Sehabis gelap, terbitlah terang. Keterpurukan akan mendorong kebangkitan. Ketika Ibu Pertiwi didera pandemi, Hari Kebangkitan Nasional menjadi sarat arti.
Oleh
Editor
·2 menit baca
Sehabis gelap, terbitlah terang. Keterpurukan akan mendorong kebangkitan. Ketika Ibu Pertiwi didera pandemi, Hari Kebangkitan Nasional menjadi sarat arti.
Tak ada perayaan meriah Hari Kebangkitan Nasional 2020. Upacara hanya diikuti peserta terbatas dan bermasker untuk memastikan tidak meluasnya penularan Covid-19. Kendati demikian, justru di saat inilah, peringatan peristiwa sejarah 112 tahun lalu itu semakin menemukan relevansinya.
Kelahiran perkumpulan Budi Utomo, 20 Mei 1908, adalah penanda bangkitnya Indonesia dari kolonialisme. Kelahiran organisasi modern pertama itu mendorong kemunculan pergerakan lain dan mengantarkan kemerdekaan Indonesia.
Budi Utomo, sesuai namanya, berarti perilaku luhur, juga menyuburkan semangat kegotongroyongan, solidaritas.
Nama, Budi Utomo dipilih dengan semangat melahirkan nasionalisme, dan bukan semangat kedaerahan. Budi Utomo, sesuai namanya, berarti perilaku luhur, juga menyuburkan semangat kegotongroyongan, solidaritas. Masyarakat pun menyambut antusias. Tak sampai setahun, sekitar 10.000 pelajar dari sejumlah daerah bergabung dalam Budi Utomo.
Ketika Covid-19 memorakporandakan tatanan kehidupan di dunia, termasuk Indonesia, semangat saling bantu dan gotong royong kembali menemukan konteksnya. Kita perlu bahu-membahu untuk memutus mata rantai penularan Covid-19, sekaligus memulihkan kondisi sosial ekonomi yang tidak mudah ini. Dengan kesadaran itu pula, Kompas edisi 20 Mei 2020, menyajikan berita utama dengan tata letak khusus judul besar ”Beragam, tetapi Satu Tujuan”.
Bung Hatta dalam salah satu tulisannya mengingatkan bahwa kita ini bukan bangsa kecil, yang tidak punya sejarah. Kita adalah turunan suatu bangsa yang besar, yang sejarahnya gilang-gemilang di masa dahulu.
Kita patut bersyukur benih-benih bangsa unggul itu masih ada. Ketika bangsa ini diterpa kesulitan, benih itu hidup kembali dan terus berkembang. Aksi individu dan komunitas, dari beragam suku, agama, etnis, serta golongan yang lintas usia, kelas sosial, profesi, maupun korporasi menjadi buktinya. Apabila pada tahun sebelumnya bangsa ini seakan terbelah kepentingan politik praktis, kini mulai menyatu dalam berbagai gerakan kemanusiaan, saling ”singsing lengan baju”, bukan ”berpangku tangan”, apalagi ”cuci tangan”.
Dalam penguasaan teknologi dan penguatan ekonomi, bisa jadi kita masih perlu belajar dari bangsa lain. Namun, kita tidak boleh pesimistis karena bangsa ini mempunyai modal sosial sangat besar yang penting dalam menghadapi pandemi. Laporan ”Charities Aid Foundation World Giving Index 2018”, menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki semangat membantu nomor satu di dunia.
Berbagai kepeloporan warga yang telah ada perlu terus kita gulirkan dan dorong kian membesar. Ketika di tahun 1945 lahir generasi pejuang; 1966 muncul generasi pembangunan; 1998 generasi reformasi; tahun 2020 harus menjadi tonggak kebangkitan generasi humanis tanpa sekat. Dengan kebangkitan ini, semoga bangsa ini dapat keluar dari jerat pandemi dan aktif membangun peradaban dunia. Sejarah akan mencatatnya.