Ketahanan Indonesia Terus Membaik
Tren Indeks Negara Rentan 2010-2020 menunjukkan Indonesia termasuk 10 besar negara dengan perbaikan tersignifikan. Pandemi Covid-19 memberi tantangan besar.
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia masuk jajaran 10 negara yang ketahanannya dalam menghadapi tekanan sosial, ekonomi, dan politik paling membaik satu dekade terakhir. Di tengah pandemi Covid-19, diperlukan kebijakan efektif untuk mengatasi pandemi berikut dampaknya agar perbaikan ketahanan Indonesia bisa terus berlanjut. Mengelola ketidakpuasan kelompok menjadi salah satu isu yang perlu mendapat perhatian serius.
Fragile State Index (Indeks Negara Rentan) 2020, yang diluncurkan The Fund for Peace pertengahan Mei 2020 di Amerika Serikat, menempatkan Indonesia di peringkat ke-96 dari 178 negara yang dikaji. Semakin besar peringkat satu negara, makin baik capaian negara itu. Indonesia mendapat nilai 67,8 dengan skala penilaian 0-120. Semakin rendah nilai, semakin kuat negara itu menghadapi tekanan yang bisa membuat sebuah negara menjadi negara gagal.
Indeks ini menilai ketahanan negara dari empat indikator besar, yakni sosial, ekonomi, politik, dan kohesi. Setiap bidang itu memiliki tiga indikator. Bidang ekonomi terdiri dari indikator penurunan ekonomi, pembangunan ekonomi tak setara, dan migrasi tenaga terampil ke luar negeri. Sementara itu, bidang politik terdiri dari indikator legitimasi negara, pelayanan publik, dan penegakan hukum serta hak asasi manusia.
Indikator-indikator di bidang kohesi ialah aparatur keamanan, elite yang terfragmentasi, dan ketidakpuasan kelompok. Adapun indikator sosial dan lintas sektoral ialah tekanan demografis, pengungsi internasional dan dalam negeri, serta intervensi eksternal.
Dengan capaian nilai total dari agregasi 12 indikator sebesar 67,8, Indonesia masih termasuk dalam kategori negara kuning-oranye, yakni ”peringatan” (60-89,9). Negara dengan skor 90-120 masuk kategori ”bahaya” atau merah. Sementara nilai 30-59,9 masuk kategori ”stabil” dengan warna hijau, sedangkan nilai 0-29,9 masuk kategori berkelanjutan atau mendapat warna biru.
Baca juga : Makin Menjauhi Negara Gagal, Kabar Baik Sekaligus Peringatan bagi Indonesia
Namun, Indeks Negara Rentan 2020 belum memasukkan dampak Covid-19. JJ Messner de Latour, Direktur Eksekutif The Fund for Peace, memperkirakan, Indeks Negara Rentan 2021 akan ditandai dengan dominasi penurunan sosial, ekonomi, dan politik akibat Covid-19 (Fragilestateindex.org, 10/5/2020).
Sosiolog Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo, saat dihubungi di Jakarta, Selasa (26/5/2020), mengatakan, capaian Indonesia yang membaik dalam Indeks Negara Rentan 2020 patut diapresiasi dan cukup memberi harapan. Apalagi, capaian Indonesia lebih baik dibandingkan negara-negara lain di Asia, seperti Myanmar (22), Timor Leste (47), Filipina (54), dan Thailand (82). Pun, dibandingkan dengan negara yang memiliki populasi penduduk hampir sama, seperti India (68) dan Brasil (75), Indonesia masih relatif baik.
”Sebagai negara besar, Indonesia bukan negara yang buruk-buruk amat. Masih ada harapan bagi bangsa ini untuk berbenah dan maju menjadi lebih demokratis dan tidak sentralistik,” ucap Imam.
Namun, menurut Imam, pandemi Covid-19 ini dipastikan akan mengubah semua indikator yang dikaji. Sebab, ketangkasan dan ketepatan suatu negara dalam mengambil kebijakan akan menjadi parameter dalam setiap indikator yang ada.
”Semua tidak akan ada makna signifikan kalau dalam gejolak ini tidak bisa diatasi dengan baik. Dalam penanganan badai, kan, harus ada emergency plan. Lha kalau penanganan darurat keliru dalam pengambilan kebijakan dan pelaksanaan, ya akan ambruk,” tutur Imam.
Sementara itu, Ketua Departemen Politik dan Hubungan International Centre for Strategic and International Studies Jakarta Vidhyandika D Perkasa mengingatkan, Covid-19 melemahkan ketahanan masyarakat. Ini bukan saja terjadi secara ekonomi dengan adanya pemutusan hubungan kerja, tetapi juga karena terjadi distorsi atas norma sosial dengan meningkatnya rasa curiga antarmanusia.
Dari aspek politik, Covid-19 menimbulkan peningkatan rasa ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah. Ini, menurut dia, bersumber dari karut- marutnya formulasi dan implementasi kebijakan yang terproliferasi di era Covid-19. Hal ini bisa menimbulkan pembangkangan sipil.
Oleh karena itu, tantangan pemerintah di tengah wabah ini, menurut Vidhyandika, adalah menegakkan ’keteraturan’ politik, sosial, dan ekonomi. Setiap kebijakan harus ada evaluasi dan hukum perlu ditegakkan. ”Penegakan hukum juga kunci untuk memperkuat order tersebut,” kata Vidhyandika.
Ketidakpuasan kelompok
Apabila dilihat dari tren per indikator, Indeks Negara Rentan juga memberikan peringatan bagi Indonesia. Dari 12 indikator, sembilan indikator membaik, dua indikator memburuk, dan satu indikator stagnan.
Indikator yang stagnan ialah fragmentasi elite yang berada di angka 7,1. Sementara dua indikator yang memburuk ialah aparatur keamanan dari tahun lalu 5,9 menjadi 6,1 di tahun 2020. Sementara itu, indikator ketidakpuasan kelompok skornya memburuk dari 7,3 menjadi 7,4. Dengan skala nilai 0-10, semakin besar skor, makin buruk capaian sebuah negara di indikator itu.
Indikator aparatur keamanan secara longitudinal berfluktuasi di kisaran 6,2-5,9 selama lima tahun terakhir. Indikator ini memotret antara lain monopoli penggunaan kekuatan, relasi keamanan dan warga negara, penggunaan kekuatan secara terukur, dan kepemilikan senjata.
Sementara itu, ketidakpuasan kelompok memotret perpecahan di antara kelompok di masyarakat serta pemenuhan masyarakat dalam akses layanan publik atau sumber daya.
Anggota Ombudsman RI, Adrianus Eliasta Meliala, menilai, indikator ketidakpuasan kelompok tidak sepatutnya terlalu besar di negara demokrasi seperti Indonesia. ”Social grievances biasa menjadi persoalan dalam negara otoriter yang memang tidak terlalu besar membuka katup-katup demokrasi,” ujarnya.
Meskipun demikian, Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia itu menjelaskan, setidaknya ada dua hal yang menyebabkan indikator ketidakpuasan kelompok itu menjadi tinggi. Pertama, ekspektasi yang muncul dari warga terus meningkat dan negara belum siap menghadapi itu. Kedua, adalah lambannya penyelesaian dari masalah ketidakpuasan itu sendiri.
Berkaca pada isi pengaduan yang masuk ke Ombudsman, kata Adrianus, yang dilaporkan warga tidak banyak berubah. Instansi yang dilaporkan bermasalah pun relatif sama.
”Artinya, dominan memang masalah yang ada tidak terselesaikan dengan baik. Yang hari ini dikeluhkan atau dilaporkan ternyata sampai besok dan tahun depan tidak berubah. Ada recurring issue atau isu yang berulang,” ucap Adrianus.
Oleh karena itu, menurut Adrianus, pengawasan terhadap semua kewenangan harus diperkuat agar tidak memunculkan penyelewengan dan ketidakpuasan di publik. Setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah harus diawasi, baik secara internal maupun eksternal.
”Pengawasan kita itu yang belum optimal. Kalau pengawasan tidak kuat, terjadi proses impunitas,” kata Adrianus.
Sementara itu, Imam juga menyampaikan bahwa ketidakpuasan sosial muncul akibat inkonsistensi pemerintah dalam penanganan suatu masalah. Ini terjadi seperti relaksasi transportasi umum serta pembukaan kembali mal di tengah pandemi. Seharusnya, saat ini, pemerintah fokus mengantisipasi daerah yang terkena imbas mudik serta penanganan arus balik.
”Kebijakan itu harus lebih kuat berbasis pada scientific evidence. Jangan sampai malah memunculkan masalah baru. Penting pula, proses pembuatan kebijakannya harus lebih melibatkan publik,” ucap Imam.
Modal sosial
Deputi IV Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden Juri Ardiantoro berpendapat, Indonesia sejatinya memiliki modal sosial yang kuat untuk bertahan sebagai bangsa. Apalagi, Indonesia merupakan negara yang besar dengan beragam suku, agama, ras, dan adat istiadat.
”Seiring dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan politik, muncul dinamika dalam masyarakat yang dikaitkan dengan persepsi ataupun sikap terhadap pengelolaan sebagai bangsa. Ada yang puas, ada yang tidak puas,” kata Juri.
Namun, lanjut Juri, seringkali ketidakpuasan ini tidak didasarkan pada fakta-fakta obyektif, tetapi lebih kepada persepsi dan politik kontestasi. Politik kontestasi telah menggunakan isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) untuk membangun sentimen negatif kepada lawan politik dan para pendukungnya.
Oleh karena itu, menurut dia, ketidakpuasan karena menguatnya sentimen SARA tidak bisa semata-mata diserahkan kepada pemerintah. Namun, penyelesaiannya juga harus dibarengi dengan kesadaran masyarakat akan politisasi SARA.
”Namun, pemerintah tentu akan bekerja keras untuk meminimalkan sentimen SARA yang merusak masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara,” ucap Juri.
Situasi pandemi, tutur Juri, menjadi momentum rekonsiliasi dan penguatan modal sosial kembali. Di saat pandemi, semua tetap bisa berkegiatan sosial demi sesama anak bangsa.
Di sisi lain, kata Juri, pandemi ini juga menjadi momentum dalam membangun sistem data yang baik dan terintegrasi sehingga tidak bermasalah untuk distribusi bantuan sosial. ”Momen pandemi juga menjadi momentum perbaikan sistem layanan kesehatan kita,” katanya.