Hanya Mi Instan dan Pukis Hidangan Idul Fitri Kali Ini
›
Hanya Mi Instan dan Pukis...
Iklan
Hanya Mi Instan dan Pukis Hidangan Idul Fitri Kali Ini
Dalam keterbatasan, mereka tetap merayakan Idul Fitri. Tak ada ketupat dan opor ayam, hanya mi instan dan pukis yang menjadi hidangan. Tak ada pakaian baru, hanya pakaian bekas pemberian sukarelawan.
Oleh
Aguido Adri
·4 menit baca
Perayaan Idul Fitri terasa berbeda dan penuh haru bagi warga korban kebakaran di permukiman padat di Jembatan Besi, Tambora, Jakarta Barat. Tak ada ketupat dan opor ayam, hanya mi instan dan kue pukis. Tak ada pakaian baru, hanya pakaian bekas pemberian sukarelawan.
Selepas shalat Id, dalam perjalanan pulang menuju rumah melintasi gang wilayah RW 003 dan RW 004, Kelurahan Jembatan Besi, Wandi (57) menyapa serta bertukar salam mengucapkan permintaan maaf lahir dan batin kepada sesama warga. Tangis haru pecah, beberapa warga tak tahan untuk tidak saling memeluk dan menguatkan satu sama lain meskipun ada imbauan menjaga jarak di era pandemi Covid-19.
”Seharusnya menjadi kegembiraan di hari kemenangan ini. Namun, saya tidak bisa membohongi perasaan. Sungguh berbeda, saya tak tahu harus mengambarkan situasi ini seperti apa. Di tengah pandemi Covid-19, rumah kami hangus terbakar. Tahun yang penuh cobaan dan tidak mudah,” kata Wandi menitikkan air mata, Minggu (24/5/2020), sembari berjalan pelan menuju rumahnya.
Biasanya ibu masak ketupat, opor ayam, dan sambel krecek dicampur ampela ayam dan petai. Sekarang seperti ini.
Kaki Wandi berhenti di salah satu tumpukan batu, arang, dan barang-barang yang hangus terbakar. Lokasi tempatnya berdiri adalah rumah yang sudah ia tempati lebih dari 35 tahun.
Di sana, ia terdiam. Beberapa saat memandangi rumah dan barang-barang serta perabotan yang hangus terbakar. Ia berjalan beberapa langkah lalu kembali berhenti, matanya jauh memandangi kawasan sekitar yang juga hangus terbakar. Ia menarik napas panjang, air matanya jatuh, bibirnya bergetar mengingat peristiwa kebakaran pada Selasa (19/5/2020).
Saat itu, sekitar pukul 04.30, tak lama setelah azan subuh berkumandang, warga di RW 003, RW 004, RW 013 panik berhamburan keluar karena api tiba-tiba membesar. Tak ada barang dan surat berharga yang bisa mereka selamatkan. Si jago merah melalap setidaknya 102 rumah kontrakan yang dihuni total 773 jiwa.
”Ada hikmah, kita selamat dan masih bisa merayakan Idul Fitri meski dalam kondisi keterbatasan dan sulit. Tidak boleh terjadi kebakaran lagi, kontrol pembangunan harus ketat oleh pemerintah. Tidak boleh terlalu padat dan pemasangan listrik juga perlu dikontrol lagi,” tutur Wandi.
Kesedihan serupa juga dialami warga yang mengungsi di Masjid Jami, tak jauh dari lokasi kebakaran. Setelah shalat Id, Maman (65) bersama istrinya, Sukaisih (52), dan anaknya, Lena (19), serta cucunya berkumpul bercengkrama di lantai dua Masjid Jami. Tidak ada hidangan khas Lebaran, seperti ketupat dan opor ayam, hanya mi instan yang tersaji di depan keluarga itu. Rasa lapar membuat Maman bergegas mengambil air panas dalam termos.
”Biasanya ibu masak ketupat, opor ayam, dan sambel krecek dicampur ampela ayam dan petai. Hidangan itu pasti ada, itu makanan tradisi Lebaran. Ada beberapa kue juga, seperti nastar. Kita kumpul dan saling bersilahturahmi. Sekarang seperti ini...,” kata Sukaisih berhenti bercerita. Matanya memerah berkaca-kaca.
Tak jauh berbeda dengan Rusli (55) dan anaknya, Rita (28), bersama sang suami, Haris (30). Tidak seperti momen Lebaran tahun lalu yang meriah, sukacita, dengan meja penuh minuman, kue, dan berbagai hidangan. Kali ini, mereka merayakan dengan sebungkus kue pukis.
”Tadi mampir bentar di toko kue. Masih ada sisa uang sedikit. Saya beli kue pukis satu bungkus, isinya enam. Dan beli satu bungkus nasi rendang untuk bapak dan suami,” kata Rita.
Rusli dan keluarga kecilnya menyantap hidangan itu di depan mereka. Maman tetap mengucap rasa syukur atas rezeki dan kesehatan meski merayakan Idul Fitri dalam kondisi terbatas.
”Semoga setelah ini keadaan kembali normal. Semoga kita tetap sehat, diberi rezeki, dan kuat menjalani hidup. Semoga korona hilang dan kita bisa beraktivitas seperti biasa,” kata Rusli.
Dalam keterbatasan tersebut, para pengungsi tak ingin lama-lama larut dalam kesedihan. Mereka coba mengalihkan rasa itu dengan bercengkrama, menghibur diri, dan berdandan rapi. Tak ada pakaian baru, hanya pakaian pemberian sukarelawan yang mereka gunakan.
Tak mau berdiam diri, Lena menghibur diri dengan berdandan. Ia berkaca di cermin yang ia pegang sembari memoles wajahnya dengan bedak bayi. Ia oles bibirnya dengan lipstik yang ia terima dari seorang teman. Alisnya pun tak lupa ia hitamkan dan tebalkan.
”Meski dalam keadaan seperti ini, boleh dong tampil cantik,” kata Lena sambil tersenyum.
Tak mau ketinggalan, ayahnya, Maman, pun sibuk mencari pakaian dalam tumpukan karung goni untuk ia kenakan. Dari sekian banyak pakaian itu, ia menemukan kemeja batik. Sembari mengasuh cucu, Sukaisih hanya tersenyum melihat tingkah pola sang suami dan anaknya.
”Untuk hiburan saja, capek juga terus mikir dan meratapi kondisi. Memang berat tahun ini, semoga bisa kami jalani. Selain itu, saya juga berharap pemerintah mau melihat kondisi kami dan rumah kami yang hangus terbakar. Semoga ada uluran bantuan tempat tinggal. Tidak mungkin kami tinggal di masjid terus,” kata Maman.