Industri Rokok Lesu, Petani Cengkeh Sulawesi Utara Tak Punya Modal Awal Jelang Panen
›
Industri Rokok Lesu, Petani...
Iklan
Industri Rokok Lesu, Petani Cengkeh Sulawesi Utara Tak Punya Modal Awal Jelang Panen
Jelang musim panen, petani cengkeh Sulawesi Utara kebingungan mencari sumber modal awal serta pihak pembeli. Sebagai solusi, badan usaha milik desa didorong untuk melebarkan aktivitas ke ranah penjualan cengkeh.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Jelang musim panen, petani cengkeh Sulawesi Utara kebingungan mencari sumber modal awal dan pembeli. Sebagai solusi, badan usaha milik desa didorong untuk melebarkan aktivitas ke ranah penjualan cengkeh. Petani juga dapat mengajukan pinjaman ke bank.
Eddy Sepang, tokoh petani cengkeh ketika dihubungi dari Manado, Selasa (26/5/2020), mengatakan, Sulut akan memasuki masa panen cengkeh akhir Juni 2020. Kendati begitu, wabah Covid-19 menyebabkan petani tidak memiliki modal awal untuk mempersiapkan panen.
”Selama pandemi Covid-19 ini, kami (petani) nyaris tak memiliki kegiatan sama sekali, tidak ada pemasukan. Padahal, kami butuh dana awal untuk persiapan panen, misalnya bikin tangga, alat jemuran, dan upah dan uang makan buruh buat petik cengkeh selama dua pekan,” kata Eddy yang merupakan tokoh petani. Ia pernah mengetuai Pusat Koperasi Unit Desa Sulut di awal pemberlakuan Tata Niaga Cengkeh.
Ia memperkirakan, dana yang dibutuhkan sekarang Rp 1 juta untuk membuat tangga dan jemuran serta Rp 1,5 juta untuk upah buruh. Biasanya, petani mendapatkan modal awal dari ijon yang diberikan oleh para pengepul dan pedagang.
Namun, belum ada pedagang yang menawar harga hingga kini. Menurut dia, ini dikarenakan pabrik-pabrik rokok di Jawa berhenti beroperasi akibat Covid-19, seperti di pabrik rokok Sampoerna di Surabaya, Jawa Timur.
Karena itu, Eddy berharap pemerintah mengizinkan badan usaha milik desa (BUMDes) di daerah penghasil cengkeh untuk memberi pinjaman modal awal. Setelah itu, pemerintah bisa menampung cengkeh hasil panen dalam sistem resi gudang sambil menunggu pabrik-pabrik rokok beroperasi. Modal dari BUMDes akan dikembalikan setelah cengkeh terjual.
”Ini juga untuk menghindari petani menjual cengkeh dengan harga murah ke spekulan atau pedagang. Kalau memang belum ada pasarnya, disimpan saja dulu di resi gudang,” kata Eddy.
Eddy yakin, panen cengkeh akan menggerakkan kembali roda ekonomi Sulut yang terhenti oleh Covid-19. ”Masalah physical distancing (jaga jarak) tidak usah khawatir karena buruh yang satu pasti berjauhan dengan yang lain,” katanya.
Bersama kopra dan pala, cengkeh termasuk komoditas unggulan Sulut. Pada awal 2019, Sulut memiliki 77,428 hektar lahan yang ditanami cengkeh. Dengan produktivitas 83,67 kilogram per hektar, Sulut dapat menyumbang sekitar 4.000 ton dari 120.000 ton kebutuhan cengkeh nasional.
Selama pandemi Covid-19 ini, kami nyaris tak memiliki kegiatan sama sekali, tidak ada pemasukan.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Sulut Roy Mewoh mengatakan, pemerintah pusat memfokuskan penggunaan anggaran dana desa tahun ini untuk tiga program, yaitu padat karya tunai, bantuan pangan terkait Covid-19, serta bantuan langsung tunai. Namun, setiap desa bebas mengalokasikan pula anggaran untuk BUMDes.
”Pengucuran dana BUMDes juga diserahkan ke setiap pengurus sesuai jenis usaha BUMDes. Kalau memang ada usaha simpan pinjam atau mau bergerak di bidang cengkeh, tentu diperbolehkan. Semua tergantung jenis usaha BUMDes yang disepakati para pengurus,” kata Roy.
Roy juga mendukung BUMDes melebarkan usahanya, terutama menjelang masa panen cengkeh. Sebab, BUMDes adalah pusat inovasi penggerak ekonomi desa.
Kepala Dinas Perkebunan Sulut Refly Ngantung juga mendukung para petani cengkeh di desa untuk membentuk BUMDes demi memperbaiki harga cengkeh. Selama ini, petani bergantung pada pengijon sehingga terpaksa mendapat harga di bawah rata-rata pasar.
”Dana desa bukan hanya untuk infrastruktur. Kalau memang ada BUMDes yang mau mengusahakan pertanian di desa masing-masing, petani akan berdaulat menentukan ritme pasar. Kalau rantai pasok bisa dipotong, valueadded (nilai tambah) bisa dinikmati petani,” kata Refly.
Alternatif lain, Refly mendorong para petani memanfaatkan fasilitas kredit usaha rakyat (KUR) yang disediakan pemerintah dengan plafon Rp 50 juta dan bunga 6 persen per tahun. Petani bisa mengajukan pinjaman secara berkelompok. ”Pemprov juga akan membantu memberikan surat rekomendasi selama petani bisa menjamin kemampuan mengembalikan pinjaman,” katanya.
Di lain pihak, Kepala Bidang Perdagangan Dalam Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulut Ronny Erungan mengatakan, pemerintah tidak dapat menyediakan resi gudang untuk menampung cengkeh. Sebab, cengkeh bukan komoditas ekspor seperti kopra. Pembeli cengkeh dari Sulut juga terbatas pada pihak-pihak tertentu.
Di samping itu, harga cengkeh juga cenderung stabil di kisaran Rp 60.000-Rp 70.000 per kg. ”Ini karena pasar dimonopoli pabrik rokok seperti Gudang Garam dan Djarum. Disimpan di resi gudang selama enam bulan tidak menjamin harganya naik, malah bisa rugi akibat biaya operasional gudang,” kata Ronny.
Saat ini, Pemprov Sulut belum memikirkan cara untuk membuka pintu pasar bagi produk cengkeh di tengah lesunya industri rokok. Fokus pemerintah masih terpusat pada pemenuhan kebutuhan barang pokok demi memastikan ketersediaan pangan selama masa darurat Covid-19.