Memaknai Idul Fitri dan Kemenangan di Musim Pandemi
›
Memaknai Idul Fitri dan...
Iklan
Memaknai Idul Fitri dan Kemenangan di Musim Pandemi
Tanda bahwa karantina rohani 30 hari dimanfaatkan dengan baik apabila saat menjalankan puasa mampu menahan seluruh anggota tubuh, pikiran dan hatinya dari berbuat dosa, maka inilah karantina yang sesungguhnya.
Oleh
M Nurdin Zuhdi
·6 menit baca
Tahun ini umat Islam di seluruh penjuru dunia merayakan hari raya Idul Fitri yang sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Kemenangan hari ini harus kita rayakan di tengah gempuran pandemi yang belum juga mereda sehingga shalat Id juga harus dilaksanakan oleh sebagian masyarakat di rumah masing-masing bersama keluarga. Karena wabah virus korona, umat Islam di seluruh penjuru dunia, khususnya di Indonesia, harus rela kehilangan ”megahnya tradisi hari raya”.
Namun, hakikat kemenangan Idul Fitri tidaklah sirna seketika. Dengan adanya imbauan ”Lebaran di rumah saja” sama sekali tidak mengurangi esensi atau nilai-nilai dari perayaan hari raya. Tanpa sedikit pun mengurangi rasa hormat kita kepada saudara-saudara kita yang terdampak virus korona, bagaimanapun hari raya ini harus tetap kita rayakan bersama keluarga kita di rumah masing- masing dengan penuh sukacita.
Silaturahmi masih tetap bisa kita lakukan dengan cara virtual atau lewat dunia maya, seperti daringnya siswa atau mahasiswa demi mencegah penyebaran virus korona.
Dengan adanya imbauan ”Lebaran di rumah saja” sama sekali tidak mengurangi esensi atau nilai-nilai dari perayaan hari raya.
Momen introspeksi
Hakikat hari raya bukanlah hura-hura atau pesta pora. Ini adalah momentum untuk introspeksi diri. Setelah sebulan penuh kita digembleng dengan puasa dan berbagai rangkaian ibadah yang menyertainya, seharusnya pada hari raya Idul Fitri ini kita terlahir kembali sebagai manusia paripurna tanpa berlumur dosa. Ramadhan dengan tilawah Al Quran seharusnya mampu menjadikan kita sebagai pribadi Muslim yang memiliki hati yang lembut, semakin tinggi nilai simpati dan empatinya kepada sesama.
Karena hakikat puasa Ramadhan bukan hanya mengajarkan nilai-nilai kesalehan individual semata, melainkan hakikat puasa Ramadhan juga mengajarkan nilai-nilai kesalehan sosial. Apalagi Ramadhan tahun ini dibarengi dengan merebaknya pandemi Covid-19.
Seharusnya sisi kemanusiaan kita lebih siap karena sudah teruji. Jika Ramadhan dan tilawah Al Quran serta amalan ibadah lain yang mengiringinya tidak lagi mampu melembutkan hati, jangan-jangan kitalah manusia yang sesungguhnya sedang terinfeksi.
Hari ini manusia di seluruh penjuru dunia panik dan resah, takut terinfeksi dan menjadi korban virus yang mematikan bernama korona. Karena itu, segala daya dan upaya dikerahkan sekuat tenaga untuk menjauh dan memproteksi diri dari virus yang mematikan ini. Jika ada yang sudah terinfeksi, wajib dirawat dan dikarantina.
Berbagai langkah antisipatif dan preventif juga telah ditempuh oleh lebih dari 212 negara untuk membunuh virus ini. Kesadaran warga dunia juga semakin tinggi akan pentingnya pola hidup sehat. Korona yang telah menginfeksi lebih dari 5 juta penduduk dunia ini telah menyadarkan dan sekaligus memaksa warga dunia untuk hidup lebih disiplin, seperti rajin menjaga kebersihan tubuh, rajin cuci tangan, menerapkan social distancing dan physical distancing.
Namun, sayangnya kepanikan dan keresahan itu tidak tampak dalam menghindari atau mengobati dari ancaman virus yang dampaknya juga jauh lebih mematikan dan berbahaya. Virus ini bahkan dapat mengubah manusia yang waras menjadi binatang buas.
Hakikat hari raya bukanlah hura-hura atau pesta pora. Ini adalah momentum untuk introspeksi diri.
Orang yang terinfeksi virus korona akal dan hatinya masih bisa berfungsi dengan baik karena korona hanya menyerang sistem pernapasan manusia. Sementara virus ini menyerang dan melumpuhkan hati nurani dan akal sehat manusia. Virus ini merupakan penyakit hati dan merupakan sifat tercela, virus ini bernama ”syirik”.
Virus syirik ini bahkan bisa membuat seseorang menentang Tuhan yang telah menciptakan dirinya. Bukan hanya menuhankan dunia dan harta benda yang dikumpulkan, bahkan virus ini bisa menuhankan dirinya sendiri.
Kabar buruknya, virus bernama syirik ini juga telah bermutasi sejak ribuan tahun yang lalu dengan nama syirik asghar (sirik kecil) yang menjelma berupa sifat-sifat tercela, seperti iri, dengki, hasut, riya’, ujub, sum’ah, dendam, serakah, dan kufur nikmat. Lawan dari syirik asghar adalah syirik akbar (syirik besar).
Syirik akbar cenderung lebih mudah dideteksi karena kebanyakan sifatnya lahiriah. Untuk mendeteksi syirik akbar, tidak perlu menggunakan peralatan medis yang canggih, tes darah, dan lain-lainnya. Salah satu contohnya adalah penyembah berhala.
Sementara syirik asghar sulit untuk dideteksi. Kecanggihan alat medis tidak mampu mendeteksinya. Hanya kepekaan dan kebersihan hati nurani yang mampu mendeteksinya. Contohnya ujub. Ujub adalah mengagumi atau membanggakan dirinya sendiri dan menganggap rendah orang lain.
Orang yang terinfeksi virus ujub, dia merasa bahwa dirinya sendirilah orang yang paling saleh atau dirinya sendirilah orang yang paling banyak menafkahkan rezekinya di jalan Allah SWT. Virus ini sifatnya tidak lahiriah, tetapi batiniah. Virus ini sangat berbahaya karena dapat melenyapkan pahala amal salehnya (QS Al-An’an [16]: 88).
Contoh lainnya adalah serakah. Orang yang terinfeksi virus serakah dampaknya juga sangat mematikan dan berbahaya. Orang yang serakah terhadap harta dengan korupsinya yang jumlahnya miliaran dan bahkan mencapai triliunan rupiah telah banyak melumpuhkan sendi perekonomian negara.
Orang yang terinfeksi virus serakah dampaknya juga sangat mematikan dan berbahaya.
Kemiskinan yang disebabkan oleh korupsi dapat mendorong pada merajalelanya tindak kejahatan, seperti pembunuhan, perampokan, miras, narkoba dan obat- obatan terlarang, aborsi, kekerasan pada perempuan dan anak, serta kejahatan lainnya. Hal ini membuktikan bahwa korupsi dampaknya sangat luas, masif, dan berbahaya.
Hakikat kemenangan di tengah pandemi
Jika orang yang gugur karena terinfeksi virus korona dapat dihukumi syahid dengan imbalan surga, sebaliknya orang yang terinfeksi virus syirik dan kemudian ia meninggal sebelum sempat ”berobat” (tobat), maka imbalannya bukanlah surga, melainkan neraka (QS Al-Maidah [5]: 72).
Sejauh ini, langkah terbaik yang telah ditempuh oleh beberapa negara di dunia untuk mengobati dan mencegah penyebaran virus korona adalah melakukan karantina. Lalu bagaimana cara mencegah dan mengobati virus syirik ini? Ramadhan adalah jawabannya.
Jika karantina untuk virus korona adalah 14 hari, maka karantina untuk virus syirik jauh lebih lama, yaitu 30 hari. Inilah yang disebut dengan ”karantina rohani”. Lamanya karantina rohani ini menunjukkan bahwa virus syirik jauh lebih berbahaya daripada virus korona. Seseorang yang telah melakukan karantina dengan baik sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan selama 14 hari, hampir dipastikan dia aman dan terbebas dari terinfeksi virus korona.
Begitupun dengan seseorang yang telah melakukan karantina rohani dengan baik selama 30 hari pada bulan Ramadhan, seharusnya dia juga dapat dipastikan aman dan terbebas dari virus syirik. Kecuali masa karantina rohani 30 hari tersebut dilakukan tidak sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku, maka karantina rohani tersebut menjadi sia-sia belaka.
Tanda bahwa karantina rohani 30 hari yang sia-sia adalah puasa yang hanya dilakukan dalam arti sempit, yaitu sebatas menahan diri dari membatalkan puasa secara fikih semata sehingga puasanya terancam hanya sekadar mendapatkan lapar dan dahaga (HR Ibnu Majah No 1690). Jika puasanya dilakukan dalam arti luas, yaitu menahan seluruh anggota tubuh, pikiran dan hatinya dari berbuat dosa, inilah karantina yang sesungguhnya.
Jika puasanya dilakukan dalam arti luas, yaitu menahan seluruh anggota tubuh, pikiran dan hatinya dari berbuat dosa, inilah karantina yang sesungguhnya.
Ketika hari raya Idul Fitri tiba, hati dan jiwanya menjadi lembut. Dia akan menjelma menjadi orang yang mudah memaafkan. Tidak ada lagi iri, dengki, dan dendam di dalam hatinya. Hilang sifat riya’, ujub, suma’ah, takabur, kufur, serakah, dan sifat-sifat tercela lainnya. Inilah yang disebut dengan kembali pada diri yang fitri, yaitu suci dan bersih dari virus-virus hati. Ini adalah hakikat kemenangan yang sejati.
M Nurdin Zuhdi
Doktor Studi Islam Alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga;