Berani Meliput ”Jalur Tengkorak” karena Tidak Tahu Bahaya
Wartawan ”Kompas”, Emilius Caesar Alexey, yang baru datang ke Sumatera Selatan meliput jalur Lahat-Tebing Tinggi pada sore hari. Dia meliput tanpa takut karena tidak tahu jalan itu merupakan jalur penuh bahaya.
Bulan puasa dan jelang Lebaran seperti saat ini membuat saya teringat pada pengalaman tahun pertama menjadi wartawan. Pada Oktober 2004, setelah menjalani pendidikan dan masa magang di Jakarta, Semarang, dan Solo, saya ditugaskan ke Sumatera Selatan.
Dua bulan sebelum pindah ke Palembang, ibu kota Sumatera Selatan, saya mengikuti berbagai isu di sana agar dapat segera beradaptasi untuk liputan. Dari berbagai berita yang saya ikuti, berita kriminalitas adalah yang paling sering muncul dari Kota Palembang. Dalam pemikiran saya saat itu, saya hanya perlu waspada saat berada di Palembang karena kejahatan di Sumatera Selatan paling banyak ada di kota itu.
Baca juga: Belajar Menghargai Hidup dari Kematian Seseorang
Sesampainya di Palembang, Kepala Biro Sumatera Bagian Selatan Agus Mulyadi hanya memberi waktu dua hari bagi saya untuk mengenal Kota Palembang. Pada hari ketiga, Agus menugaskan saya meliput kondisi jalan lintas tengah Sumatera, terutama pada ruas Lahat-Tebing Tinggi (sekarang Kabupaten Empat Lawang) dan Tebing Tinggi-Lubuk Linggau.
”Jalan di ruas Lahat-Tebing Tinggi adalah jalan yang sering rusak. Padahal, jalan itu penting sekali karena merupakan jalan lintas tengah Sumatera yang dipakai untuk mudik dari Jawa ke Bengkulu, Sumatera Barat, Jambi, dan bahkan ke Sumatera Utara dan Aceh. Jadi, liputlah kondisinya agar pemerintah tahu dan segera memperbaikinya,” tutur Agus.
Saya menyambut perintah itu dengan gembira karena akan menjadi petulangan baru. Masuk ke daerah ”pedalaman” Sumatera memang menjadi keinginan saya. Sebagai wartawan muda, saya penuh keingintahuan akan wilayah-wilayah baru yang belum pernah saya lihat.
Baca juga: Ketika Bunyi Tembakan Menyambut Kami di Nduga
Karena kurang pengalaman, saya berangkat dari Palembang siang hari sehingga sampai di Lahat pukul 16.00. Sesampainya di Lahat, saya dibantu rekan wartawan Sriwijaya Post menyewa sebuah mobil untuk menuju ke Lubuk Linggau.
Hamid, pemilik mobil sewaan, memandangi saya penuh curiga. Dia menanyai saya dengan berbagai pertanyaan. Tentang asal-usul, pekerjaan, dan urusan apa ke Lubuk Linggau. Tentu semua saya jawab dengan jujur. Hanya untuk liputan kondisi jalan. Jaminan dari rekan saya membuat pemilik mobil akhirnya mau menyopiri saya ke Lubuk Linggau.
”Kak, kenapa tadi menanyai saya dengan penuh kecurigaan? Apakah saya punya tampang penjahat?” kata saya, di dalam mobil.
Baca juga: Liputan Perang Irak (1): Disambut Ledakan Bom Saat Menembus Irak
”Bukan seperti itu mas. Apakah mas tahu jalan yang akan kita lewati ini terkenal dengan sebutan apa?” tanya Hamid.
”Jalan ini adalah jalur tengkorak. Banyak sekali kasus perampokan bus dan truk di jalur kita ini. Mobil pribadi juga sering dihentikan dan dirampok. Jika tidak dibunuh, penumpang dan sopirnya bisa dirampok habis dan hanya disisakan celana dalam. Kita harus waspada karena di tengah jalan nanti bakal gelap. Itu yang menyebabkan saya harus memastikan, mas tidak akan merampok saya di tengah jalan,” kata Hamid.
Penjelasan itu membuat saya menjadi agak ragu. Di satu sisi, saya mulai takut. Di sisi lain, rasa ingin tahu lebih mendominasi pikiran. Saya juga tidak pernah mendengar kesaksian langsung soal perampokan di jalan sehingga akhirnya saya memilih mengabaikan rasa takut itu.
Saat itu, jalan dari Palembang ke Lahat sangat mulus sehingga mobil dapat dipacu sampai 100 kilometer (km) per jam. Namun, begitu meninggalkan Lahat menuju Tebing Tinggi, jalan langsung rusak. Mulai dari rusak ringan dan, semakin lama perjalanan, kerusakan badan jalan semakin parah.
Baca juga: Liputan Perang Irak (2): Berkawan Rompi Bismilah
Mobil hanya dapat dipacu dengan kecepatan 20 km per jam sampai 40 km per jam. Aspal hanya terlihat sisa-sisanya saja. Kedalaman lubang di badan jalan sangat bervariasi, mulai dari 2 sentimeter (cm) sampai 30 cm. Luasan lubang ada yang cukup besar sampai Hamid menyebutnya sebagai kubangan anak kerbau.
Jalan di jalan lintas tengah Sumatera rusak berat karena sering dilintasi truk dengan tonase besar dan melebihi kemampuan badan jalan untuk menahannya. Bus-bus juga turut memperburuk kerusakannya.
Di sisi lain, perhatian pemerintah pusat tehadap jalur itu sangat rendah. Jalan itu merupakan jalan nasional, tetapi saat itu kondisinya lebih buruk dibandingkan dengan jalan desa. Aspal terkelupas di sana-sini, jalan berlubang dalam, longsor, dan jembatan yang keropos dengan lantai yang sudah hancur.
Bada juga: Liputan Perang Irak (3): ”Wisata Kuliner” di Tengah Kecamuk Perang
Jalan-jalan yang berlubang membuat semua kendaraan melaju pelan. Kondisi itu dimanfaatkan warga setempat untuk meminta uang sumbangan dari para pengguna jalan. Truk dan bus adalah sasaran utama para peminta sumbangan itu. Atas saran Hamid, saya selalu memberi ”sumbangan sukarela” itu.
”Lebih baik kita beri uang receh daripada jadi masalah di tengah jalan. Saya pernah melihat sebuah mobil dilempar batu hanya karena sopirnya menolak memberi sumbangan dan ribut mulut dengan warga setempat. Malah rugi ratusan ribu,” kata Hamid.
Peminta sumbangan ternyata bukan hanya warga setempat. Sejumlah oknum petugas yang berwajib pun ikut meminta sumbangan dari sopir bus dan truk di dekat markas mereka. Padahal, Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan (saat itu) Inspektur Jenderal Herman Suryadi Sumawiredja mengancam akan menurunkan pangkat anggotanya yang melakukan pungutan liar.
Baca juga: Jangan Ada Dusta di Antara Kita
Di sepanjang jalan, saya berkali-kali melihat ada truk yang berhenti karena rodanya pecah, gardan atau as-nya rusak akibat jalan berlubang yang berulang-ulang. Truk-truk mogok itu sering memicu kemacetan karena badan jalan yang tidak lebar. Pada malam hari, truk mogok semacam ini sangat rawan jadi korban perampokan. Muatan mereka bisa dijarah sampai habis.
Beberapa truk mogok karena tidak kuat melintas di jalan yang menikung dan menanjak. Ada beberapa warga yang ikut membantu mendorong dan ada truk lain yang ikut menarik dengan menggunakan sling. Menurut beberapa sopir truk yang saya wawancara di kesempatan lain, mereka sering dimintai uang Rp 200.000 oleh warga yang membantu di tengah jalan.
”Jika ada truk yang ditarik dengan sling, kita harus menjauh. Saya pernah melihat sling putus dan menyabet ke orang di dekatnya. Badannya hampir putus jadi dua,” kata Hamid.
Baca juga: Mengintip Perayaan Paskah Tanpa Umat
Saat matahari mulai terbenam dan kondisi jalan mulai gelap, saya melihat wajah Hamid mulai tegang. Kami belum sampai di Tebing Tinggi yang kondisinya lebih ramai. Masih di tengah jalan yang sepi. Beberapa orang mengendarai sepeda motor dengan cepat dan lincah. Motor mereka sudah dimodifikasi dengan peredam kejut yang lebih tinggi agar lebih stabil saat melibas jalan-jalan berlubang. Semua motor tidak dilengkapi pelat nomor.
”Mas, kelompok rampok sering memanfaatkan pengendara motor semacam ini sebagai pengintai dan penyampai pesan. Jika melihat calon mangsa, mereka akan berkendara sangat cepat untuk mendahuluinya dan memperingatkan kelompoknya di depan untuk bersiap. Namun, tidak semua pengendara motor adalah kelompok perampok. Para petani sering memakai motor juga untuk menuju ke ladang mereka yang jauh,” tutur Hamid.
Perkataan Hamid itu memicu radar kewaspadaan saya. Saya melihat, mobil kami sendirian di tengah jalan. Tidak ada kendaraan lain di depan dan belakang kami. Gelap juga mendominasi jalan karena matahari sudah tenggelam sama sekali.
Kami memutuskan berhenti saat melihat sebuah warung makan yang cukup ramai. Hamid harus berbuka puasa dengan layak. Di warung itu, saya mewawancarai beberapa sopir truk dan sopir bus mengenai kondisi keamanan di jalur tersebut.
”Kami berani melintas di jalur ini pada malam hari karena truk saya kosong. Jika membawa muatan, saya memilih bermalam di Lubuk Linggau dan baru berangkat pagi hari menuju Lahat. Saya pernah dirampok malam hari. Mereka menutup jalan yang sepi dengan kayu-kayu besar dan menodong saya dengan parang. Semua muatan saya dijarah, barang pribadi juga diambil, dan disisakan celana kolor dan kaos dalam saja. Saya tidak melawan sehingga tidak dibunuh, hanya dipukul beberapa kali. Kalau truk kosong jarang dihentikan,” kata Ahmad, sopir truk.
Cerita Ahmad menambah rasa takut saya. Namun, perjalanan harus terus berlanjut karena kami sudah setengah perjalanan. Sepanjang jalan, saya terus berdoa agar kami selamat sampai Lubuk Linggau. Saya juga terus mencatat kondisi jalan sambil mengawasi kondisi keamanan di depan dan sesekali melihat kaca spion.
Setiap kali ada sepeda motor yang menyalip kami, saya selalu menatap dengan penuh curiga. Untungnya, kami akhirnya selamat sampai ke Lubuk Linggau pada malam itu juga. Sesampainya di Lubuk Linggau, saya segera menulis berita mengenai kondisi jalan lintas tengah Sumatera.
Saat kembali ke Palembang, saya menemui Kepala Dinas Bina Marga Sumsel Darna Dachlan dan Gubernur Sumsel Syahrial Oesman. Gubernur Syahrial menjelaskan berbagai hal mengenai kondisi jalan itu. Setelah itu, Syahrial bertanya dengan siapa saya ke jalan tersebut. Saya menjawab, saya hanya bersama sopir mobil sewaan.
”Kamu, kok, berani sekali sendirian di jalur jalan itu? Itu jalan dan kawasan yang paling berbahaya di Sumsel (saat itu). Banyak sekali perampokan, bajing loncat, dan terjadi beberapa kali pembunuhan. Saya salut ada wartawan berani sendirian meliput ke sana. Jarang ada wartawan di sini berani sendirian ke sana,” kata Syahrial.
”Saya berani karena saya tidak tahu kalau jalan itu berbahaya, Pak Gubernur. Jika tahu jalan lintas tengah seberbahaya itu, saya akan berpikir tiga kali untuk melintasinya sendirian,” jawab saya, diikuti gelak tawa sang gubernur.