Pada masa pandemi Covid-19, siapa pun tidak boleh egois demi untuk kepentingannya sendiri, baik karena alasan agama maupun bangsa/negara. Menyelamatkan nyawa manusia hal yang utama.
Oleh
Abd Rohim Ghazali
·4 menit baca
Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah berlangsung di tengah pandemi Covid-19. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya sebagian besar umat melaksanakan ibadah shalat Id di rumah bersama keluarga. Pertimbangan untuk melaksanakan shalat Id di rumah dilandasi kemaslahatan kemanusiaan.
Dalam Islam, nyawa manusia memiliki nilai yang sangat tinggi. Orang yang menghilangkan nyawa orang lain (membunuh), diumpamakan sama seperti membunuh semua orang di muka bumi, begitu pun pada saat menyelamatkan satu nyawa orang, seolah ia menyelamatkan nyawa semua orang (QS, al-Maidah [5]:32).
Dari hadis Abu Hurairah, Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda: ”Larilah dari orang yang sakit lepra (menular), sebagaimana kamu lari dari singa.”
Dalam hadis lain yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim, Rasulullah juga bersabda, ”Jika kalian mendengar tentang adanya wabah di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di suatu tempat kalian berada, maka janganlah kalian meninggalkan tempat itu.”
Dalam Islam, nyawa manusia memiliki nilai yang sangat tinggi.
Itulah mengapa dalam Maqasid Syariah—konsep hukum gagasan Imam Asy-Syatiby yang menjelaskan bahwa setiap syariat diturunkan/diadakan untuk tujuan-tujuan tertentu—ditegaskan bahwa tujuan utama syariat Islam adalah menjaga nyawa/kehidupan (hifdzun nafs), di samping untuk menjaga agama/keyakinan (hifdzud din); menjaga akal/pikiran (hifdzul aql); menjaga keturunan (hifdzun nasb); dan menjaga harta/kepemilikan (hifdzul mal).
Rahmat bagi alam
Rasulullah SAW diutus ke muka bumi untuk memberi rahmat bagi alam semesta (QS, al-Anbiya [21]:107). Inilah dasar yang kokoh bagi keberadaan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Artinya, keberadaan seorang Muslim, di mana pun dia, selain harus menjaga keamanan bagi dirinya, juga harus memberikan rasa aman dan kedamaian bagi orang lain yang ada di sekelilingnya.
Dalam hal ini, ada dua kaidah hukum (ushul fiqh) yang mengaturnya secara teknis, yakni la dharara wala dhirara (tidak boleh membahayakan diri dan membahayakan orang lain), dan dar\'ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih (menolak kerusakan didahulukan dari pada mencari kemaslahatan).
Pandemi corona virus disease (Covid-19) adalah bahaya yang mengancam keselamatan manusia. Penularan dan penyebarannya sangat cepat secara tidak kasat mata. Jumlah korbannya terus bertambah dari waktu ke waktu.
Sepanjang belum ada vaksin yang bisa menangkalnya, cara yang paling efektif untuk menghindari Covid-19 adalah dengan menjaga jarak fisik (physical distancing), menghindari kerumunan, selalu menjaga kebersihan dengan rajin memcuci tangan, dan tinggal di rumah saja.
Untuk memutus mata rantai penularan pandemi, shalat yang biasanya lebih baik/lebih utama dilakukan secara berjemaah di masjid atau mushala, harus diganti dengan shalat berjemaah di rumah. Shalat Jumat dan shalat Idul Fitri yang lazim dilakukan di Masjid dan atau di lapangan terbuka, bisa diganti dengan berjamaah bersama keluarga di rumah.
Pandemi corona virus disease (Covid-19) adalah bahaya yang mengancam keselamatan manusia.
Bahkan, ibadah haji yang wajib bagi setiap Muslim yang memiliki kemampuan untuk menjalankannya bisa ditiadakan atau ditunda, dengan alasan menghindari bahaya. Dalam sejarah, Covid-19 bukan satu-satunya wabah yang bisa menunda/meniadakan ibadah haji.
Dalam Islam, bagaimana menjaga nyawa manusia berkelindan dengan kepentingan kebangsaan/keindonesiaan. Atau menurut Ahmad Syafii Maarif (2009: 26), antara Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan harus ditempatkan dalam satu napas.
Pada era perang kemerdekaan atau pada saat terjadi revolusi fisik, nyawa rakyat bisa dikorbankan demi kepentingan bangsa. Tapi, pada era Covid-19 ini, kepentingan bangsa dikorbankan untuk menyelamatkan nyawa rakyat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, untuk kepentingan menanggulangi Covid-19 telah mengalokasikan belanja negara sebesar Rp 405,1 triliun yang terdiri dari: Rp 75 triliun untuk intervensi kesehatan; Rp 110 triliun untuk jaring pengaman sosial; Rp 70 triliun untuk melindungi industri; dan Rp 150 triliun untuk pembiayaan penjaminan serta restrukturisasi ekonomi dalam rangka membantu sektor keuangan.
Banyak agenda yang sudah dirancang untuk kepentingan pembangunan nasional dibatalkan karena anggarannya dialihkan untuk kepentingan penanggulangan Covid-19. Proyek-proyek besar yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai prioritas utama pemerintah ditunda karena Covid-19.
Sama seperti dalam beragama, dalam berbangsa/bernegara, nyawa manusia juga menjadi prioritas utama. Seorang pemimpin bangsa tidak boleh mengorbankan nyawa demi kepentingan negara. Bahkan, jika ada yang menginginkannya pun sebisa mungkin harus dicegah.
Pada masa pandemi Covid-19, siapa pun tidak boleh egois demi untuk kepentingannya sendiri, baik karena alasan agama maupun bangsa/negara. Shalat berjamaah (dalam kerumunan, tanpa menjaga jarak sesuai protokol kesehatan saat pandemi Covid-19) di masjid dan mushala harus dicegah jika berpotensi memunculkan bahaya seperti penularan virus korona.
Sama seperti dalam beragama, dalam berbangsa/bernegara, nyawa manusia juga menjadi prioritas utama.
Upaya pemerintah untuk menghidupkan kembali roda ekonomi dengan cara merelaksasi (melonggarkan) kebijakan PSBB (pembatasan sosial beskala besar) juga harus dipertimbangkan dengan saksama karena nyawa manusia menjadi taruhannya.
Untuk kepentingan menyelamatkan nyawa manusia, egoisme agama dan kebangsaan/keindonesiaan harus dikesampingkan.
(Abd Rohim Ghazali, Direktur Eksekutif Maarif Institute)