Aturan selama pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta tidak sepenuhnya dijalankan, antara lain di sektor angkutan umum. Pelanggaran atas protokol kesehatan masih terjadi.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sopir angkutan umum masih mengeluhkan sepinya penumpang. Di sisi lain, penindakan atas pelanggaran protokol kesehatan di angkutan umum menjelang berakhirnya pembatasan sosial berskala besar belum merata.
Pada Rabu (27/5/2020) siang, Kompas naik mikrolet M 11 dari Rawa Belong, Jakarta Barat, menuju Tanah Abang, Jakarta Pusat. Mobil berkapasitas 14 orang itu hanya diisi lima orang, termasuk sopir.
Seorang penumpang duduk di samping sopir tanpa mengenakan masker. Selain membatasi penumpang setengah dari kapasitas, aturan PSBB juga melarang penumpang duduk di depan sopir. Semua penumpang pun harus mengenakan masker.
Dalam pantauan selama perjalanan dari Rawa Belong ke Tanah Abang, jumlah penumpang di mikrolet lain tak lebih dari lima orang. Sejumlah mikrolet malah kosong, tak berpenumpang sama sekali.
Sopir tembak M 08, Amir (37), mengaku, aparat tidak pernah memeriksa mobilnya. Beberapa kali penumpangnya duduk di depan. ”Tetapi, lewat-lewat saja,” katanya.
Di sisi lain, jumlah penumpang masih sangat sepi. Sebelum pandemi Covid-19, ia bisa mendapat Rp 300.000 dari dua rit. Separuh dari pendapatan itu ia berikan ke sopir utama untuk setoran. ”Sekarang untuk dua rit Rp 100.000 saja tidak sampai,” jelasnya.
Tanpa mengenakan masker, Ali (19), sopir M 08, sedang menunggu penumpang di depan Stasiun Tanah Abang. Sudah 15 menit ia menunggu, baru seorang penumpang di mobilnya.
”Sepi banget, Bang. Pas dua hari Lebaran kemarin saja ramainya,” kata sopir yang mengaku belum punya surat izin mengemudi ini.
Tanpa mengenakan masker, Ali (19), sopir M 08, sedang menunggu penumpang di depan Stasiun Tanah Abang. Sudah 15 menit ia menunggu, baru seorang penumpang di mobilnya.
Bajaj
Sopir bajaj di Tanah Abang, Anto Sugiantono (35), rata-rata mendapat Rp 100.000 per hari. Untuk setoran dipotong Rp 40.000. Dia juga harus membeli gas sebesar Rp 20.000.
Jadi, dia hanya mendapat Rp 40.000 pendapatan bersih dalam sehari. Dari jumlah itu, ia masih harus menyisihkan uang makan dan rokok. Tersisalah Rp 20.000 yang akan ia bawa pulang.
Di rumah, ia menghidupi istri dan tiga anak. Sewa kontrakan pun sudah menunggak dua bulan. ”Sejauh ini, pemilik kontrakan masih mengerti dengan situasi sulit ini,” ucapnya.
Dia merasa cukup terbantu dengan kebutuhan pokok yang dibagikan pemerintah. Masalahnya ada pada uang tunai. Tiga anaknya selalu minta jajan setelah dia pulang kerja.
Ketika penumpang sepi, tantangan untuk mengehemat uang justru lebih berat. ”Kalau lagi menunggu begini, kopi, rokok, kopi, rokok, uang habis untuk menunggu penumpang saja,” katanya lagi.
Belum terima subsidi
Selain itu, subsidi untuk sopir angkutan umum belum ia terima. Pemerintah memberikan subsidi selama tiga bulan sebesar Rp 600.000 per bulan untuk sopir angkutan umum. Dananya diambil dari pos anggaran Polri yang tidak terserap selama pandemi Covid-19.
”Sejak sebelum puasa, saya sudah didata. Nomor gawai dicatat, NIK juga, tetapi belum dihubungi sampai sekarang,” ucapnya.
Dalam situasi yang serba pas-pasan, Anto berusaha patuh pada anjuran pemerintah. Kemarin, ia terkena sanksi karena melanggar PSBB ketika melintas di Senen, Jakarta Pusat. Dia disuruh menyapu oleh aparat karena lupa mengenakan masker.
”Saya ikhlas memang karena salah. Waktu itu saya selesai merokok, lalu lupa memasang masker,” ujarnya.
Sejak sebelum puasa, saya sudah didata. Nomor gawai dicatat, NIK juga, tetapi belum dihubungi sampai sekarang.
PSBB di Jakarta akan berakhir pada awal Juni nanti. Setelah itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan memutuskan melanjutkan PSBB atau tidak. Masyarakat pun disiapkan untuk mengahadapi normal baru atau beraktivitas di luar rumah dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Akan tetapi, seperti kenyataan di lapangan, aturan selama PSBB di angkutan umum pun belum tegas dilaksanakan.