Evaluasi penerimaan peserta didik baru semestinya dilakukan setiap tahun. Evaluasi dapat diikuti dengan mengembangkan data persebaran kondisi sekolah disertai guru, demografi mereka, dan siswa.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Evaluasi penerimaan peserta didik baru perlu dilakukan setiap tahun. Dengan demikian, permasalahan yang terjadi di setiap tahun dapat menjadi perbaikan jangka panjang.
Peneliti sosiologi pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Anggi Afriansyah, saat dihubungi Senin (25/5/2020), di Jakarta, mengatakan, selama ini masih ada kecenderungan sekolah-sekolah memusat di kota yang jauh dari permukiman warga. Kecenderungan ini semestinya sudah jadi bahan evaluasi.
Lalu, pemerintah mengimbangi hasil evaluasi itu dengan membuat data persebaran kondisi sekolah disertai jumlah guru, demografi mereka, dan siswa. Pemerintah pusat dan daerah bisa bersama-sama membuatnya.
Mengacu pasal 11 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 44 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan, terdapat empat jalur pendaftaran penerimaan peserta didik baru (PPDB). Jalur pertama adalah zonasi yang ditetapkan paling sedikit 50 persen dari daya tampung sekolah.
Jalur kedua adalah afirmasi yang ditetapkan paling sedikit 15 persen dari daya tampung sekolah. Ketiga, jalur perpindahan tugas orangtua/wali yang kuotanya ditetapkan paling banyak 5 persen dari daya tampung sekolah. Sementara untuk jalur keempat, yakni prestasi, pemerintah daerah dapat membukanya apabila masih ada sisa kuota dari jalur pertama sampai ketiga.
Jalur zonasi masih jadi opsi yang pas untuk mendukung perbaikan atas kondisi kecenderungan terpusatnya sekolah-sekolah di kota yang jauh dari permukiman.
Dari keempat jalur pendaftaran yang diamanatkan di Permendikbud No 44/2019, dia memandang, jalur zonasi masih jadi opsi yang pas untuk mendukung perbaikan atas kondisi kecenderungan terpusatnya sekolah-sekolah di kota yang jauh dari permukiman.
Lebih jauh, kata Anggi Afriansyah, perluasan akses ke sekolah memang penting dilakukan, tetapi juga harus diikuti dengan pemerataan kualitas guru, sarana prasarana, dan pembelajaran. Jika ini tidak dilakukan, pendaftaran PPDB jalur zonasi tetap merugikan bagi mereka yang berprestasi, tetapi memiliki jarak rumah yang jauh dari sekolah. Mereka kemudian tersisih dan tidak dapat mengakses sekolah. Kejadian seperti itu masih terjadi kendati jalur zonasi telah diberlakukan sejak sekitar empat tahun lalu.
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo menyampaikan pendapat senada tentang pentingnya data persebaran kondisi sekolah disertai jumlah guru, demografi mereka, dan siswa. Ketika data persebaran kondisi itu muncul, dia menilai bukan hanya persoalan PPDB terselesaikan, melainkan juga pendidikan secara keseluruhan.
”Sejumlah daerah tertentu memiliki persoalan jumlah siswa yang alih jenjang besar, tetapi tidak diimbangi jumlah sekolah. Ada juga daerah yang kondisinya malah kebalikan,” katanya.
Ketika pemerintah daerah berinisiatif membangun sekolah baru untuk membantu pendaftaran PPDB, tetapi Heru sering kali menerima keluhan jumlah guru kurang.
”Belum lagi isu permasalahan pembangunan sekolah negeri baru, yang tujuannya memperluas akses, dikhawatirkan mematikan keberadaan sekolah swasta. Misalnya, penerimaan siswanya berkurang. Oleh karena itu, pemerintah memang perlu evaluasi dan mendata persebaran,” tuturnya.
Tak sesuai tujuan
Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia M Ramli Rahim lebih menyoroti isi Pasal 11 Permendikbud No 44/2019 yang menurunkan penetapan minimal zonasi menjadi 50 persen dari total daya tampung sekolah. Ketentuan itu merusak tujuan awal zonasi yang ingin memberikan akses pendidikan berkualitas dan mewujudkan tripusat pendidikan dengan bersekolah di lingkungan tempat tinggal. Apabila ada dinas pendidikan di daerah yang malah menetapkan di bawah acuan minimal itu, dia menilai hal itu semakin memperburuk keadaan.
”Kami khawatir akan muncul lagi kasta-kasta sekolah,” katanya.
Menurut Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Iwan Syahril, di direktorat jenderal yang dia pimpin, khususnya, akan selalu mengembangkan program yang harus memiliki dampak terhadap hasil belajar murid. Ini akan menekankan pada pentingnya kualitas guru dan pemimpin sekolah.
”Guru dan kepala sekolah memiliki dampak signifikan terhadap hasil belajar murid. Penguatan kepala sekolah akan ditekankan. Pemimpin sekolah harus memahami pembelajaran berpihak pada murid dan mampu jadi mentor bagi guru,” tuturnya.
Hingga saat ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan belum memutuskan kapan akan membuka kembali sekolah. Kementerian menunggu perkembangan persebaran Covid-19 dari Gugus Tugas Penanganan Covid-19.
Tahun ajaran baru 2020/2021 sesuai kalender akademik adalah mulai pertengahan Juli 2020. Kementerian saat ini mengimbau agar pemerintah daerah segera menetapkan petunjuk teknis PPDB tahun 2020.