Mobilitas warga yang tidak terkendali menjelang hari raya Idul Fitri menjadi tantangan tersendiri dalam pengendalian penyebaran Covid-19.
Oleh
Editor Kompas
·2 menit baca
Mobilitas warga yang tidak terkendali menjelang hari raya Idul Fitri menjadi tantangan tersendiri dalam pengendalian penyebaran Covid-19.
Dalam dua hari, Jumat dan Sabtu, 22-23 Mei 2020, harian ini mengingatkan pentingnya kontrol atau intervensi negara terhadap mobilitas warga. Pada Jumat ditulis, ”Mobilitas Warga Tak Terkendali”. Adapun Sabtu ditulis, ”Mudik Bisa Tulari Keluarga”. Dalam kurun waktu 17-19 Mei 2020 saja tercatat 214.014 kendaraan telah keluar dari Jakarta. Media menjalankan peran sebagai sistem peringatan dini terhadap kemungkinan terjadinya lonjakan.
Sesuai data dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, per 24 Mei 2020, jumlah orang terkonfirmasi positif mayoritas berada di Jakarta (28,9 persen), menyusul Jawa Timur (16,4 persen), Jawa Barat (9,4 persen), Jawa Tengah (5,9 persen), Banten (3,5 persen), dan DIY (1 persen).
Dalam mengendalikan penyebaran Covid-19 perlu dipertimbangkan teori balon, di mana pengetatan di satu daerah bisa membuat tidak terkendali di daerah lain. Oleh karena itulah, dibutuhkan kerja sama antarwilayah untuk memutus mata rantai penularan Covid-19. Langkah yang diambil ialah membatasi pergerakan warga dan melakukan tes masif.
Imbauan pemerintah saja tidak cukup untuk mengontrol mobilitas warga. Sebagian dari mereka memang berniat pulang kampung untuk merayakan Lebaran atau memang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) di Jakarta dan sekitarnya.
Dalam konteks itu pulalah kita mengimbau pemerintah daerah dengan perangkatnya untuk bisa mengontrol mobilitas warganya. Karantina atau isolasi bagi mereka yang datang dari daerah episentrum harus disiplin dilakukan, termasuk disiplin mengikuti protokol kesehatan. Pergerakan warga yang tidak terkontrol membuat kita khawatir terjadinya lonjakan kasus positif korona setelah Lebaran.
Para pemudik disarankan jangan terburu-buru kembali ke Jakarta. Selain kondisi Jakarta yang belum normal (banyak perusahaan dan pertokoan masih tutup) dan masih menjadi episentrum Covid-19, persyaratan masuk ke Jakarta juga kian diperketat. Keharusan orang untuk masuk Jakarta dengan memiliki surat izin keluar masuk (SIKM) Jakarta merupakan upaya untuk mengendalikan penularan virus Covid-19 dari daerah ke Jakarta dan sekitarnya. SIKM harus dipegang oleh orang yang akan masuk Jakarta.
PSBB atau aturan apa pun harus dijalani secara disiplin.
Jakarta masih akan menjalani pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hingga 4 Juni 2020. Waktu menuju 4 Juni 2020 menjadi momen kritis bagi Jakarta apakah akan melonggarkan PSBB dan memasuki normal baru atau kembali memperpanjang PSBB. Pergerakan warga memang hak asasi manusia. Orang boleh saja bergerak ke mana-mana. Namun, negara tetap bisa mengintervensi pergerakan warga untuk tujuan terlindunginya keselamatan rakyat.
Kunci untuk memutus mata rantai virus Covid-19 adalah mengontrol pergerakan warga, memperbanyak tes, dan menangani mereka yang terbukti positif. PSBB atau aturan apa pun harus dijalani secara disiplin.