Pelipur Rindu bagi Yang Terjebak di Ibu Kota
Sedih juga lihat yang bisa kumpul sama keluarga, naik motor, silaturahmi. Lha saya di sini….
Kisah berlebaran tanpa keluarga bertambah jamak pada Idul Fitri 1441 H. Pandemi Covid-19 jadi penyebabnya. Banyak perantau terjebak di Jakarta dalam kondisi tanpa pekerjaan. Di tengah beragam tantangan, setidaknya mereka masih bisa melepas rindu dengan keluarga di kampung lewat gawai.
”Mak, minal aidin walfaizin…,” ucap Ikhsan Durori Mustofa (43) lirih sambil menatap layar telepon selulernya, Minggu (24/5/2020). Ia membiarkan air matanya mengalir ke pipi hingga dagu, lalu menetes ke tanah, saat menyapa ibunya.
Ikhsan di Gelanggang Remaja (GOR) Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, sedangkan orangtua dan dua anaknya di Wonogiri, Jawa Tengah. Layar gawai menjadi jendela penghubung dua lokasi yang terpaut jarak lebih dari 600 kilometer.
Tak lupa ia menyapa Meyka, anak sulungnya yang berulang tahun tepat di hari itu. Putrinya pun memamerkan keik bertuliskan namanya. Ia lupa usia putrinya sekarang, tetapi yang jelas, putrinya baru saja lulus sekolah menengah atas.
Pria berkacamata itu beberapa kali membuat panggilan kembali karena sambungan terputus. ”Duh, sinyale elek (duh, sinyalnya jelek),” keluhnya.
Istri Ikhsan yang asal Sulawesi Selatan, Iis Mayanti (41), tidak ketinggalan melakukan percakapan video dengan anak mereka yang dititipkan di keluarga Makassar. ”Simpan-simpan uangmu, Nak. Jangan boros-boros,” pesannya.
Ikhsan dan Iis bukannya tidak mau pulang. Malah, pergi ke kampung mungkin jauh lebih baik bagi mereka dibanding tetap di Jakarta tanpa ada sumber penghidupan. Lebih dari sebulan yang lalu, Ikhsan diberhentikan dari jabatan manajer tata graha (housekeeping) salah satu hotel di Glodok, Jakarta Barat, apa lagi kalau bukan gara-gara korona.
Sejak kasus positif Covid-19 terdeteksi di Jakarta, jumlah tamu yang menginap di hotel kian melorot. Dari yang biasanya seluruh 56 kamar di sana senantiasa terisi, kamar yang tersewa tinggal 5-7 unit di masa pandemi.
Ikhsan dan Iis bukannya tidak mau pulang. Malah, pergi ke kampung mungkin jauh lebih baik bagi mereka dibanding tetap di Jakarta tanpa ada sumber penghidupan. Lebih dari sebulan yang lalu, Ikhsan diberhentikan dari jabatan manajer tata graha (housekeeping) salah satu hotel di Glodok, Jakarta Barat, apa lagi kalau bukan gara-gara korona.
Pemilik hotel tak mampu lagi menggaji karyawan. Padahal, Ikhsan baru satu bulan bekerja di sana setelah pindah dari hotel yang lama. Ia pun mengikhlaskan tenaganya selama itu dan tidak menerima upah yang bisa mencapai Rp 15 juta per bulan karena perjanjian kerja hanya dengan jaminan lisan.
Ikhsan tidak mampu lagi mengeluarkan Rp 850.000 untuk biaya bulanan sewa kontrakan. Ia dan istrinya pun ditampung oleh teman-teman Ikhsan, dari satu hunian ke hunian lain. Mereka sempat dipinjami rumah di Cileungsi, Bogor, tetapi karena tidak memiliki surat keterangan bebas Covid-19, pengurus rukun tetangga (RT) di sana meminta mereka angkat kaki.
Lelah dengan nasibnya yang terlunta di Ibu Kota, Ikhsan memutuskan untuk pulang kampung mengendarai sepeda motor bersama Iis. Namun, karantina ala Pemerintah Indonesia, pembatasan sosial skala besar (PSBB), membuat niat pulang mereka terhalang. Tiga kali motor mereka dicegat di Kabupaten Bekasi karena adanya larangan mudik demi menekan perluasan penyebaran Covid-19.
Tempat singgah
Nyaris hidup menggelandang, Ikhsan lantas mendapat informasi dari rekannya soal penyediaan tempat singgah tunawisma oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, salah satunya di GOR Tanah Abang. Ia dan istrinya pun langsung masuk ke sana tanggal 5 Mei lalu. Mereka membiasakan diri tidur di kasur lipat ala tentara, velbed, setelah sebelumnya biasa menikmati kasur empuk.
Mereka awalnya berniat menginap satu-dua malam saja di GOR. Rasa kemanusiaan dari teman-teman Ikhsan membuat ia mendapatkan bantuan uang tunai yang cukup untuk membayar kontrakan lagi.
”Namun, saya berpikir lagi, membayar kontrakan memang sanggup, tapi bagaimana makannya? Ya sudah, makin lama makin menikmati di sini,” kata Ikhsan.
Untuk pertama kalinya, Ikhsan dan Iis tidak berlebaran dengan anak-anak dan sanak saudara. Koneksi internet jadi andalan mereka bersilaturahmi.
Untuk pertama kalinya, Ikhsan dan Iis tidak berlebaran dengan anak-anak dan sanak saudara. Koneksi internet jadi andalan mereka bersilaturahmi.
Namun, Ikhsan dan Iis sejatinya masih lebih beruntung. Penghuni GOR Tanah Abang lainnya, Sunarya (52), tidak punya cara untuk menghubungi istrinya di Purwodadi, Jawa Tengah. Itu lantaran dua bulan silam ponselnya dicuri orang yang baru dikenalnya.
Sunarya tidak ingat nomor ponselnya dan nomor telepon keluarganya. Tidak satu pun. Alhasil, ia tidak bisa mengurus kehilangan nomor dan memilih membeli ponsel serta nomor baru.
Sudah begitu, ia juga kehilangan pekerjaan sebagai sopir pribadi setelah keuangan bosnya turut terempas Covid-19. Mau ke Purwodadi, pelarangan mudik masih berlaku. Sunarya pun tidak mampu lagi meneruskan sewa kamar kos dan selama dua minggu lebih sudah tinggal di GOR.
Tidak seperti Ikhsan dan Iis yang kangen-kangenan dengan anak-anak mereka lewat ponsel, Sunarya melewatkan hari raya dengan duduk-duduk di halaman GOR, mengobrol, serta bersenda gurau dengan sesama penghuni tempat singgah.
Baca juga: Demi Keamanan Ibu Kota, Warga DKI Jakarta Diminta Lebaran di Rumah Saja
Sesekali, ia melihat pengendara motor yang melintas di jalan, berboncengan laki-laki dan perempuan atau bahkan dengan tambahan anak-anak kecil, mengenakan pakaian terbaik untuk bersilaturahmi Idul Fitri.
”Sedih juga lihat yang bisa kumpul sama keluarga, naik motor, silaturahmi. Lha saya di sini…,” tuturnya.
Dengan segala kepedihan itu, Ikhsan, Iis, dan Sunarya masih merasa bersyukur ada perhatian dari Pemprov DKI. Sunarya legowo dengan mengatakan, ia bukan satu-satunya yang mengalami kesulitan. Selain itu, sandang, pangan, dan berbagai kebutuhan dasar mereka terjamin di GOR Tanah Abang.
”Petugasnya juga cepat tanggap jika dimintai bantuan,” kata Iis.
Gubernur DKI Anies Baswedan menginstruksikan penggunaan sejumlah gedung olahraga selama pandemi Covid-19 sebagai rumah singgah bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial, termasuk mereka yang tidak mampu membiayai tempat tinggal akibat kehilangan pekerjaan. Dengan cara demikian, mereka tidak terancam sekaligus mengancam kesehatan warga lain akibat menggelandang di jalanan.
Petugasnya juga cepat tanggap jika dimintai bantuan
Data per 23 Mei, ada 6.443 kasus positif Covid-19 di DKI. Sebanyak 1.587 orang di antaranya sembuh, tetapi 504 orang meninggal.
Kepala Satuan Pelaksana Sosial Kecamatan Tanah Abang Agus Kurniawan mengatakan, total 1.000 orang lebih pernah tinggal di GOR Tanah Abang sejak pertama kali difungsikan sebagai rumah singgah akhir bulan lalu. Saat ini, yang masih bertahan 39 orang, sedangkan lainnya sudah pulang ke keluarganya.
Untuk menjamin kebutuhan dasar para penghuni terus tercukupi, petugas dari berbagai instansi, termasuk Dinas Sosial DKI, Satuan Polisi Pamong Praja, dan Kementerian Sosial bersiaga setiap hari di sana. Sekitar 20 orang bertugas per hari, termasuk di hari raya Idul Fitri.
Agus juga datang ke GOR pada Minggu pagi untuk memantau pelayanan di sana. Menurut dia, ia dan petugas lainnya sudah terbiasa dengan konsekuensi tersebut. ”Keluarga saya pun sudah paham,” ujarnya.
Baca juga: PSBB, Pergi Saja Beli Baju
Para penghuni rumah singgah GOR Tanah Abang maupun petugas di sana turut berkorban demi Jakarta pulih. Tatap muka lewat gawai jadi pelipur rindu dengan keluarga di kampung.