Kita bersyukur bisa melalui bulan suci Ramadhan 1441 Hijriah dengan khusyuk. Secara umum Ramadhan kali ini berlangsung dalam suasana sunyi.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Kita bersyukur bisa melalui bulan suci Ramadhan 1441 Hijriah dengan khusyuk. Secara umum Ramadhan kali ini berlangsung dalam suasana sunyi.
Kita tahu, semua ini karena wabah Covid-19 yang amat mencekam meski praktis tak ada seorang pun yang melihat sosok penebar wabah yang telah menjangkiti lebih dari 5 juta orang dan membuat ratusan ribu penderitanya kehilangan nyawa. Itulah aura korona yang sungguh amat menggentarkan. Umat manusia hampir tidak mengira, mereka harus melalui paruh pertama tahun 2020 dengan pagebluk yang memukul telak berbagai sendi kehidupan. Musuh tak kasatmata dan—kalau ini merupakan perang—ia tak bisa dihadapi dengan alat utama sistem persenjataan jenis apa pun.
Di satu sisi, ilmu pengetahuan, khususnya ilmu kedokteran dan teknologi informasi, pada dekade kedua abad ke-21 telah jauh maju berkembang dibandingkan ketika wabah flu Spanyol merebak pada 1918. Di sisi lain, tatkala seratus tahun kemudian virus SARS-CoV-2 menyasar sistem pernapasan paru- paru dengan amat dahsyat, banyak negara modern sekalipun guncang menghadapinya. Kota-kota di dunia lumpuh karena pembatasan fisik dan sosial yang diterapkan. Seiring dengan kebijakan itu, perekonomian pun surut, jutaan orang kehilangan pekerjaan, dan warga miskin melonjak.
Pandemi ini masih menghebat ketika umat Islam menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Tradisi Ramadhan pun—yang meniscayakan kemendekatan, ditandai antara lain dengan shalat Tarawih di masjid dan dipuncaki dengan shalat Id di lapangan, buka bersama yang semarak penuh kekerabatan dan persaudaraan—justru ditandai dengan kemenjauhan.
Semua diterima dengan ikhlas demi kepentingan memutus rantai penyebaran Covid-19, termasuk yang hangat diwacanakan, yakni mudik. Demi saling menjaga kesehatan dan keselamatan saudara, khususnya orangtua dan sesepuh, warga pun rela untuk tidak mudik, tradisi yang biasanya dibela mati-matian dengan berebut tiket bus atau naik sepeda motor.
Allah SWT tampaknya ingin memberikan pengalaman tak biasa kepada hamba-Nya, menghayati Idul Fitri dalam kesunyian, dalam kesederhanaan. Dengan tinggal di rumah, Lebaran bersahaja itu muncul. Silaturahmi sendiri tentu masih bisa dilaksanakan dengan bantuan teknologi informasi-komunikasi lewat gawai. Ucapan selamat Lebaran dan saling mohon maaf tetap berpahala meski disampaikan dari kejauhan.
Dengan tinggal di rumah, Lebaran bersahaja itu muncul.
Kembali ke fitrah kesucian, kiranya bahkan lebih bisa dihayati di masa pandemi yang sunyi. Jika ”normal lama” ditandai dengan rentetan buka puasa bersama yang semarak, puasa di ”normal baru” lebih memberi waktu untuk tadarus dan memohon ampunan di bulan penuh magfirah.
Satu hal lagi yang dapat kita ingatkan, meski ada pembatasan jarak fisik dan sosial, jarak batin harus tetap dekat sehingga empati kita terhadap saudara-warga yang kehilangan pekerjaan karena pandemi semakin tumbuh karena kita cukup merenung dalam kesunyian. Marilah kita terus berbagi melalui zakat, infak, dan sedekah dari kejauhan. Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1441 Hijriah. Mohon maaf lahir-batin.