Dewan Pengawas menepis tudingan telah menghambat kerja penindakan KPK. Dewas tak mencampuri penindakan KPK. Dewas pun bekerja dengan cepat, selalu memberikan izin sadap, geledah, dan sita dalam waktu kurang dari 4 jam.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Pengawas menegaskan bahwa mereka tidak pernah membuat kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi lambat. Sebab, wewenang penindakan dimiliki pimpinan KPK, dan Dewan Pengawas tidak bisa mencampuri.
Hal itu diungkapkan anggota Dewan Pengawas KPK, Syamsuddin Haris. ”Raibnya sejumlah buron tersangka tindak pidana korupsi dan operasi penangkapan pejabat Universitas Negeri Jakarta tidak terkait kinerja Dewas. Dewas tidak bisa mencampuri wewenang penindakan yang dimiliki pimpinan KPK,” kata Haris melalui pesan singkat di Jakarta, Rabu (27/5/2020).
Raibnya sejumlah buron tersangka tindak pidana korupsi dan operasi penangkapan pejabat Universitas Negeri Jakarta tidak terkait kinerja Dewas. Dewas tidak bisa mencampuri wewenang penindakan yang dimiliki pimpinan KPK. (Syamsuddin Haris)
Haris menanggapi pandangan Manajer Penelitian dan Kampanye Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko. Sebelumnya, Wawan mengungkap hasil penelitian TII yang menyatakan keberadaan Dewas hanya membuat kinerja KPK menjadi lambat dan sangat birokratis. Selain itu, struktur Dewas juga dinilai hanya menambah beban dan anggaran KPK.
Syamsuddin Harris mengungkapkan, Manajer TII tersebut tampaknya tidak mengerti tugas dan tanggung jawab Dewas sesuai Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. UU KPK yang baru tersebut mengamanatkan empat tugas Dewas.
Tugas Dewas adalah mengawasi tugas dan kewenangan KPK; memberi atau tidak memberi izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan; menyusun dan menetapkan kode etik serta menerima pengaduan dan menegakkan kode etik; serta mengevaluasi kinerja pimpinan dan pegawai KPK.
Haris mengatakan, seperti yang sudah dijelaskan oleh Ketua Dewas Tumpak H Panggabean dua hari lalu, selama kuartal pertama 2020, Dewas telah memberi 183 izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.
Dewas juga telah menerbitkan tiga peraturan Dewas terkait kode etik dan melakukan rapat koordinasi pengawasan serta evaluasi kinerja pimpinan KPK triwulan pertama 2020. Selain itu, telah diselesaikan 32 prosedur standar operasi (SOP) terkait tugas Dewas sesuai UU No 19/2019.
”Melalui rapat koordinasi pengawasan dan rapat evaluasi kinerja pimpinan KPK, Dewas tentu saja selalu mengingatkan agar kualitas kinerja KPK, termasuk penindakan, dan recovery asset semakin ditingkatkan,” kata Haris.
Menurut Haris, Dewas memiliki mekanisme atau prosedur pemantauan untuk mengawal dan mengawasi kinerja KPK. Namun, ia enggan menjelaskan prosedur tersebut karena hanya untuk internal dan bukan untuk konsumsi publik.
Ia menegaskan, tidak ada satu pun permintaan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan yang dihambat oleh Dewas. Meskipun undang-undang memberi waktu 24 jam untuk memberi atau tidak memberi izin, dalam realitasnya Dewas pada umumnya mengeluarkan izin kurang dari empat jam sejak permintaan diajukan oleh penyidik dan/atau pimpinan.
Tidak ada satu pun permintaan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan yang dihambat oleh Dewas.
Selama waktu 3-4 jam mempelajari permintaan izin-izin tersebut, Dewas ingin memastikan setiap kegiatan penindakan oleh KPK dilakukan secara profesional, akuntabel, berintegritas, dan sesuai hukum.
Manajer Penelitian dan Kampanye TII Wawan Suyatmiko menegaskan, fungsi Dewas yang masuk dalam ranah penegakan hukum tidak lazim. Sebab, Dewas bukan penegak hukum dan Dewas adalah institusi pengawasan kinerja, bukan bagian dari birokrasi dan struktur KPK.
”Pengalaman dan implementasi lembaga pengawas di institusi lain seperti Kompolnas (Komisi Kepolisian Nasional), Komjak (Komisi Kejaksaan), dan KY (Komisi Yudisial) adalah di ranah pengawasan kinerja. Namun, fatalnya, UU KPK hasil revisi menempatkan Dewas KPK dalam struktur dan birokrasi baru dalam penegakan hukum,” kata Wawan.
Ia menambahkan, meskipun Dewas mengklaim telah menerbitkan 183 izin sadap, geledah, dan sita, itu bukan sebuah ukuran keberhasilan KPK dalam penindakan kasus korupsi. Hal ini terutama terkait kasus korupsi besar dan belum tertangkapnya buron KPK.
Wawan menegaskan, dalam pengawasan KPK, seharusnya perlu belajar dari The Independent Commission Against Corruption (ICAC) Hong Kong yang membentuk Supervisory Board. Mereka hanya fokus pada masalah kode etik dan kinerja pimpinan serta pegawai lembaga antirasuah tersebut. Karena itu, Dewas seharusnya tidak masuk dalam ranah penegakan hukum.
Dalam pengawasan KPK, seharusnya perlu belajar dari The Independent Commission Against Corruption (ICAC) Hong Kong yang membentuk Supervisory Board. Mereka hanya fokus pada masalah kode etik dan kinerja pimpinan serta pegawai lembaga antirasuah tersebut.
Wawan pun menunggu hasil pengawasan Dewas yang disampaikan dalam rapat koordinasi pengawasan triwulan I dengan pimpinan KPK pada 27 April 2020. Dewas menyebutkan ada 18 permasalahan di tubuh KPK yang sebagian besar seputar penindakan yang harus diperbaiki. Namun, hingga sekarang hasil pengawasan tersebut tidak pernah dipublikasikan di kanal KPK.