dan kuyu. Mungkin oleh asap. Asap kayu berkepul-kepul ke atas. Mata ibu terpaku ke depan.
Tiba-tiba adik teriak keras panggil Ibu. Aku benar-benar terganggu dan tidak sabar agar adik segera diam dan agar aku bisa segera nonton kartunku lagi dan aku langsung menghampiri adik. Aku tempeleng kepala adik. Aku suruh dia diam. Dia malah jadi menangis. Tangisannya melengking. Keras sekali. Berisiknya minta ampun. Padahal adik laki-laki. Tapi menangis.
Ibu segera menghampiri kami. Aku dijewer karena bikin adik menangis. Aduh duh. Ampun Ibu. Telingaku berasa panas. Ditarik ke atas seperti permen karet. Tapi aku tidak menangis. Bapak pernah bilang jadi laki-laki harus kuat dan tidak gampang menangis. Agar aku bisa menjaga Ibu dan adik dari orang jahat. Aku sudah janji. Jadi aku tidak menangis.
Ibu bentak aku jangan tempeleng adik. Padahal aku hanya sangat gemas dengan adik yang ngeyel berisik. Padahal aku hanya melakukan seperti yang Bapak lakukan kepada Ibu. Aku mengintip dari dalam kamarku semalam.
***
Aku suka Ibu kalau menemaninya ke warung. Beli beras dan rokok. Kadang Ibu belikan aku permen kaki atau lolipop. Tapi kini Ibu jarang kasih permen. Ibu makin sering tidak mengasihku uang jajan ke sekolah.
Bapak bilang aku mesti mulai belajar puasa Senin-Kamis seperti orang besar. Aku tidak tahu puasa apa itu. Ya seperti puasa Ramadhan. Kamu tidak boleh makan minum saat puasa. Tapi hanya di hari Senin dan Kamis.
Biar dapat pahala dan masuk surga kata Bapak. Puasa juga bikin badanku sehat. Bapak dan Ibu juga akan puasa. Adik belum karena masih kecil. Bapak akan kasih aku hadiah jajan atau mainan kalau bisa puasa selama satu bulan ini.
”Kamu tinggal pilih. Bapak janji,” ujar bapak. Aku mengangguk. Senang bakal dapat hadiah. Aku akan rajin puasa.
Ada yang mengetuk pintu depan suatu malam. Aku langsung melipir ke pintu menilik ke luar lewat jendela. Ada orang di depan pintu. Aku sulit menengok mukanya karena gelap. Lampu depan rusak.
Aku kaget. Kenapa Pakde bisa mengenaliku. Sedang dari luar gelap begitu. Bapak lalu menemui Pakde. Mereka terus pergi. Aku tanya Ibu pergi ke mana Bapak.
”Bapak pergi membantu Pakdemu. Bapak selalu saja mau membantu Pakde dan saudaranya saat susah. Sedang saat Bapakmu susah mana ada mereka mau balas bantu. Sekarang ekonomi kita sedang susah buat hidup. Makanya kita puasa. Saudara-saudara Bapakmu itu kaya. Boro-boro mereka bantu. Mereka malah ke sini membawa masalah dan butuh bantuan Bapak. Dasar mereka tak pernah tahu diri! Bapak sama saja. Cuma uring-uringan ke Ibu!” Ibu menggerutu. Aku mengangguk. Aku tidak terlalu mengerti apa yang Ibu katakan.
Pagi harinya aku minta ke Ibu uang jajan. Ibu tidak kasih. Tapi aku tetap minta karena ingin beli es lilin Bu Mul dan karena kemarin aku sudah puasa dan karena aku sudah seminggu tak dapat uang jajan dan karenanya aku terus merengek-rengek ke Ibu.
Plakk.... Ibu menggampar pipiku dengan keras. Telingaku berdesing. Pipiku sakit sekali. Lebih sakit ketimbang dijewer. Aku mau menangis. Tapi aku tahan.
Teman-teman menunjuk pipiku. Di kelas aku murung. Bu Yanti menghampiri bertanya aku kenapa. Aku jawab karena Ibu. Bu Yanti minta aku cuci muka dulu di belakang. Aku menurut. Saat berkaca aku melihat ada bekas merah di bagian pipi yang sama seperti punya Ibu. Tapi di pipi Ibu warnanya biru gelap.
***
Aku bingung dan takut. Belakangan ini Bapak makin sering meneriaki dan memukul Ibu. Mata Bapak sampai mendelik-delik. Teriakan Bapak sangat keras memenuhi rumah kami yang kecil. Teriak ”bangsat!” atau ”benalu!” atau entah aku tidak paham artinya. Aku dan adik duduk bersama di pojok pintu kamar sambil menutup telinga. Kulitku sampai meremang. Adik tutupan bantal ketakutan.
Lalu piaaarrr... buk... buk... blaaarrr.... Aku sudah tidak tahan terus menangis hebat terus menghampiri Ibu terus memeluk kaki Ibu dan terus aku menjerit kencang dan menggerung-gerung dan terus aku menggigil dan masih menjerit-jerit dan terus aku sudah lupa janjiku ke Bapak untuk tidak menangis dan bahwa Bapak masih melempar piring gelas botol di dekat Ibu dan aku.
Bapak meneriaki aku agar diam dan aku masih saja menangis keras. Bapak berteriak bahwa kami semua cuma beban tak tahu diuntung. Aku tetap menjerit takut.
Bapak sekelebat mengambilku. Kedua tangannya melingkari leherku dan mengangkatku tinggi-tinggi. Aku seperti melayang di udara sambil terdongak. Suaraku tercegat. Ibu berteriak jangan... cukup... hentikan... dan seterusnya aku tidak bisa mendengar. Tenggorokanku berasa menyempit. Mataku buram. Tiba-tiba gelap. Semua lampu rumah sepertinya mati.
Aku teringat bahwa listrik rumahku sering padam. Bahkan di malam hari. Sampai rumahku gelap. Sekarang sekelilingku masih gelap. Akhirnya lampu menyala. Aku melihat aku sedang tidur di pangkuan Ibu yang menangis. Bapak memukulkan tangan dan kepalanya ke dinding. Aku juga lihat adik menangis di kamar. Tapi aku tidak mendengar tangisan mereka. Semua senyap.
Badanku terasa ringan. Aku melayang. Menguar ke atas. Lama-lama menaik. Semakin tinggi.
Cerita buat Nabila Dezty Anggraeni
Kebumen, 18 April 2020
*Emerald Magma Audha, lulusan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Lahir di Kebumen, Jawa Tengah, 22 Juli 1996. Pernah bergiat di Lembaga Pers Mahasiswa Sketsa.