Sedikitnya 1,7 Juta Orang Mudik dari Jabodetabek, Waspada Peningkatan Kasus di Daerah
›
Sedikitnya 1,7 Juta Orang...
Iklan
Sedikitnya 1,7 Juta Orang Mudik dari Jabodetabek, Waspada Peningkatan Kasus di Daerah
Akademisi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia menduga setidaknya 1,7 juta orang meninggalkan Jabodetabek dalam periode sejak awal April hingga awal Mei 2020. Dikhawatirkan penyebaran Covid-19 ke daerah.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sedikitnya 1,7 juta orang melakukan mudik dari Jabodetabek ke daerah-daerah di Indonesia hingga awal Mei 2020 ini. Setiap individu dapat menjadi pemicu munculnya kluster penyebaran baru di setiap daerah tujuan mudik mereka.
Akademisi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia menduga setidaknya 1,7 juta orang meninggalkan Jabodetabek dalam periode sejak awal April hingga awal Mei 2020.
Epidemiolog dan pakar biostatistika FKM UI, Pandu Riono, Selasa (26/5/2020), menjelaskan bahwa angka ini didapatkan dari hasil analisis mahadata (big data) yang didapatkan dari Facebook Geoinsight.
Setiap individu dari 1,7 juta warga yang mudik dapat menjadi pemicu munculnya kluster penyebaran baru.
Data tersebut menunjukkan bahwa pada periode Januari hingga akhir Maret 2020 ada 34,9 juta penduduk Jabodetabek. Angka ini merosot menjadi 33,7 juta pada April. Kemudian terus menurun hingga 33,2 juta pada Mei 2020.
Artinya, dari analisis tersebut ditemukan bahwa sejak awal April hingga Mei 2020 saja sudah terjadi eksodus 1,7 juta orang dari Jabodetabek.
Angka ini, menurut Pandu, akan melonjak begitu data pergerakan dari awal Mei hingga hari H Idul Fitri sudah tersedia dan dianalisis. Menurut dia, ada aliran mudik yang signifikan yang belum masuk perhitungan pada beberapa hari menjelang hari raya Idul Fitri 1441 Hijriah.
”Sangat mungkin dengan aliran mudik yang mendekati hari raya kemarin, akan lebih besar angka totalnya. Ini membuktikan bahwa mudik dengan jumlah besar itu terjadi,” kata Pandu ketika dihubungi Kompas dari Jakarta.
Jumlah pemudik 1,7 juta ini memang jauh lebih rendah dibandingkan tahun lalu. Pada 2019, Kementerian Perhubungan memprediksi 14,9 juta warga Jabodetabek akan melakukan mudik Lebaran 2019. Artinya,ada penurunan 88,6 persen pada 2020 dibandingkan tahun lalu.
Perusahaan pengelola jalan tol, Jasa Marga, juga mencatat ada volume aliran kendaraan yang cukup besar selama periode yang biasanya dikenal sebagai masa mudik ini.
Berdasarkan catatannya, Jasa Marga menyatakan bahwa lebih dari 465.000 kendaraan melintas meninggalkan Jakarta selama satu pekan jelang hari raya Idul Fitri. Arus keluar Jabodetabek pun masih terjadi pada hari pertama Lebaran. Jasa Marga mencatat ada 37.878 kendaraan meninggalkan Jakarta.
”Ini menunjukkan penurunan volume lalu lintas 81 persen dibandingkan periode yang sama pada 2019,” kata Corporate Communication Jasa Marga Dwimawan Heru.
Menyampaikan data dari Dinas Perhubungan Jawa Tengah, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia Djoko Setijowarno mengatakan, ada 897.713 orang tiba di provinsi tersebut dalam rangka mudik.
Berdasarkan data itu, Djoko menilai, upaya pemerintah untuk mencegah warga Jabodetabek tidak melakukan mudik mengalami kegagalan.
Selain keterbatasan petugas untuk melakukan pencegahan, kesadaran masyarakat yang sangat rendah terhadap bahaya Covid-19 menjadi faktor utama kegagalan ini.
Eskalasi kasus
Namun, penurunan yang siginifikan ini tetap saja menyimpan risiko munculnya infeksi Covid-19 baru yang dibawa oleh pemudik asimtomatik. Setiap individu dari 1,7 juta warga yang mudik dapat menjadi pemicu munculnya kluster penyebaran baru.
”Akan terjadi eskalasi kasus di daerah. Seperti yang kita tahu, tempat tujuan mudik itu, seperti di Jawa Timur dan Jawa Tengah, mulai ada peningkatan besar,” kata Pandu.
Risiko yang harus dipahami, kata Pandu, adalah terbatasnya kemampuan fasilitas pelayanan kesehatan di daerah. ”Peningkatan kasus dengan layanan kesehatan yang terbatas itu yang menjadi bahaya,” kata Pandu.
Untuk itu, pemerintah daerah beserta otoritas kesehatan masing-masing harus menyiapkan beberapa hal untuk menghadapi potensi gelombang infeksi baru setelah mudik Lebaran ini, ujarnya. Namun, yang paling utama adalah pengujian.
”Semua yang mudik itu harus testing,” kata Pandu. Tes harus dilakukan dengan metode PCR, ujarnya.
Pandu juga mengingatkan, meski tren penyebaran infeksi Covid-19 cenderung melandai dan menurun di Jakarta, progres ini bisa hilang apabila arus balik tidak ditangani serius.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan DKI Jakarta, setelah jumlah kasus positif harian terus meningkat hingga pertengahan April lalu, kini kurva epidemi cenderung melandai dan menurun.
”Arus balik juga membahayakan. Di Jakarta yang sedang turun ini bisa-bisa bakal naik lagi. Progres selama ini bisa jadi batal,” kata Pandu.