Kebijakan luar negeri China pada masa pandemi ini memiliki dua wajah, sebagai pemberi bantuan yang baik hati sekaligus sebagai negara adikuasa yang siap menyerang.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
BEIJING, SELASA — Berakhir sudah diplomasi sederhana yang dipromosikan mendiang pemimpin China, Deng Xiaoping. Filosofi diplomasi Deng, ”sembunyikan kekuatanmu, tunggu waktu (yang tepat) untuk muncul”, kini berganti wajah dan rupa di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping.
Xi, yang mengambil alih kepemimpinan China pada tahun 2012, mendorong kebijakan luar negeri yang lebih percaya diri. Dengan kekuatan ekonomi dan militernya yang kini bersanding dengan negara-negara adikuasa, China menempatkan diri sejajar dengan mereka.
Pun pada masa pandemi global Covid-19 ini, China memainkan dua peranan: sebagai donor bantuan yang baik hati dan mengisi kekosongan peran yang ditinggalkan Amerika Serikat serta sebagai negara adidaya yang siap ”berperang” dan membalas kritik dengan kebijakan politik dan ekonominya.
”Bantuan dari China, seperti negara-negara lain, adalah bagian dari kekuatan lunaknya. Bantuan itu juga punya tujuan komersial dan politik,” kata Jocelyn Chey, mantan diplomat Australia dan profesor tamu di Universitas Sydney, Australia, Selasa (26/5/2020).
Selama beberapa waktu terakhir, sesudah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan Covid-19 yang bermula di Provinsi Hubei, China, sebagai pandemi global, Beijing telah mengirimkan sejumlah bantuan peralatan medis dan obat-obatan ke negara-negara.
Tidak hanya itu, Beijing juga menjanjikan bantuan internasional senilai 2 miliar dollar Amerika Serikat untuk memerangi Covid-19 dan menjanjikan akses yang sama dan merata atas vaksin yang tengah dikembangkan ke dunia internasional.
Strategi ini sejalan dengan penggunaan kekuatan ekonomi China untuk mendapatkan sekutu dan aliansi di panggung dunia melalui Prakarsa Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative, BRI). Menurut Jocelyn, kebijakan luar negeri seperti itu dinilai berhasil dalam memenangi persepsi internasional tentang status Taiwan atau isu tuduhan penindasan atas warga minoritas Muslim di Xinjiang, China bagian barat.
Namun, di saat yang sama, China juga harus berhadapan dengan rival-rival geopolitiknya, seperti Amerika Serikat, Australia, dan Perancis. Jocelyn menilai ini adalah pekerjaan humas yang berisiko.
Sikap Pemerintah China menghadapi persoalan-persoalan baru dengan rival-rivalnya jelas disampaikan Menteri Luar Negeri Wang Yi, Minggu (24/5/2020).
”Kami tidak pernah memilih bertengkar atau menggertak orang lain. Namun, pada saat yang sama, kami memiliki prinsip dan nyali. Kami pasti akan melawan balik fitnah jahat untuk mempertahankan kehormatan dan martabat nasional,” kata Wang.
”Pasukan Serigala”
Tidak hanya memenangi pertempuran di arena ”peperangan” konvensional, Pemerintah Beijing juga menurunkan sejumlah diplomat tangguh untuk terjun ke dunia nyata dan dunia maya untuk mempromosikan negara komunis tersebut. Di dunia maya, menggunakan medium Twitter yang dilarang di daratan China, kelompok diplomat ditahbiskan sebagai ”Pasukan (Ksatria) Serigala”.
Sebutan itu mengacu pada sebuah judul film China, yang mempromosikan kepemimpinan China di dunia global sembari menyerang balik pernyataan-pernyataan yang dinilai menyerang martabat Pemerintah China.
Menlu China Wang Yi mengingatkan bahwa ketegangan antara AS dan China bisa mengarah kepada Perang Dingin yang baru.
Beberapa waktu lalu, Presiden AS Donald Trump telah menyiramkan bensin dan memberikan penganan yang mudah untuk dipantik menjadi sentimen nasionalis di China. Pada saat yang sama, salah satu anggota ”Pasukan Serigala” yang juga juru bicara Kemenlu China, Zhao Lijian, balik menyerang dan mempromosikan teori konspirasi bahwa tentara AS mungkin membawa virus ke China.
Hubungan di antara kedua negara sebelumnya telah diwarnai ketegangan karena perang dagang dan soal pengembangan teknologi 5G Huawei yang dinilai berpotensi menjadi celah bagi China untuk ”mengintip” AS. Dengan berbagai kejadian ini, Wang mengingatkan bahwa ketegangan kedua negara bisa mengarah kepada Perang Dingin yang baru.
Amerika Serikat bukan satu-satunya target kemarahan Beijing. Pemerintah Australia juga mendapat ancaman pemboikotan produk ternak mereka oleh Bejing setelah Perdana Menteri Scott Morrison mendukung penyelidikan tentang asal muasal dan penyebaran virus korona. Di Australia, Dubes China mengancam akan memboikot produk-produk negara itu setelah Canberra menyerukan penyelidikan independen tentang asal-usul dan penyebaran virus korona.
Di tempat lain, Pemerintah Perancis memanggil Duta Besar China untuk negara itu setelah sang Dubes mengkritik penanganan pandemi Covid-19 di negara-negara Eropa, khususnya Perancis. Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell menyatakan bahwa anggota UE harus mengadopsi strategi yang lebih kuat untuk menghadapi China.
”China semakin kuat. Kebangkitannya mengesankan dan membuat banyak negara menaruh hormat. Tetapi, pada saat yang sama, mereka menimbulkan banyak pertanyaan dan ketakutan,” kata Borrell.
Steve Tsang, Direktur Institut China pada Sekolah Oriental dan Studi Afrika di London, mengatakan, pertama-tama, kebijakan luar negeri China dilandasi oleh kepentingan partai berkuasa di negara itu, yaitu Partai Komunis China. Prioritas utama partai itu, kata Tsang, adalah tetap melanjutkan kekuasaannya di ”Negeri Tirai Bambu”, khususnya ketika penguasa negara itu diuji melalui pandemi korona.
Tsang juga menyatakan, propaganda dan diplomasi ”pasukan serigala” telah membuat banyak pihak di Barat menentang kebijakan-kebijakan Pemerintah China. Namun, menurut Tsang, ini adalah harga yang harus dibayar, terutama karena kesulitan untuk ”mencari kawan” di panggung internasional.
Zhiqun Zhu, profesor ilmu politik di Universitas Bucknell di Pennsylvania, AS, menambahkan bahwa China ”menghadapi perjuangan berat untuk meningkatkan citra internasionalnya”. (AFP)