Pegiat wisata berinovasi mengemas paket wisata secara virtual agar bisa bertahan di kala pandemi. Di Gombong, perjalanan virtual digelar untuk mengenalkan jejak sejarah lokal ke publik.
Oleh
Wilibrordus Megandika Wicaksono
·6 menit baca
Di masa pandemi Covid-19, pelesir virtual menjadi salah satu cara yang sedang ngetren untuk melepas bosan saat mobilitas terbatas. Tak ketinggalan pegiat wisata di Gombong, Kebumen, yang mengajak publik lebih mengenal sejumlah peninggalan sejarah di jalur selatan Jawa Tengah tersebut lewat dunia maya.
Biro Wisata Milangkori Cultural Trip dan TripTrus menggelar pelesir virtual bertajuk #NgetripDariRumahAja lewat aplikasi Google Meet. Pengunjung dari berbagai daerah bisa ”berkeliling” Gombong meski tetap dari rumah. Dengan membayar Rp 20.000 per orang, pelesir virtual yang sudah dilaksanakan dua kali ini menyinggahi sejumlah peninggalan bersejarah di Gombong. Mulai dari Pabrik Rokok Sintren, Roemah Martha Tilaar, Kantor Yayasan AGH, serta rumah kediaman Liem Yau Kaw, salah satu generasi awal Tionghoa di Gombong.
Pada Sabtu (16/5/2020) siang, sebanyak 34 orang ikut bergabung dalam virtual trip yang digelar selama sekitar 1 jam. Sigit Asmodiwongso yang menjadi pemandu wisata dari Milangkori Cultural Trip mengajak penonton untuk berkunjung, melihat cara pembuatan rokok berbahan klembak dan kemenyan, serta berbincang dengan pemilik pabrik, Edi Hendrawanto (58).
Perjalanan dimulai dari depan pabrik rokok legendaris di Gombong yang telah ada sejak 1950-an tersebut. Sigit berdiri di bawah papan nama pabrik rokok yang terletak di Jalan Puring Nomor 25, Wonokriyo, Kecamatan Gombong. ”Berbeda dengan rokok kretek yang menggunakan cengkeh, rokok Gombong berbahan tembakau, kelembak, dan kemenyan,” tutur Sigit mengenalkan kekhasan produk dari destinasi yang akan dikunjungi.
Selanjutnya, kamera mengikuti Sigit masuk ke dalam kantor pabrik dan menjumpai Edi yang merupakan generasi kedua pemilik pabrik. Bersama Edi, Sigit mengajak pengunjung melihat sudut-sudut ruang pabrik rokok, mulai dari gudang penyimpanan bahan baku, aktivitas pekerja menumbuk kemenyan, proses perajangan tembakau dengan mesin, hingga proses pelintingan rokok oleh para ibu serta nenek-nenek dengan usia ada yang lebih dari 80 tahun.
”Dulu, sekitar 1970 sampai 1980-an, jumlah karyawan mencapai 1.200 orang. Sekarang jumlahnya 60 orang,” tutur Edi memulai kisah.
Ia menuturkan, tembakau didapat dari daerah Muntilan, Kabupaten Magelang, dan biasanya disimpan dahulu di gudang sekitar dua tahun dalam balutan daun pisang. Adapun kelembak merupakan tanaman merambat yang didapat dari lereng Gunung Sindoro dan Sumbing.
”Kelembak ini bisa dipakai sebagai obat herbal. Khasiatnya memperlancar metabolisme tubuh. Kemenyan khasiatnya sebagai antikanker. Karena pakai kemenyan, biasanya rokok ini dipakai juga untuk sesajen,” tutur Edi menambahkan.
Menurut Edi, selain merek Sintren, pabrik ini juga memproduksi rokok merek BangDjo dan Togog. Pemasarannya ke kabupaten/kota di wilayah eks-Karisidenan Banyumas. Rokok dijual Rp 3.000 per bungkus dengan isi 10 batang.
”Rokok Sintren pemasaranannya ke Gombong, Karanganyar (Kebumen), dan Kroya (Cilacap). Rokok BangDjo ke Purwokerto (Banyumas), rokok Togog ke Purbalingga dan Bobotsari (Purbalingga), serta Wonosobo,” ucap Edi.
Dalam video, tampak para ibu dan nenek dengan lincah meracik serta melinting tembakau, kelembak, dan kemenyan. Simprah (80), salah satu karyawati pabrik rokok tersebut, diwawancara oleh Sigit. ”Sudah lama kerja di sini, sejak gadis,” ujar Simprah menjawab pertanyaan Sigit.
Edi tidak memanfaatkan mesin-mesin canggih untuk produksi karena ia mengutamakan padat karya agar banyak orang mendapatkan penghidupan.
Menurut Edi, di pabrik tersebut tidak ada PHK dan pensiun karena siapa pun yang bekerja di tempat ini bekerja sampai sekuatnya. Edi pun tidak memanfaatkan mesin-mesin canggih untuk produksi karena ia mengutamakan padat karya agar banyak orang mendapatkan penghidupan.
Para pengunjung virtual banyak mengapresiasi semangat kerja para karyawan yang sudah sepuh tersebut. Akun Teuku Bramulia, misalnya, berkomentar di kolom percakapan (chat), ”Legend urusan linting-melinting ni, Mbahnya. Sehat terus, Mbah.”
Selanjutnya, dalam perjalanan kedua yang digelar pada Kamis (21/5/2020) siang, jumlah peserta yang bergabung ada 28 orang. Pelesir virtual ini mengajak pengunjung mengenal kawasan pecinan Sempor Lama di Gombong serta menyimak bangunan-bangunan rumah lawas hasil paduan gaya Eropa, China, dan Jawa. Pengunjung diajak masuk dan mengenali Roemah Martha Tilaar yang dibangun pada 1920 dan kediaman Liem Yau Kaw yang dibangun sekitar awal 1900-an.
Roemah Martha Tilaar yang menjadi museum serta tempat beraktivitas para pelaku UMKM dibuka untuk umum setiap hari, kecuali Senin. Sementara itu, di kediaman Liem Yau Kaw, pengunjung diajak melihat meja sembahyang yang dipasangi foto-foto para leluhur serta arsitektur rumah yang pada bagian tengahnya terbuka atau beratapkan langit.
Selain mengunjungi dua rumah tersebut, Sigit juga mengajak pengunjung virtual singgah ke Kantor Sekretariat Yayasan AGH singkatan dari Anugerah Guna Hidup. Sekretariat ini adalah bekas kantor Tjung Hwa Tjung Hwee dan dibangun sekitar tahun 1930.
Menurut Sigit, Tjung Hwa Tjung Hwee merupakan organisasi yang diprakarsai oleh Yap Tjwan Bing, seorang anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sekaligus seorang keturunan Tionghoa yang masuk anggota DPR Republik Indonesia Serikat.
Saat ini, Yayasan AGH membantu masyarakat Gombong dalam menyediakan tempat persemayaman jenazah sebelum dikubur atau dikremasi. Di sini juga menjual aneka kebutuhan upacara kematian dan peti mati kembang cengkeh dari kayu jati dengan harga hingga Rp 130 juta.
Selain peti mewah tersebut, ada pula peti lain bergaya Eropa dengan paduan motif naga atau juga gambar dewa-dewa. Harganya berkisar Rp 6 juta sampai Rp 15 juta.
Manajer Sekretariat Yayasan AGH Yuyung menyampaikan, peti mati kembang cengkeh dibuat dari satu pohon jati utuh. Peti ini terdiri dari tiga bagian, yaitu penutup, bagian tengah atau badan, lalu bagian dasar.
”Ini berat sekali. Kalau diangkat di jalan yang datar butuh minimal 20 orang untuk mengangkatnya. Kalau medannya sulit harus diangkat pakai alat berat,” kata Yuyung.
Salah satu peserta dengan akun Dadang Yulians berkomentar, ”Unik, ya, peti cengkehnya.”
Sigit menyampaikan, virtual trip yang digelar ini merupakan inovasi supaya masyarakat tetap bisa mengenal Gombong. Harapannya, setelah pandemi, lebih banyak wisatawan yang datang berkunjung ke Gombong. Trip konvensional, kata Sigit, dipatok dengan harga Rp 75.000 per orang termasuk makan siang.
”Biasanya ada peserta 10 sampai 20 orang dan berkunjung ke delapan sampai sepuluh situs di kawasan kota lama Gombong,” kata Sigit.
Harapannya, setelah pandemi, lebih banyak wisatawan yang datang berkunjung ke Gombong.
Seperti diketahui, Pemerintah Kabupaten Kebumen sedang menggiatkan promosi Taman Bumi Karangsambung-Karangbolong. Taman bumi ini meliputi kawasan seluas 543.599 kilometer persegi yang mencakup 12 kecamatan dengan 117 desa. Kawasan ini punya beragam morfologi, mulai dari perbukitan, lembah, dataran, dan pantai. Di taman bumi ini terdapat 59 situs utama yang terdiri atas 41 situs geologi (geosite), 8 situs biologi, dan 10 situs budaya.
Situs geologi tersebut antara lain situs batu lempung (Cangkring), situs marmer (Totogan), situs batu gamping terumbu (Langse), dan pemandian air panas (Krakal). Situs biologi antara lain hutan mangrove (Ayah), lebah madu (Klanceng), burung walet (Karangbolong), dan kebun pandan. Adapun situs budaya meliputi Kota Pusaka Gombong, cagar budaya Masjid Soko Tunggal (Sidayu), dan punden berundak Kretek di Rowokele (Kompas, 12/11/2018).
Pandemi Covid-19 menuntut setiap orang termasuk pegiat wisata kreatif mengemas paket wisatanya supaya potensi wisata termasuk taman bumi tersebut kian dikenal dan pelaku wisata termasuk pelaku UMKM bertahan di tengah kondisi normal yang baru.
Melalui teknologi, tidaklah mustahil moto yang digaungkan oleh Milangkori Cultural Trip dan TripTrus: ada jalan buat jalan-jalan. Pelesiran, menambah wawasan, tetap bisa dilakukan meski dari rumah.