105 perusahaan di Asia Pasifik yang mengalami tekanan tinggi hampir 90 persen mengalami kinerja negatif dan kualitas kreditnya bisa negatif atau turun. Dari jumlah itu pula, hampir 30 perusahaan likuiditasnya mengetat.
Oleh
karina isna irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tekanan terhadap perusahaan nonfinansial di Asia Pasifik, termasuk Indonesia, terus meningkat akibat gangguan Covid-19. Beberapa sektor usaha mengalami pemburukan kualitas kredit dan pengetatan likuiditas yang berdampak negatif bagi perekonomian domestik.
Laporan terbaru Moody’s Investors Service pada Selasa (26/5/2020) menyebutkan, sebanyak 105 perusahaan di Asia Pasifik yang mengalami tekanan tinggi hampir 90 persen mengalami kinerja negatif dan kualitas kreditnya bisa negatif atau turun. Dari jumlah itu pula, hampir 30 perusahaan likuiditasnya mengetat. Ini menunjukkan, tekanan akibat gangguan Covid-19 itu terefleksi dalam pemburukan kualitas kredit perusahaan dan likuiditas.
Beberapa sektor yang mengalami tekanan paling dalam adalah penerbangan, produsen otomotif, pemasok suku cadang otomotif, ritel, perhotelan, minyak dan gas, serta pembuat dan produsen baja. Terkait Indonesia, Moodys menyoroti pemburukan kinerja industri otomotif, logam dan pertambangan, serta properti.
Laura Acres, Managing Director and Regional Head of Asia Pacific Corporate Finance Group Moody’s Investors Service, dalam keterangan resminya, mengatakan, sektor usaha yang sensitif terhadap permintaan konsumen dan pembatasan perjalanan akibat Covid-19 mengalami risiko pemburukan paling dalam.
Moody’s mengklasifikasikan perusahaan terdampak Covid-19 menjadi tiga kelompok, yaitu 105 perusahaan mengalami tekanan tinggi (high exposure), 183 perusahaan mengalami tekanan moderat (moderate exposure), dan 188 perusahaan mengalami tekanan rendah (low exposure).
Sektor usaha yang masuk dalam tekanan moderat karena masih bisa beroperasi selama pandemi Covid-19 kendati terbatas, antara lain bahan kimia, protein, agrikultur, dan pemasaran. Adapun sektor usaha dengan tekanan rendah antara lain teknologi informasi, serta telekomunikasi dan media.
”Tingkatan tekanan mengindikasikan potensi kualitas kredit atau peringkat masing-masing perusahaan yang akan dirugikan selama pandemi,” ujar Acres.
Moody’s menyoroti penutupan pasar otomotif di Indonesia dan India pada April 2020 akibat kebijakan pembatasan wilayah. Meskipun pemerintah telah menerbitkan stimulus untuk mengurangi dampak pembatasan wilayah terhadap kegiatan ekonomi, penjualan otomotif akan turun tajam hingga 30 persen pada 2020.
Selain itu, Moody’s juga menurunkan peringkat kredit PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dari Baa2 dengan proyeksi stabil menjadi Baa2 proyeksi negatif. Hal itu mencerminkan rendahnya ekspansi perusahaan di tengah penurunan harga komoditas. Inalum meningkatkan penerbitan surat utang senilai 2,5 juta dollar AS untuk pembiayaan akuisisi perusahaan.
Moody’s menurunkan peringkat kredit PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dari Baa2 dengan proyeksi stabil menjadi Baa2 proyeksi negatif. Hal itu mencerminkan rendahnya ekspansi perusahaan di tengah penurunan harga komoditas.
Moody’s juga memperingatkan penjualan properti di Indonesia akan menurun hingga 15 persen pada 2020 karena tidak ada peluncurkan proyek baru sepanjang April-Juni 2020. Beberapa perusahaan yang mengalami perlemahan likuiditas adalah PT Agung Podomoro Tbk, PT Modernland Realty Tbk, dan Alam Sutera Realty Tbk.
Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, menuturkan, mayoritas motor penggerak perekonomian Indonesia melambat pada triwulan I-2020, antara lain industri pengolahan, perdagangan, konstruksi, dan transportasi. Kondisi ini memberikan sinyal Covid-19 sudah berdampak buruk bagi perekonomian domestik.
Salah satu sektor yang terdampak paling dalam adalah pertambangan. Harga aluminium pada April 2020 menurun tajam sebesar negatif 20,89 persen secara tahunan. Sebelum Covid-19 merebak, tren harga logam dasar cenderung mengalami penurunan sejak 2018. Harga komoditas ini diperkirakan semakin menurun di masa pandemi.
”Profitabilitas dari perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan diperkirakan akan memburuk sehingga selanjutnya akan berdampak negatif pada arus kas dari perusahaan tersebut kemudian mendorong penurunan kualitas kredit,” kata Josua, yang dihubungi Kompas di Jakarta, Selasa.
Mayoritas motor penggerak perekonomian Indonesia melambat pada triwulan I-2020, antara lain industri pengolahan, perdagangan, konstruksi, dan transportasi. Kondisi ini memberikan sinyal Covid-19 sudah berdampak buruk bagi perekonomian domestik.
Risiko kredit macet (nonperforming loan/NPL) sektor pertambangan menunjukkan tren peningkatan dari 3,1 persen pada Maret 2019 menjadi 3,66 persen pada Maret 2020. Pemburukan kualitas kredit juga terjadi pada sektor properti dan otomotif yang tecermin dalam penurunan penjualan.
Harga properti residensial dan komersial pada triwulan I-2020 menurun masing-masing 1,68 persen dan 0,31 persen. Adapun penjualan properti residensial terkontraksi cukup dalam sebesar minus 43,19 persen secara tahunan. Adapun sektor otomotif mengalami penurunan penjualan mobil yang signifikan, yaitu minus 27,51 persen.
”Secara keseluruhan kinerja mayoritas sektor ekonomi domestik diperkirakan melanjutkan tren penurunan pada triwulan II-2020 mengingat Covid-19 mengganggu aktivitas usaha baik dari sisi produksi, investasi, maupun perdagangan,” kata Josua.
Peningkatan risiko kredit, lanjut Josua, juga disebabkan penurunan daya beli konsumen sejalan dengan penurunan pendapatan. Akibatnya, arus kas beberapa perusahaan akan terganggu paling tidak selama triwulan II-2020. Kondisi ini yang mendasari pemerintah melonggarkan pembatasan sosial berskala besar meskipun belum tentu ada dampak langsung bagi daya beli.
Secara terpisah, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan mengatakan, dukungan pemulihan dunia usaha untuk korporasi diberikan dalam bentuk insentif perpajakan dan penempatan dana pemerintah di perbankan untuk membantu restrukturisasi debitur korporasi. Total insentif perpajakan untuk dunia usaha mencapai Rp 123,01 triliun.