Pandemi Covid-19 di Indonesia meluas dengan penambahan kasus pada Kamis (21/5/2020) mencapai rekor tertinggi, yakni 973 orang. Karena itu, pembatasan sosial berskala besar mesti diperketat.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 di Indonesia terus meluas dengan penambahan kasus harian pada Kamis (21/5/2020) mencapai rekor terbanyak, yaitu 973 orang. Penambahan kasus itu terjadi seiring dengan peningkatan jumlah orang yang diperiksa, sekaligus menandai masih tingginya penularan di masyarakat.
Dengan penambahan ini, jumlah kasus positif di Indonesia mencapai 20.162 orang, dengan total kematian 1.278 jiwa atau bertambah 36 orang dibandingkan dengan hari sebelumnya, dan yang sembuh 4.838 orang atau bertambah 263 orang dalam sehari.
Juru bicara pemerintah untuk Covid-19, Achmad Yurianto, mengatakan, peningkatan kasus positif terbanyak di Jawa Timur dengan penambahan 502 orang sehingga totalnya 2.998. Sementara jumlah kasus terbanyak masih di Jakarta, yaitu 6.301 orang.
Jumlah kasus di Indonesia yang belum ditemukan diduga masih jauh lebih banyak karena pemeriksaan sangat kurang. Indonesia masih paling sedikit melakukan tes dibandingkan dengan negara tetangga.
Menurut data dari worldometers.info, jumlah orang yang diperiksa di Indonesia masih 805 per sejuta orang, jauh lebih kecil daripada Filipina 2.369 per sejuta orang, Vietnam 2.828 per sejuta orang, Thailand 4.701 per sejuta orang, Malaysia 14.896 per sejuta orang, atau Singapura 50.369 per sejuta orang.
Berdasarkan data Gugus Tugas Penanggulangan Covid-19, total jumlah spesimen di Indonesia yang diperiksa sejauh ini 219.975, sedangkan kasus yang diperiksa 160.374 orang. Laporan dua hari terakhir, jumlah spesimen yang diperiksa rata-rata 9.000 dan 8.000, sedangkan kasus yang diperiksa rata-rata 6.000 orang.
”Proporsi kasus positif dari sampel yang diperiksa masih 12,5 persen, artinya 1 kasus positif ditemukan dari 8 pemeriksaan. Ini jauh jika dibandingkan Vietnam yang baru menemukan 1 kasus dari 8.000 pemeriksaan,” kata Iqbal Elyazar, epidemiolog Eijkman Oxford Clinical Research Unit.
Proporsi kasus positif dari sampel yang diperiksa masih 12,5 persen, artinya 1 kasus ditemukan dari 8 pemeriksaan. Ini jauh dibandingkan Vietnam yang baru menemukan 1 kasus dari 8.000 pemeriksaan.
Sesuai dengan panduan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tes massal merupakan salah satu syarat melonggarkan intervensi. Minimal, penambahan kasus positif baru kurang dari 5 persen selama dua minggu dengan catatan jumlah pemeriksaan hingga 1 per 1.000 populasi. Selain itu, kasus positif yang diperiksa kurang dari 5 persen selama dua minggu.
Laporan yang diterima Laporcovid-19.org, yang dipresentasikan Irma Hidayana pada Kamis (21/5/2020), dalam webinar menyebutkan, tes masih banyak dikeluhkan masyarakat. Salah satu pelapor, misalnya, menyampaikan, telah melakukan tes usap pada 19 Maret 2020 di Rumah Sakit Pasar Minggu, Jakarta Selatan, tetapi hasilnya tidak keluar sampai 15 Mei 2020 atau lebih dari satu bulan. ”Pelapor saat itu menyatakan membayar Rp 643.000,” tuturnya.
Akbar, salah satu pelapor dari Ternate, Maluku Utara, mengatakan, waktu tunggu hasil pemeriksaan membuat warga dan rumah sakit kebingungan. ”Ada kejadian, pasien diperiksa dengan rapid test hasilnya positif, kemudian diambil tes swab. Karena hasilnya lama, pasien ini dikeluarkan dari rumah sakit. Namun, belakangan hasil tes keluar positif. Padahal, dia sudah ke mana-mana, termasuk mengikuti acara pesta pernikahan,” ujarnya.
Deputi Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Lilik Kurniawan mengakui, pemeriksaan masih jadi kendala utama meski saat ini mulai ada peningkatan. ”Namun, saya setuju, bahkan jumlah tes per hari 10.000 spesimen masih kurang karena besarnya populasi dan sebaran wabah. Selain kendala peralatan, termasuk reagen, juga pada sumber daya manusia,” kata Lilik.
Untuk mempercepat penanganan Covid-19, Presiden Joko Widodo meluncurkan 55 produk inovasi karya anak bangsa, di Jakarta, Rabu (20/5/2020). Pandemi ini diharapkan melahirkan inovasi dalam negeri.
Pelanggaran pembatasan sosial
Selain pengaduan mengenai tes, menurut Irma, banyak warga yang melaporkan tentang pengabaian pembatasan sosial berskala besar, selain pengaduan terkait bantuan sosial. Bahkan, di lapangan juga ditemukan adanya aparat yang memanfaatkan situasi untuk melakukan pungutan liar.
Salah seorang pelapor di Laporcovid19.org, misalnya, menginformasikan pengalaman sopir yang selama 10 hari terakhir telah membawa orang mudik dari Bogor ke Jawa Tengah empat kali dengan mobil. Dia bisa lolos dengan membayar petugas di pos pemeriksaan keluar Rp 300.000 dan Rp 300.000 lagi di pos pemeriksaan kota tujuan. Pungli itu ditanggung tujuh penumpang mobilnya.
Lilik menuturkan, meski berkontribusi menurunkan mobilitas, penularan kasus baru, diakui, terus terjadi. Penurunan kasus di Jakarta juga diikuti dengan meningkatnya kasus di Jawa Timur. ”Ke depan, diusulkan karantina per pulau, tetapi ini masih belum dibicarakan,” ujarnya.
Menyikapi situasi saat ini, 13 organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Profesi dan Asosiasi Kesehatan (Kompak) mengingatkan, perjuangan melawan Covid-19 masih jauh dari usai. Tergabung dalam koalisi ini di antaranya Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persaturan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, dan Persatuan Ahli Teknologi Laboratorium Medik Indonesia (Patelki).
Dalam pernyataan sikap yang dibacakan juru bicara Kompak, Kusmedi Piharto, disebutkan, upaya promotif dan preventif yang dilakukan selama ini belum efektif. Meski tenaga kesehatan berupaya maksimal dan banyak yang jadi korban, upaya melawan Covid-19 tidak akan optimal tanpa dukungan seluruh elemen masyarakat.
Selain meminta pemerintah tidak tergesa-gesa melonggarkan PSBB tanpa data memadai, mereka juga meminta agar warga tak mudik atau pulang kampung, tidak melakukan kunjungan rumah secara fisik kepada tetangga atau sanak saudara, mengingat hal itu berpotensi menularkan Covid-19. ”Kompak mengajak semua pihak agar selama berlebaran tetap berada di rumah,” sebut Kusmedi.