PSBB Dilonggarkan karena Pilihan Pemerintah Terbatas
›
PSBB Dilonggarkan karena...
Iklan
PSBB Dilonggarkan karena Pilihan Pemerintah Terbatas
Pemerintah dihadapkan pada pilihan terbatas antara memutus rantai Covid-19 atau ekonomi. Normal baru jadi komprominya. Relaksasi PSBB dinilai dapat menekan lonjakan penganggur.
Oleh
Karina Isna Irawan/Aris Prasetyo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tidak punya banyak pilihan untuk menyelamatkan perekonomian di tengah pandemi. Pelonggaran pembatasan sosial berskala besar harapannya dapat memperbaiki penurunan daya beli masyarakat dan menahan lonjakan angka pengangguran.
Berdasarkan kajian Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, pandemi Covid-19 akan meningkatkan angka pengangguran di Indonesia cukup tinggi. Jumlah penganggur dalam skenario sangat berat diproyeksikan bertambah 5,23 juta orang, sementara dalam skenario berat akan bertambah 2,92 juta orang. Kenaikan angka pengangguran dihitung berdasarkan proyeksi pertumbuhan ekonomi 2020 yang berkisar 2,3 persen hingga minus 0,4 persen.
Adapun jumlah penganggur, menurut data Badan Pusat Statistik, per Februari 2020 sebesar 6,88 juta orang. Dengan demikian, pandemi Covid-19 akan meningkatkan jumlah penganggur di Indonesia menjadi 9,8 juta-12,11 juta orang.
Peneliti bidang industri, perdagangan, dan investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho, yang dihubungi, Rabu (27/5/2020), berpendapat, wacana pelonggaran PSBB oleh pemerintah tidak terlepas dari desakan industri. PSBB selama dua bulan terbukti mengganggu arus kas perusahaan yang berujung peningkatan pemutusan hubungan kerja (PHK).
”Saat ini pemerintah dihadapkan pilihan terbatas. Di satu sisi, tidak ingin risiko pengangguran semakin besar karena akan menambah beban negara. Namun, di sisi lain, ruang fiskal pemerintah terbatas,” kata Andry.
Saat ini pemerintah dihadapkan pilihan terbatas. Di satu sisi, tidak ingin risiko pengangguran semakin besar karena akan menambah beban negara. Namun, di sisi lain, ruang fiskal pemerintah terbatas.
Andry menambahkan, saat ini tren pendapatan banyak perusahaan turun sejalan dengan berkurangnya permintaan terhadap produk atau jasa. Di industri otomotif, misalnya, kontraksi terjadi mulai dari sektor manufaktur otomotif hingga sektor perdagangan otomotif. Dampak rembetannya menyasar usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) produsen onderdil kendaraan bermotor.
Langkah luar biasa
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menuturkan, perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat pandemi akan meningkatkan PHK dan angka pengangguran. Peningkatan pengangguran itu akan berkorelasi dengan peningkatan angka kemiskinan.
Eskalasi Covid-19 dan perlambatan ekonomi yang tajam perlu dimitigasi dengan berbagai langkah-langkah luar biasa. Oleh karena itu, pemerintah memperpanjang jangka waktu penyaluran bantuan sosial dan memberikan suntikan dana bagi dunia usaha. Saat ini sedang dimatangkan program Pemulihan Ekonomi Nasional yang akan diberlakukan secara bertahap.
”Pemerintah berupaya agar perlambatan ekonomi dan dampaknya bagi kesejahteraan masyarakat tidak menuju skenario sangat berat,” kata Febrio.
Pemerintah berupaya agar perlambatan ekonomi dan dampaknya bagi kesejahteraan masyarakat tidak menuju skenario sangat berat.
Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, sejak Maret sampai 12 Mei 2020, sekitar 85.000 perusahaan memberhentikan dan merumahkan karyawan tanpa gaji. Perusahaan-perusahaan ini juga ditengarai tidak mampu membayarkan THR secara utuh dan tepat waktu H-7 Lebaran karena arus kas yang macet (Kompas, 13/5/2020).
Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, mengemukakan, daya beli masyarakat menurun tajam sejak diberlakukan PSBB. Misalnya, penurunan daya beli di sektor ritel rata-rata berkisar 50-80 persen sehingga arus kas perusahaan terus memburuk. Kondisi ini yang mendasari wacana pelonggaran PSBB dalam waktu dekat dengan penerapan normal baru.
”Jika membaca perspektif pemerintah, relaksasi PSBB supaya kondisi ekonomi dari sisi pasokan tidak makin buruk,” katanya.
Menurut Josua, stimulus ekonomi dari pemerintah saat ini belum cukup menghalau dampak negatif pelaksanaan PSBB. Sejauh ini penambahan dan perluasan jaring pengalaman sosial juga belum efektif meningkatkan konsumsi masyarakat.
Semakin lama pemulihan ekonomi, maka ongkos yang mesti ditanggung pemerintah lebih tinggi. Padahal, ruang fiskal saat ini sanat terbatas.
Josua juga berpendapat, wacana pelonggaran PSBB belum tentu langsung dapat meningkatkan daya beli masyarakat apalagi eskalasi pandemi masih tinggi. Karena itu, pelonggaran harus dipertimbangkan secara matang dampaknya terhadap perbaikan ekonomi. Jika PSBB ingin tetap dilonggarkan, protokol kesehatan harus lebih ketat dan kedisiplinan masyarakat ditingkatkan.
Wacana pelonggaran PSBB belum tentu langsung dapat meningkatkan daya beli masyarakat apalagi eskalasi pandemi masih tinggi. Jika PSBB ingin tetap dilonggarkan, protokol kesehatan harus lebih ketat dan kedisiplinan masyarakat ditingkatkan.
Sementara, penyaluran bantuan langsung tunai (BLT) desa diprioritaskan dari pada program Padat Karya Tunai Desa (PKTD). Sejauh ini, penyaluran BLT desa sudah menjangkau 47.030 desa dengan nilai bantuan sebesar Rp 29 triliun.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar, Rabu, mengatakan, jumlah desa yang telah menyalurkan BLT terus bertambah. Kendati begitu, ada sejumlah kendala di lapangan sehingga belum semua desa rampung menyalurkan BLT tahap pertama.
”Selain masalah geografis, penyebab lainnya adalah sejumlah desa baru menyelesaikan pelantikan kepala desa atau posisi pejabat Badan Permusyawaratan Desa (BPD) masih kosong,” katanya.