Sinyal Memprihatinkan dari Sektor Hukum dan Keamanan
›
Sinyal Memprihatinkan dari...
Iklan
Sinyal Memprihatinkan dari Sektor Hukum dan Keamanan
Dua dekade setelah reformasi, pemberantasan korupsi dan penguatan sektor keamanan menjadi agenda yang dinilai masyarakat sipil paling memberi sinyal memprihatinkan. Perlu keseriusan elite untuk menjaga arah reformasi.
Oleh
Prayogi Dwi Sulistyo dan Edna C Pattisina
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terciptanya pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme serta penguatan sektor keamanan menjadi dua agenda yang dinilai masyarakat sipil paling memberi sinyal memprihatinkan di usia reformasi yang menginjak tahun ke-22. Jika tak diatasi, hal ini bisa membuat reformasi berjalan mundur.
Jajak pendapat Kompas, 6-9 Mei 2020, melibatkan 499 responden di 30 provinsi, menunjukkan ketidakpuasan paling tinggi ada di reformasi hukum (81,6 persen). Kemudian disusul ketidakpuasan atas reformasi di sektor politik (65,5 persen), ekonomi (65,0 persen), dan birokrasi (64,9 persen).
Pemberantasan korupsi yang menjadi indikator penting penegakan hukum, menurut kelompok masyarakat sipil, makin terpuruk setelah Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. UU itu dianggap memperpanjang birokrasi penindakan KPK. Operasi tangkap tangan yang turun drastis setelah UU itu disahkan dinilai sebagai salah satu indikator pelemahan KPK.
Koordinator Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo, Jumat (22/5/2020), mengaku pesimistis terhadap komitmen elite memperkuat pemberantasan korupsi. Karena itu, menurut dia, diperlukan gerakan masyarakat untuk kembali mendorong reformasi.
Hal ini berbeda dengan Manajer Penelitian dan Kampanye Transparency International Indonesia Wawan Suyatmiko yang melihat solusi memperkuat pemberantasan korupsi ada di elite. Menurut dia, elite yang negarawan harus memastikan di tengah upaya pencegahan korupsi, juga harus ada penegakan hukum yang adil, transparan, dan akuntabel.
Sementara itu, Ketua Pusat Kajian Antikorupsi UGM Oce Madril melihat, cara membawa pemberantasan korupsi ke jalur yang benar ialah dengan memperkuat kembali KPK. Terkait hal itu, Adnan berharap Mahkamah Konstitusi membatalkan UU KPK hasil revisi itu.
Ketua KPK Firli Bahuri menilai, kritik tentang melemahnya pemberantasan korupsi merupakan bentuk kepedulian kepada KPK. Terkait penilaian KPK lemah karena revisi UU KPK, menurut dia, hal itu tak terbukti. Hal ini karena tugas pokok bertambah, tetapi fungsi dan peran KPK tak berkurang, begitu juga tidak ada pengurangan kewenangan KPK.
Sektor keamanan
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Yati Andriyani mengkhawatirkan keterlibatan TNI dan Polri aktif dalam jabatan di pemerintahan karena dapat menghambat agenda reformasi keamanan.
Sebab, hal itu akan berdampak pada mandeknya agenda reformasi keamanan, seperti revisi Undang-Undang tentang Peradilan Militer serta terciptanya TNI dan Polri yang profesional dan akuntabel.
Kondisi itu juga bisa melemahkan pemerintahan sipil karena akan memunculkan ketergantungan kepada TNI dan Polri. Otoritas sipil tergantung pada TNI dan Polri dalam mengelola dinamika politik yang muncul ataupun dalam pengelolaan birokrasi pemerintahan di berbagai sektor.
Pengajar Ilmu Politik dari Universitas Paramadina, Djayadi Hanan, berpandangan, pihak sipil harus berbenah agar mampu menyelesaikan persoalan di ranah sipil sehingga tidak harus selalu melibatkan militer. Dia juga berpandangan, dari sisi konsep tentang militer tak mencampuri politik, hal itu masih berada di jalurnya.
Pihak sipil harus berbenah agar mampu menyelesaikan persoalan di ranah sipil sehingga tidak harus selalu melibatkan militer.(Djayadi Hanan)
Namun, kata Djayadi, Polri sampai saat ini belum betul-betul jadi sipil. Sebab, struktur dan perilakunya masih militer. Ini dapat dilihat dari lembaga Polri yang berdiri sendiri dan bertanggung jawab kepada Presiden, sementara di negara lain kepolisian di bawah Kementerian Dalam Negeri. Demikian pula struktur kepangkatannya masih seperti militer.
Sementara itu, Muhammad Haripin, peneliti LIPI, mengatakan, agenda reformasi militer terhenti di tengah jalan karena pengesahan UU No 34/2004 tentang TNI telanjur diartikan sebagai garis finis reformasi TNI. ”Padahal, UU ini harusnya jadi awal meletakkan posisi TNI dalam sistem demokrasi,” katanya.
Solusi yang disodorkan Haripin adalah penguatan kapasitas dan jaringan kalangan sipil sebagai aktor pengawas bagi para aktor keamanan lainnya mesti terus dilakukan.
Sementara itu, Made Supriatma, Visiting Research Fellow, ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura, menilai masih adanya organisasi teritorial TNI AD dan masih terlibatnya TNI dalam usaha lewat koperasi-koperasi menunjukkan mandeknya reformasi TNI.
Supriatma juga menilai ada persoalan dalam reformasi di tubuh Polri. Dia menilai ada dwifungsi peran Polri yang meluaskan pengaruhnya di pemerintahan. Dia mengusulkan, Polri didesentralisasi dan bertanggung jawab pada setiap kepala daerah. Untuk di pusat, Polri berada di bawah Kementerian Dalam Negeri.