Pemerintah mengakui ada masalah terkait impor gula sehingga realisasinya mundur dari jadwal semula. Gula tiba ketika petani tebu rakyat tengah memulai musim panen dan giling pada Mei-Juni 2020.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Perdagangan mengakui realisasi impor oleh pabrik gula yang diberi penugasan oleh pemerintah terlambat karena pengiriman dari negara pemasok terhambat pembatasan akibat pandemi Covid-19. Terbatasnya pasokan di pasar membuat harga gula tetap tinggi.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indrasari Wisnu Wardhana, Minggu (24/5/2020) malam, mengatakan, kendala jalur transportasi dan logistik dari sentra produksi negara pengekspor menuju pelabuhan muat di negara importir membuat pergeseran realisasi impor. Gula impor yang semula diperkirakan masuk Maret-April 2020 mundur jadi Mei-Juni 2020.
Akhirnya, gula hasil impor diproyeksikan baru akan masuk beriringan dengan musim giling tebu petani. Sebagaimana diketahui, jadwal musim giling tebu juga bergeser dari yang biasanya pada Maret bergeser menjadi Juni karena perubahan iklim.
”Selain karena ada kebijakan lockdown di negara-negara asal, importir gula juga mengalami kesulitan mendapatkan kapal pengangkut karena adanya protokol kesehatan yang harus diikuti di negara asal impor,” kata Wisnu dalam keterangan persnya.
Sebagaimana diketahui, salah satu kebijakan pemerintah untuk menjaga pasokan gula adalah dengan mengeluarkan surat persetujuan impor (SPI) kepada sejumlah perusahaan. Izin impor dikeluarkan untuk gula kristal mentah (GKM) yang akan diolah menjadi gula kristal putih (GKP) serta impor GKP yang siap dikonsumsi.
Ada tiga perusahaan BUMN yang ditugaskan pemerintah untuk mengimpor GKP, yaitu Perum Bulog 50.000 ton, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) 50.000 ton, dan Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) 50.000 ton.
Pemerintah juga menugaskan perusahaan lain untuk mengimpor GKM, seperti PT Gendhis Multi Manis (GMM) selaku anak Perum Bulog. Pada 6 Maret 2020, PT GMM mendapat persetujuan impor GKM sebesar 29.750 ton. Berikutnya, pada 13 April 2020, PT GMM kembali mendapat persetujuan impor 35.000 ton.
Dari total persetujuan impor GKM 64.760 ton itu, kata Wisnu, PT GMM sudah merealisasikan impor 49.750 ton. Sementara, Perum Bulog sudah merealisasikan 22.800 ton GKP pada hingga akhir Mei 2020 dan menyalurkannya ke pasar-pasar tradisional.
Pemerintah juga menugaskan delapan perusahaan gula rafinasi yang tergabung dalam Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) untuk mengimpor GKM. Mereka ditugaskan mengolah GKM menjadi GKP dan dijual ke pasar konsumsi 250.000 ton. Kedelapan pabrik rafinasi itu menjual sebagian besar stok gulanya ke pasar tradisional dan sebagian kecil ke gerai ritel.
Menurut Ketua Umum AGRI Bernardi Dharmawan, dari penugasan 250.000 ton itu, sudah ada 209.000 ton gula yang diproduksi dan dijual ke distributor. Sementara itu, stok gula yang sudah keluar dari pabrik produsen ke gudang distributor 180.000 ton.
Belakangan, penyaluran gula hasil olahan pabrik rafinasi ini menjadi polemik. Stok gula dari pabrik rafinasi yang seharusnya dijual ke gerai ritel sesuai rencana awal, akhirnya lebih banyak dijual ke pasar-pasar tradisional. Jumlah stok gula yang dijual ke gerai ritel pun terus berkurang, dari awalnya 145.000 ton, menjadi 92.900 ton, dan terakhir menjadi 20.000-30.000 ton.
Hulu ke hilir
Komisioner Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), Guntur Saragih, menyoroti harga gula yang masih tinggi. Padahal, sejumlah izin impor gula sudah terealisasi dan perusahaan rafinasi yang ditugaskan pemerintah sudah memproduksi gula konsumsi untuk dijual ke pasar dan retail.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), selama April 2020, Indonesia mengimpor gula 684.000 ton dengan nilai 238 juta dollar AS. Nilai tersebut naik dari impor gula pada Maret 2020 sebanyak 642.000 ton dengan nilai 230 juta dollar AS.
Seharusnya, selama Maret-April, sudah ada 1.326.000 ton gula impor yang masuk, jauh di atas rata-rata kebutuhan gula bulanan nasional, yaitu 250.000 ton.
”Dari awal Maret, kami dorong agar SPI segera keluar, sekarang impornya sudah terealisasi dan barang sudah datang. Kalau harga masih saja mahal, berarti ada pelaku usaha di dalam negeri yang menahan-nahan. Harga akan naik ketika suplai sengaja dibatasi,” kata Guntur.
KPPU menemukan adanya indikasi praktik kartel untuk membatasi suplai di pasaran dan memainkan harga gula dalam beberapa bulan terakhir ini. Guntur menduga, ada modus yang dimainkan bersama dari proses hulu ke hilir oleh importir, produsen, distributor dan pedagang grosiran sehingga harga gula semakin tinggi ketika sampai ke konsumen.
Alih-alih turun, meskipun sejumlah langkah intervensi pasar dilakukan, harga rata-rata gula nasional masih naik. Berdasarkan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, harga rata-rata gula nasional ada di angka Rp 17.950 per kilogram. Angka itu jauh di atas harga acuan penjualan di tingkat konsumen (HET) yang ditetapkan pemerintah, yaitu Rp 12.500 per kilogram.
”Dari hulu sampai ke hilir bermasalah, ada modus mengeruk keuntungan besar dengan menetapkan harga eksesif,” kata Guntur.
Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengatakan, pemerintah mengambil sejumlah langkah kunci untuk menjaga pasokan dan menstabilkan harga gula di pasaran. Pertama, menjaga distribusi gula hasil olahan pabrik rafinasi untuk memenuhi kebutuhan pasar. Kedua, meminta produsen dan distributor memutus mata rantai distribusi yang panjang agar gula bisa langsung sampai ke pedagang pasar dan retail modern.
GKP harus dijual dengan harga sesuai HET, yakni Rp 12.500 per kilogram. Dengan begitu, produsen yang mendapat penugasan memproduksi GKP harus menurunkan harga jual ke distributor menjadi maksimal Rp 11.200 per kilogram. Pemerintah juga berencana menjual gula curah tanpa kemasan di retail modern.
Agus meminta agar stok lebih banyak disalurkan ke gerai ritel karena toko ritel takut jika menjual di atas HET. ”Kalau stok gula di toko ritel banyak, mau tidak mau yang di pasar tradisional akan ikut turun,” kata Agus.