Ilmu Pengetahuan Gratis, Bekal Menyongsong Kehidupan Baru Pascapandemi
›
Ilmu Pengetahuan Gratis, Bekal...
Iklan
Ilmu Pengetahuan Gratis, Bekal Menyongsong Kehidupan Baru Pascapandemi
Kelas daring, pelatihan virtual, hingga webinar gratis menjadi media untuk memperkaya kecakapan diri selama pandemi Covid-19. Ini penting untuk persiapan menuju kehidupan normal baru.
Oleh
sekar gandhawangi
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah institusi kini menggratiskan akses ke gudang ilmu pengetahuannya. Sebut saja Universitas Harvard dan Columbia, dua dari delapan universitas Ivy League di Amerika Serikat. Ada pula kelas daring gratis dari Universitas Stanford dan Oxford. ”Mata kuliah” yang tesedia beragam, mulai dari musik, matematika, psikologi, hingga teknologi informasi.
Di Indonesia, sejumlah webinar gratis dengan pembicara dari beragam latar belakang juga tersedia. Ada pula orang-orang yang membuka kelas gratis di akun media sosial. Kesempatan mendulang ilmu gratis perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Ketua Umum Inovator 4.0 Indonesia Budiman Sudjatmiko, saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (21/5/2020) malam, mengatakan, pandemi memaksa dan mempercepat disrupsi di segala sektor. Hal ini mendorong sebagian orang untuk berbagi ilmu.
”Kita dituntut untuk membentuk perangai yang saintifik. Ada kesadaran bahwa ilmu pengetahuan akan menjawab banyak tantangan di tatanan hidup yang baru (new normal),” kata Budiman.
Menurut dia, era normal baru hanya bisa dihadapi oleh orang yang berwawasan terbuka. Penting bagi masyarakat untuk memahami cara berpikir ilmiah, yakni berpikir yang kritis, analitis, dan logis.
Untuk mencapainya, masyarakat dapat melatih diri melalui diskusi, seminar, hingga perkuliahan daring yang tersedia secara gratis.
Perspektif baru
Menimba ilmu di masa pandemi diyakini membuka kemungkinan munculnya perspektif baru. Perspektif ini diperlukan untuk menemukan terobosan baru di semua sektor, khususnya pada masa setelah pandemi.
Budiman mengatakan, proses berpikir baru selalu dialami masyarakat setelah krisis besar, misalnya masa setelah Perang Dunia I, Depresi Besar pada abad ke-20, pandemi flu Spanyol, dan Perang Dunia II. Pemikiran baru digunakan untuk menggugat pengetahuan masa lalu yang dinilai tidak efektif menangani krisis.
”Kita perlu belajar sejarah untuk tahu kecerdasan dan kebodohan di masa lampau. Sastra, khususnya fiksi sains, untuk mengimajinasikan masa depan. Sains untuk merencanakan masa depan. Filsafat untuk memberi makna terhadap kejadian masa lalu, masa kini, dan masa depan,” katanya.
Tren ilmu pengetahuan daring memberikan tantangan baru. Transformasi digital yang masif, mendadak, dan memaksa menghasilkan akses edukasi yang merata bagi semua orang. Namun, hal itu belum tentu dibarengi dengan kualitas belajar yang merata.
Kita perlu belajar sejarah untuk tahu kecerdasan dan kebodohan di masa lampau. Sastra, khususnya fiksi sains, untuk mengimajinasikan masa depan. Sains untuk merencanakan masa depan. Filsafat untuk memberi makna terhadap kejadian masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Ia juga merumuskan beberapa tantangan belajar daring. Beberapa di antaranya adalah instruktur tidak terlatih untuk menggelar kelas daring, adanya kesulitan beradaptasi dengan kurikulum TVET (Technical and Vocational Education and Training), serta kurangnya akses terhadap internet ataupun teknologi komunikasi dan informasi (ICT).
”Terlepas dari tantangan yang ada, murid-murid, cantrik, penyedia TVET, dan pembuat kebijakan membuat perubahan penting. Perubahan itu diperlukan untuk belajar dan memperoleh keterampilan pada masa krisis,” tulis Sanchez.