Perempuan Pemuja Hujan
Perempuan yang sesungguhnya berparas cantik itu kini harus menerima semua yang terjadi.
Perempuan itu memandang langit yang mendung. Mengukir kecewa yang teramat sangat. Di ceruk gumpalan menghitam ia letakkan gusar yang bergumpal dukanya. Mendung semakin menghitam menggelayut. Setelah itu hujan turun.
Pada deras hujan yang terguyur dari langit sebagian dukanya turut mencair. Mengalir membasahi bumi. Menyelusup diantara akar rumput. Ia melihat batinnya yang luka, semburat pedihnya berbaur dengan air yang membasahi jalanan beraspal kasar, dimana dirinya berdiri.
Lembar tubuhnya yang bak papan itu ia biarkan terguyur hujan. Basah kuyup. Gigil yang mendera tak ia hiraukan. Karena pada hujan ada gelisah yang menguap. Ada aroma luka tersiar . Pedas guyuran deras hujan pada raut mukanya sebagai pertanda pembilas duka. Maka itu membiarkan dirinya berlama lama kehujanan akan lebih baik untuk jiwanya.
Hujan pembawa lukanya. Hujan pembersih jiwanya. Itulah menurut hatinya yang kelam oleh dendam kesumat. Hanya hujanlah yang mampu membuang semua dukanya. Hanya hujan yang dapat menerangi jiwanya yang sarat oleh nafsu yang berbau darah.
Perempuan yang sesungguhnya berparas cantik itu kini harus menerima semua yang terjadi. Kedua mata jelitanya sudah kehilangan sinarnya. Debar dadanya lebih cepat. Jantungnya tidak lagi mendapat asupan aliran darah dengan sempurna. Mungkin juga oksigen ke otaknya menemui hambatan. Makanya perempuan itu terkesan bak mayat hidup.
Orang yang mengenalnya yang kebetulan lewat berpayung tak mengusik keasyikan. Perempuan itu berputar di air hujan. Bagi mereka perempuan itu sudah tidak waras. Kelakuannya kerap aneh, begitu anggapan orang orang yang kerap melihatnya. Bahkan mereka dengan ketidakperduliannya telah memvonisnya gila. Tak ada yang berusaha mengajaknya ke rumah sakit untuk mereka yang kepeleset otak. Siapa yang perduli. Orang hanya bergunjing. Menjadikannya tontonan dan obyek untuk bergunjing.
"Kasihan masih muda tapi sudah tak waras..." bisik seseorang pada teman sepayungnya. Entah sudah keberapa kali ia melihat kelakuan perempuan yang berputar dengan hujan itu.
"Kamu kenal dia?" Bisik teman sepayungnya sambil melirik ke perempuan yang mereka bicarakan. Tampak perempuan itu tak perduli digunjingkan.
"Dia dari kampung seberang." Yang dimaksud kampung seberang, ada pembatas sungai di antara kampung mereka. "Sudah berbulan bulan berkeliling, dan senangnya main hujan..."
"Kasian," bisik temannya. Tapi apa dayanya.
"Katanya sih dia diperdaya kekasihnya, diperas dan dijual ke hidung belang..."
"Ya ampun, kenapa enggak ada yang menolong, atuh..."
"Entah, mungkin semua orang sibuk dengan urusan masing masing. Tapi dia enggak percaya sama orang mana pun, dia bilang hanya hujan yang bisa membersihkan dirinya dari kotor yang masuk ke tubuhnya..."
"Sudah terganggu pikirannya?"
"Entah, mungkin begitu..." segera perempuan berpayung itu menarik temannya menjauh dari perempuan yang tak hirau dengan sekelilingnya, kecuali pada hujan.
Perempuan yang masih berputar putar di bawah hujan itu tak perlu lagi berpura pura santun. Senyum sana senyum sini, padahal hatinya sendiri telah berkeping, bibirnya pun terasa keluh hanya perduli pada hujan. Karena hujan memberinya dingin yang bisa mengusir bara yang melumat.
Ringkih tubuhnya, bahkan jiwa yang entah mengembara kemana, bagai baling baling dalam deras hujan.
Perempuan itu terus berputar dalam deras hujan. Sorot matanya tajam.. Hujan saksinya, karena jarum airnya melihat amarah pada bola mata bak saga itu. Hanya hujan pula yang tahu apa yang ada dalam diri perempuan itu, karena titik airnya menyelinap ke dalam pori pori perempuan itu, mengintip ke kedalaman rongga dadanya.
"Hujan aku telah mengirim lukaku padamu, dan kubiarkan engkau mengintip jiwaku..." desis perempuan itu dengan mulut terisi air, lalu menelannya terburu buru, karena air hujan yang lain berebut memasuki mulutnya.
"Aku paham akan jiwamu..." hujan membalas ucapan perempuan itu lewat tegukan demi tegukan yang mengalir ke lambung si perempuan.
"Mereka tak mengerti aku, mereka kejam...!" Perempuan itu mendengus sedih campur marah.
"Jangan takut aku sahabatmu. Hanya aku yang tahu isi hatimu, " hujan menjawab perduli.
Halusinasinya terus bermain dengan deras hujan yang memberinya nyaman. Dingin yang mencari tempat di setiap lekuk tubuhnya. Tubuh yang telah terejam oleh sekian aroma tengik lelaki silih berganti.
Terbayang di benaknya saat sang kekasih pujaan berkhianat. Merajam dirinya dengan noda. Lalu satu per satu muka beringas lelaki yang menyeringai bak iblis bermunculan. Mereka mengoyak tubuhnya dengan kasar. Tertawa terbahak hingga ludah baunya muncrat ke pipinya.
"Hiiih!" Perempuan itu mendengus marah karena tak punya daya untuk berontak.
"Jika kamu kabur orang orangku akan menghabisimu. Ingat orang orangku ada di mana mana...!" Ancam lelaki cinta pertamanya itu tanpa perasaan. Lelaki yang semula lembut, berubah menjadi pemangsa nan buas.
"Hatimu iblis..." pilu perempuan itu coba menyadarkan kekasihnya."Aku hamil anakmu..."
"Aku tak percaya mungkin saja anak lelaki lain!" ujar lelaki itu bengis.
"Sumpah itu anakmu, karena aku sudah hamil sebelum kamu jual pada mereka..." perempuan itu menangis. Hatinya sedih dan sakit dalam keadaan hamil dipaksa untuk melayani lelaki bau dan tengik entah darimana semua lelaki itu dipungut oleh lelaki yang pernah menjadi kekasihnya, ayah dari anaknya yang berubah menjadi serigala haus uang.
Semua sesal bergumpal dalam dadanya. Terlalu percaya pada kekasihnya, hingga ia lalai menjaga kesuciannya. Hamil dan diperdagangkan.
Lupa nasihat ibu selagi masih hidup, "Jangan pernah engkau berikan tubuhmu pada lelaki perayu semanis madu,.kecuali pada suamimu..."
"Ya, " janjinya pada ibunya yang menjanda sejak ia masih dalam kandungan, karena ayahnya dulu berburu ke hutan tapi tak pernah kembali lagi. Jadilah ibunya janda dicemooh orang yang masih percaya bahwa menikah tanpa restu tak akan kekal.
Dulu ibunya kawin lari dengan lelaki pujaannya. Menampik lelaki pemilik kebun gendut sudah kepala empat yang hobbynya memberi madu pada isterinya. Terang ia menolak untuk dijadikan isteri ke empat. Maka kaburlah dengan kekasih hatinya yang tak jelas pekerjaannya. Cinta tak menuntut harta, begitu semboyannya dulu. Tapi bahagia itu hanya sebentar, karena lelaki yang menikahinya dalam pelariannya itu hilang di hutan.
Setelah ibunya meninggal, tak ada lagi pengingat untuk menjaga dirinya. Memelihara kesucian yang patut dijunjung tinggi.
Sebenarnya jika sayang pada dirinya, tak perlu pengingat untuk kesuciannya. Karena dirinyalah kunci dari semua awal terbentuknya segumpal darah dalam rahimnya.
Seandainya saja tak goyah oleh tatap dan rayu mesra lelaki yang mengaku cintanya setinggi gunung Himalaya,.seluas sungai Musi, dan sehidup semati akan bersama, derita batinnya tak akan termulai.
Bukan salah kekasihnya jika pernah memandangnya hina, karena sebagai perempuan tak bisa menghormati suci yang dimilikinya. Cinta telah membuatnya tak bisa menjaga dirinya, menyayangi dirinya, hingga harkat dirinya tercampakkan.
Hingga suatu malam.
Lelaki itu sempoyongan bau minuman campur amis. Matanya memerah, bibirnya berdesis dan mengeluarkan cairan. Sangat menjijikkan. Entah darimana mantan kekasihnya menemukan lelaki seperti itu sebagai pembeli tubuhnya. Tapi sebelum lelaki menjijikkan itu menjamahnya, ia sudah melompat dari tempat tidur dan berlari keluar kamar.
"Kau!" Lelaki yang telah memberikan cinta palsunya itu menghadang di depan pintu kamar sewaan reyot kotor. Lelaki itu berkacak pinggang. "Masuk!" Perintahnya dengan tatap mengancam. Tak memberinya kesempatan untuk kabur.
Amarah perempuan itu meluap balas menantang lelaki penjual dirinya.
"Masuk layani pelangganmu!" Lelaki yang dulu selembut sutra itu mendorongnya dengan kasar.
Perempuan itu jatuh terjengkang. Roknya tersingkap.
"Kau keparat!" Perempuan itu bangkit memaki.
Plak
Plak
Dua kali tamparan singgah ke pipi cekung kurus perempuan itu. Terbeliak matanya. Mendengus tanpa suara. Rasanya sudah tak sanggup lagi bertahan.
Perempuan itu berbalik cepat ke kamar beruntung lelaki pemabok di kamarnya bagai sekarung beras teronggok di kasur, ngorok. Segera perempuan itu meraih pisau bekas mengupas mangga di meja. Hanya hitungan menit lelaki laknat yang telah menjualnya ke berbagai lelaki itu roboh bersimbah darah.
"Saya membunuh serigala yang menggigit tubuh saya..." pengakuan perempuan itu saat dipersidangan. Apa yang diucapkannya tidak bohong. Ia memang menikam serigala malam itu. Sehingga serigala itu terjerembab di kakinya. Pisau menancap di pinggangnya. Dokter mengatakan tusukan itu mengenai ginjalnya.
Perempuan itu seharusnya saat ini di penjara, apa pun dalihnya. Menghilangkan nyawa orang ada konsekuensinya. Namun diagnosa dan analysa dokter ahli jiwa lebih penting dari vonis hukuman penjara.
Setelah malam berkubang darah karena perdarahan hebat, lalu keguguran di ruang yang dikerangkeng, semakin terbang daya ingatnya bersama sesal menggumpal.
Ada air mata yang bercampur dengan air hujan. Perempuan itu tersenyum getir. Masih berputar putar di bawah derasnya.
"Jiwaku bersih..semua kotor sudah larut dengan hujan..." bisiknya menyeringai.
Hujan adalah kenangan masa kecilnya. Saat ia bersama temannya bermain hujan. Membersihkan tubuh kecil mereka kotor terjatuh di lumpur. Hujan membersihkan lumpur di tubuh mereka.
"Ayo kita main hujan supaya lumpur di baju dan badan kita luntur..." celoteh mulut kecilnya dulu
"Dan kita bersih lagi..." sambung bibir tipis bocah sebayanya dulu.
Itulah yang terekam di ingatannya disaat memori lainnya terlupakan. Hanya hujan yang dibutuhkan untuk membersihkan jiwanya. Itu yang ada dalam benaknya. Bahwa jiwanya kotor dan harus dibersihkan dengan hujan.
Perempuan itu sudah lelah berdiri dengan perut yang makin menggelembung air hujan. Terduduk dengan muka tetap tengadah dengan mulut mengangah menampung air hujan. Saat perutnya semakin kembung tiba tiba saja ia melihat seluruh pori pori tubuhnya menyembur air.
"Air...air...!" Pekiknya kegirangan merasa dirinya pun bisa mengeluarkan hujan.
Perempuan itu tersenyum merasa semburan air dari pori porinya bersatu dengan air hujan. Mulutnya terus terngangah, dan air hujan terus menerus memasuki mulutnya, dan perutnya sudah tak bisa lagi menampung air. Ia sempoyongan dan muntah berkali.kali.
"Bluuub..." saat tubuhnya tak lagi kuat ia tumbang tergeletak dengan perut bagai dipompa, sedangkan mulutnya tetap terbuka sehingga air hujan terus masuk.
Setelah itu ia tak bergerak. Hanya kedua matanya terbelalak
Besok harinya semua yang lewat terkejut saat hujan sudah redah menemukan tubuh perempuan itu dengan perut mengelembung tak bergerak lagi.
"Itu bala..." seru salah seorang sok menebak dalam ketidakperduliannya pada nasib orang lain.
"Itu kan perempuan gila yang sering main hujan," seru yang lain ingin mendekat tapi merasa ngeri.
"Katanya dulu dihamili pacarnya, lalu dijual pacarnya ke hidung belang, lalu membunuh pacarnya, " timpal yang lain menambah gossip yang sudah terhampar.
"Pantas dia gila..." seru yang lain tanpa belas kasih pada sesamamya.
"Kasihan..." gumam yang punya empati. Hatinya terenyuh pilu ada makhluk
Tuhan yang bernasib demikian. Hanya doa yang dipanjatkan pada Sang Pencipta, "Ya Allah kiranya ampuni dosa perempuan ini, berilah tempat yang layak ..." bisik batinnya tak perduli pada hujatan di sekelilingnya, karena ia tahu orang tak sama pemikirannya.
"Makanya jadi perempuan jangan murahan," timpal yang lain seperti menghakimi perempuan yang sama sekali tak ia tahu latar belakangnya.
"Amit amit..." dan banyak lagi perkataan menghujat yang simpang siur di sekitar mayat perempuan itu. Hujatan bernada negatif akan terus berlanjut seandainya saja mobil polisi tidak segera datang mengevakuasi.
_____________________
Rosida ibu rumah tangga dari Sumenep, menetap di Jakarta. Menulis cerpen dan cerber serta novel.