Penanganan Distributor Nakal Jangan Sampai Mengaburkan Transparansi Gula
›
Penanganan Distributor Nakal...
Iklan
Penanganan Distributor Nakal Jangan Sampai Mengaburkan Transparansi Gula
Pemerintah tak boleh abai pada transparansi dan keterbukaan data stok gula pada rantai pasok. Hal ini lebih krusial dan merupakan akar permasalahan tingginya harga gula saat ini.
Oleh
M Paschalia Judith J
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menilai panjangnya rantai distribusi menjadi salah satu penyebab tingginya harga gula di tingkat konsumen. Meskipun demikian, produsen gula menyebut, faktor rantai distribusi itu tak boleh mengaburkan aspek transparansi stok yang menjadi akar masalah pergulaan nasional.
Pusat Informasi Harga Pangan Strategis mencatat, rata-rata nasional harga gula di tingkat konsumen mencapai Rp 17.400 per kilogram (kg) pada akhir pekan ini. Angka ini berada di atas acuan yang senilai Rp 12.500 per kg berdasarkan menurut Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen.
Menteri Perdagangan Agus Suparmanto menyatakan, panjang rantai distribusi yang dapat melibatkan hingga tiga pelaku distributor membuat harga gula di tingkat konsumen tergolong tinggi.
”Banyak keluhan dari pedagang pasar kalau harga gula di tingkat distributor sudah tinggi,” katanya dalam telekonferensi pers, Sabtu (23/5/2020).
Akibat panjangnya rantai distribusi itu, lanjut Agus, harga gula di tingkat konsumen Rp 17.000-Rp 18.000 per kg. Padahal, harga jual gula dari produsen ke distributor paling tinggi berkisar Rp 11.200 per kg.
Pada Januari 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, rata-rata margin perdagangan dan pengangkutan gula pasir pada 2018 sebesar 33,18 persen dengan jumlah empat mata rantai pasok. Margin tersebut lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang senilai 32,67 persen dengan jumlah mata rantai yang sama.
Data yang sama menyebutkan, ada 11 provinsi yang memiliki empat mata rantai dalam proses pengangkutan dan perdagangan gula, sedangkan 23 provinsi lainnya mempunya tiga mata rantai. Empat mata rantai itu terdiri dari produsen, distributor, pedagang grosir, pedagang eceran, dan konsumen akhir.
Agus menyatakan, Kementerian Perdagangan bersama dengan Satuan Tugas (Satgas) Pangan akan mengawasi dan menindak importir, produsen, dan distributor dalam proses rantai pasok gula pasir. ”Tak boleh ada pihak yang nakal dan memanfaatkan kondisi harga seperti ini,” ujarnya.
Tak boleh abai
Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Budi Hidayat menilai, tiap distributor yang terlibat dalam rantai sudah menggandeng distributor lainnya. Hal itu biasanya didasari oleh kontrak harga antarpelaku distributor yang terlibat.
”Meski demikian, pemerintah tak boleh abai pada transparansi dan keterbukaan data stok gula pada rantai pasok. Hal ini lebih krusial dan merupakan akar permasalahan tingginya harga gula saat ini,” katanya.
Pemerintah tak boleh abai pada transparansi dan keterbukaan data stok gula pada rantai pasok. Hal ini lebih krusial dan merupakan akar permasalahan tingginya harga gula saat ini.
Berdasarkan data BPS, pada April 2020 Indonesia telah mengimpor 684.000 ton gula senilai 238 juta dollar AS. Volume dan nilai impor tersebut meningkat dari Maret 2020 yang sebanyak 642.000 ton dan senilai 230 juta dollar AS.
Jika dibandingkan April 2019, impor gula Indonesia pada April 2020 naik hampir dua kali lipat. Waktu itu, impor gula hanya sebanyak 387.000 ton, senilai 135 juta dollar AS.
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan merevisi peraturan tentang ketentuan impor gula. Selain mengubah parameter nilai kemurnian gula, regulasi baru memperbolehkan swasta ikut mengimpor gula untuk stabilisasi harga di tingkat konsumen.
Regulasi baru itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 14 Tahun 2020 tentang Ketentuan Impor Gula. Ketentuan itu diundangkan pada 18 Februari 2020 dan berlaku 30 hari kemudian. Aturan ini menggugurkan regulasi serupa sebelumnya, yakni Permendag No 117/2015.
Dalam regulasi baru, parameter nilai kemurnian yang berkaitan dengan warna gula diukur berdasarkan standar internasional atau IU (International Commission for Uniform Methods of Sugar Analysis/ICUMSA). ICUMSA untuk gula kristal mentah, misalnya, diubah dari minimal 1.200 IU di regulasi sebelumnya menjadi minimal 600 IU di regulasi baru.
Adapun ICUMSA gula kristal rafinasi diubah dari maksimal 45 IU menjadi maksimal 75 IU. Sementara ICUMSA gula kristal putih diubah dari 70-200 IU menjadi 81-200 IU.
Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menyatakan, salah satu latar belakang lahirnya Permendag No 14/2020 adalah untuk mengakomodasi gula mentah India. Akomodasi ini merupakan ”barter” agar ekspor kelapa sawit Indonesia ke India bisa berjalan lancar.
Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bayu Krisnamurthi berpendapat, nilai ICUMSA yang tinggi pada permendag lama merupakan wujud proteksi terhadap pergulaan dalam negeri.
”Kalau batas ICUMSA gula mentah yang diimpor makin kecil, risiko gula itu merembes ke pasar konsumsi makin besar,” ujarnya.
Permendag No 14/2020 juga memperbolehkan importir swasta mengimpor gula kristal putih untuk stabilisasi harga nasional di tingkat konsumen, selain badan usaha milik negara (BUMN). Padahal, peraturan sebelumnya membatasi pelaksana impor gula untuk stabilisasi harga hanya BUMN.
”Pelonggaran itu merupakan alarm bagi pergulaan nasional,” kata Bayu.
Pelonggaran itu merupakan alarm bagi pergulaan nasional.
Tak hanya gula mentah, pemerintah juga mengimpor gula konsumsi pada tahun ini. Pemerintah menambah kuota impor gula kristal putih untuk kebutuhan konsumsi sebanyak 150.000 ton. Penugasan impor tersebut diberikan kepada tiga BUMN, yakni Perum Bulog, PT Rajawali Nusantara Indonesia, dan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia.
Ketua Satuan Tugas (Satgas) Pangan Kepolisian RI Brigadir Jenderal Daniel Tahi Monang Silitonga menyatakan, tiap pihak dalam rantai pasok gula, khususnya konsumen, mesti melaporkan harga gula yang dinilai tak terjangkau. Laporan ini akan diterima, dipantau, bahkan ditindak.
Hingga saat ini, Perum Bulog telah menggelontorkan 36.500 ton gula melalui operasi pasar di berbagai daerah di Indonesia. Langkah ini berperan dalam pengendalian harga gula.
Di Pasar Modern BSD dan Pasar Serpong, Tangerang Selatan, Banten, operasi pasar gula juga digelar. Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany mengatakan, sebelum ada operasi pasar, harga gula di pasar-pasar ini berkisar Rp 18.500-Rp 20.000 per kg.
”Setelah operasi pasar, harganya berkisar Rp 12.000,” ujar Airin.