Para pembuat konten video di media sosial masih sangat bebas. Bahkan kemudian ada yang kebablasan untuk membuat konten video sekadar asal menghibur.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·3 menit baca
Ada saja yang memburu ide untuk membuat konten di tengah tren video yang meledak. Satu hal yang sering dilupakan adalah cara-caranya sering kebablasan.
Mengapa ini terjadi? Industri digital tidak hanya milik perusahaan-perusahaan besar. Perseorangan juga bisa mendapatkan uang dari platform yang ada. Uang besar, hingga ratusan juta rupiah per bulan, bisa didapat dengan mengunggah berbagai konten video di media sosial. Uang akan mengalir ke mereka yang mampu menarik pengikut dan penonton dalam jumlah tertentu. Motif ini membuat orang beramai-ramai membuat konten dengan berbagai cara.
Awalnya, ada kecenderungan adiksi atau kecanduan konten sehingga orang beramai-ramai meluangkan waktu untuk menonton sebuah konten. Jauh sebelum muncul gawai dan industri digital, fenomena kecanduan ini sudah ada dengan kemunculan televisi.
Dunia media sosial menjadi jagat yang tak terbatas dan setiap orang bisa membuat konten sesuka hati.
Orang bisa duduk berlama-lama di depan televisi untuk sebuah tontonan. Meski demikian, pada era televisi, daya tarik itu berasal dari kreativitas dengan aturan-aturan yang ketat karena televisi menggunakan saluran publik.
Di sisi lain, etika di dunia pemasaran membatasi konten berlebihan. Konsumen yang tidak sepakat juga bisa melaporkan keberatan ke lembaga-lembaga perlindungan konsumen.
Kini? Orang seperti bebas bertindak dan membuat apa pun untuk menarik penonton dan pengikut sebuah akun media sosial. Dunia media sosial menjadi jagat yang tak terbatas dan setiap orang bisa membuat konten sesuka hati. Tidak ada aturan atau etika dalam pembuatan konten di media sosial yang bisa memberi sanksi sehingga orang mudah kebablasan. Kalau toh ada, aturan itu kurang memadai dan biasanya hanya dikenakan ketika publik sudah menyatakan kemarahan atau ketidaksetujuan.
Uang bisa menjadi satu-satunya motif untuk membuat konten. Fenomena itu muncul ketika konten video makin banyak diminati orang melalui platform media sosial.
Pada 2017, Facebook mencatat waktu orang menonton konten video meningkat empat kali lipat dalam sehari dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada masa yang sama, penonton Youtube melonjak 99 persen.
Orang juga makin senang melihat konten video di Instagram. Peningkatannya 80 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Di Twitter, konten video dicuit ulang hingga enam kali lebih banyak daripada foto.
Megatren
CEO Facebook Mark Zuckerberg, pada 2017, pernah mengatakan, video bakal menjadi megatren. Pernyataan itu tak salah. Pada tahun-tahun selanjutnya penonton konten video makin besar. Tahun ini saja, dari sebuah survei, sejumlah profesional pemasaran mengatakan, 88 persen responden akan membuat konten video di Youtube, 76 persen di Facebook, dan 65 persen di platform Instagram. Berbagai cara digunakan untuk menarik penonton dan pengikut. Banyak kursus diselenggarakan karena daya tarik video makin kuat.
Sejumlah merek bergerak ke pembuatan konten video untuk menarik konsumennya. Orang yang bangga dengan status youtuber makin banyak. Bahkan, youtuber telah menjadi cita-cita.
Batasan menghibur bagi beberapa orang kadang kala kabur sehingga kadang pembuat konten melukai fisik, melukai perasaan, mengumbar privasi, mencari sensasi, dan mengolok-olok keterbatasan fisik seseorang. Etika dan batasan pembuatan konten itu tidak banyak dimunculkan di berbagai laman. Kalau toh ada panduan, sifatnya sangat umum.
Sebuah etika dalam pembuatan konten, baik blog, mikroblog, dan video dimunculkan sebuah laman di internet yang mengacu pada etika yang diterbitkan Norwegian Press Association. Isinya antara lain, membuat konten adalah bagian dari kebebasan berpendapat, tetapi kebebasan itu juga menghargai perbedaan pendapat dan pandangan. Pembuat konten juga diharuskan menghargai privasi, keyakinan, suku, dan kebangsaan orang.
Mereka diminta mempertimbangkan dampak pembuatan konten. Kasus-kasus di Indonesia, sejauh ini, tidak menggerakkan komunitas atau organisasi membuat etika untuk membuat konten, khususnya video di media sosial. Para pembuat konten video di media sosial masih sangat bebas. Jika tak mendapat perhatian, kita bakal melihat abdi-abdi konten yang tidak kreatif karena hanya cari sensasi dan uang. Masalah menunggu di depan mata.