Relaksasi pembatasan sosial mesti diiringi perubahan drastis terkait protokol operasional di lingkungan kerja. Belum semua sektor atau perusahaan siap melaksanakan protokol baru.
JAKARTA, KOMPAS — Penerapan protokol kesehatan di lingkungan kerja mensyaratkan perubahan operasionalisasi perusahaan. Sejauh ini belum semua perusahaan dan sektor usaha siap menerapkannya, termasuk perusahaan pelat merah.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir dalam telekonferensi, Selasa (26/5/2020), mengatakan, proses transisi ke kehidupan normal baru di tengah pandemi Covid-19 tidak bisa dilakukan dengan cepat dan mudah. Banyak penyesuaian yang harus ditempuh untuk memenuhi protokol kesehatan terkait pencegahan penularan Covid-19.
Menurut dia, transisi menuju kehidupan normal baru akan lebih berat dan berlangsung cukup lama sampai vaksin Covid-19 ditemukan. Setidaknya, dalam empat hingga lima bulan ke depan, masyarakat, perkantoran, dan industri harus terbiasa dengan kondisi normal baru.
Kementerian BUMN mengimbau perusahaan pelat merah memanfaatkan teknologi. Terkait persiapan perusahaan pelat merah memasuki normal baru, kata Erick, dari 140 perusahaan BUMN yang ada, baru 86 persen perusahaan yang siap menerapkan protokol normal baru yang lebih ketat di lingkungan kerjanya. Setiap perusahaan akan memiliki protokol berbeda-beda karena memiliki model bisnis yang berbeda.
Implementasi kehidupan normal baru salah satunya diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-10 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi.
Pelaku usaha/industri diminta menyiapkan protokol kesehatan baru yang lebih ketat untuk tetap beroperasi di tengah pandemi. Beberapa di antaranya perkantoran wajib menyediakan ruang khusus, bahkan fasilitas karantina mandiri, untuk mengobservasi pekerja dengan gejala Covid-19.
Perkantoran atau pabrik juga harus menyemprotkan disinfektan setiap 4 jam. Khusus bidang usaha yang berkaitan dengan layanan publik, perlu protokol lebih ketat berupa pemasangan pembatas kaca bagi pekerja yang melayani pelanggan.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani menyatakan, pihaknya tengah mempersiapkan gugus tugas, prosedur standar operasi, dan protokol kesehatan di setiap sektor. Sebab, pola kerja setiap sektor berbeda.
Sekretaris Jenderal Masyarakat Transportasi Indonesia Harya S Dillon mengatakan, pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tidak bisa dilakukan dengan gegabah, khususnya di bidang transportasi publik. Perlu strategi relaksasi bertahap dari hulu ke hilir, disertai tes yang lebih masif di setiap sektor untuk memonitor risiko infeksi virus.
Transportasi publik, katanya, perlu diprioritaskan terkait wacana pelonggaran PSBB dan kebijakan pemulihan ekonomi nasional. Terobosan drastis dan penerapan protokol kesehatan yang lebih ketat wajib dilakukan untuk menjalankan operasionalisasi usaha di tengah normal baru yang penuh risiko.
Rencana cadangan
Normal baru di sektor energi memerlukan rencana cadangan terkait persoalan kesehatan pekerja. Kesehatan pekerja yang terganggu dapat menimbulkan masalah dalam hal pasokan energi. Dua perusahaan BUMN di sektor energi siap menerapkan normal baru itu.
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa, perusahaan BUMN mesti menyiapkan rencana cadangan. Di sektor ketenagalistrikan, misalnya, PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN (Persero) atau perusahaan pembangkit listrik harus mengeluarkan biaya ekstra untuk kesehatan pekerja dan fasilitas kerja.
”Seandainya dalam satu regu pekerja ada yang positif Covid-19, artinya ada yang berpotensi dikarantina atau dirawat, setidaknya selama 14 hari. Nah, perusahaan harus menyiapkan regu operator cadangan agar pasokan listrik tak terganggu,” kata Fabby.
Dalam keterangan resmi, Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini mengatakan, sejak Covid-19 merebak di Indonesia, perusahaan telah menerapkan sejumlah kebijakan yang mengatur aktivitas pekerja, baik saat di kantor, rumah, maupun pekerja di lapangan. Saat kebijakan bekerja dari rumah diberlakukan, perusahaan memantau kesehatan karyawan.
”Secara internal, PLN tengah melengkapi protokol bekerja sesuai protokol yang dikeluarkan pemerintah untuk pegawai yang bekerja di kantor ataupun dari rumah,” ujar Zulkifli.
Hal serupa ditempuh PT Pertamina (Persero) untuk mengantisipasi skenario normal baru. Protokol kesehatan yang diterapkan antara lain mewajibkan penggunaan masker, sterilisasi lingkungan kerja, serta pemeriksaan dan pemantauan kesehatan pekerja. Rencana pertemuan dioptimalkan secara virtual dengan memanfaatkan teknologi.
Pandemi Covid-19 yang belum jelas kapan berakhirnya di Indonesia ini telah berdampak secara bisnis bagi PLN dan Pertamina. Bagi Pertamina, selain memukul bisnis hulu migas dengan rendahnya harga minyak mentah, penjualan bahan bakar minyak (BBM) merosot drastis sejak diberlakukan kebijakan PSBB. Di tingkat nasional, penjualan BBM Pertamina turun sampai 29 persen.
Bagi PLN, pandemi membuat penghitungan konsumsi listrik pelanggan rumah tangga dilakukan dengan menghitung rata-rata konsumsi tiga bulan terakhir. Hal ini dilakukan lantaran PLN tidak menerjunkan petugas pencatat meteran listrik pascabayar ke rumah pelanggan.