Ada masanya menua adalah kemunduran total. Negara harus hadir untuk lansia. Anak-anak semestinya ada untuknya. Juga masyarakat selayaknya memberi ruang sosial yang ramah bagi lansia.
Oleh
Juwandi
·4 menit baca
Tanggal 29 Mei adalah Hari Lansia. Umur panjang harapan semua orang meski yang terjadi kerap sebaliknya. Didi Kempot, The Lord of Ambyar, wafat pada usia 53 tahun. Steve Jobs, pendiri Apple, meninggal pada usia 56 tahun. Ajal sering kali datang terlalu pagi. Dari 1.000 kelahiran, tak kurang dari 20 yang meninggal. Namun, beda halnya dengan Kane Tanaka, maut seolah mengabaikannya. Pada Januari lalu, wanita Jepang ini merayakan ulang tahunnya yang ke-117. Menjadikannya yang tertua di dunia.
Seseorang disebut lanjut usia saat umurnya mencapai 60 tahun ke atas (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998). BPS pada 2019 mencatat, jumlah lansia sekitar 26 juta atau 9,60 persen dari total penduduk Indonesia. Dari jumlah itu, sebanyak 49,39 persen atau hampir separuh lansia masih aktif bekerja.
Desakan kebutuhan
Menua dengan kemandirian finansial yang diperoleh melalui kerja adalah kebanggaan. Citra diri (self image) yang positif tetap terjaga, bahkan kian menggeliat. Itu bagus untuk kesejahteraan psikologis (psychological well-being). Ada cukup contoh. Mbah Lindu semasa hidupnya masih memasak dan menjual gudeg di usianya yang hampir menyentuh satu abad.
Bukan karena kekurangan, melainkan memang itulah yang ia mau. Atau, semata-mata ingin terus produktif. Contoh lain, Jakob Oetama, pendiri Kompas ini menapaki zaman ke zaman dan tetap cemerlang sebagai presiden direktur pada usianya yang ke-88 tahun.
BPS pada 2019 mencatat, jumlah lansis sekitar 26 juta atau 9,60 persen dari total penduduk Indonesia.
Lansia yang bekerja karena keinginan terus produktif ditandai dengan rasa menikmati dan dibahagiakan oleh pekerjaannya. Secara finansial cukup mapan, bahkan berlebih. Jika ukurannya berpendapatan 3 juta lebih per bulan, merujuk data BPS, lansia dalam kelompok ini jumlahnya hanya 11,92 persen dari total lansia yang bekerja.
Bandingkan dengan jumlah lansia yang jauh dari mapan. Pada 2019, lansia yang bekerja didominasi yang berpenghasilan rendah. Hampir separuh (46,22 persen) mendapat upah kurang dari Rp 1 juta per bulan. Dengan upah serendah itu, besar kemungkinan bekerja karena desakan ekonomi. Bantuan pemerintah tentu amat diharapkan. Apalagi, dalam masa pandemi Covid-19 yang mengoyak banyak sektor yang menjadi sumber penghidupan.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 menegaskan akan menjamin kebutuhan dasar, utamanya bagi lansia yang telantar. Ini bukan saja soal lansia, melainkan juga keluarganya. Pada 2019, setiap 100 orang usia produktif (usia 15-59 tahun) harus menanggung 15 lansia. Adanya jaminan sosial membuat beban keluarga menjadi berkurang. Makin ringan beban ekonomi yang mesti ditanggung, makin baik perlakuannya terhadap lansia.
Akan tetapi, jaminan sosial adalah satu hal dan bekerja adalah hal yang lain lagi. Kerja adalah kerja, ada atau tanpa jaminan sosial. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 menyatakan, salah satu bentuk penghargaan dan penghormatan kepada lansia adalah memberinya kesempatan kerja. Saat ini, sekitar 85.000 lansia menganggur dan berharap pekerjaan.
Memberi pekerjaan dengan upah yang sebanding dengan yang dikerjakan adalah sebaik-baik penghormatan kepada lansia. Membiarkan lansia menganggur sejatinya adalah pembusukan. Aktualisasi diri dapat diekspresikan dengan bekerja yang dapat menjadi penyumbang makna hidup.
Memberi pekerjaan dengan upah yang sebanding dengan yang dikerjakan adalah sebaik-baik penghormatan kepada lansia.
Bekerja untuk hidup atau hidup untuk bekerja sama bermaknanya. Bekerja untuk hidup adalah perjuangan, etos yang karenanya hidup berlanjut. Ada tanggung jawab kepada Sang Pemberi Hidup. Itulah mengapa seberat dan serendah apa pun upahnya lebih mulia ketimbang yang menganggur. Begitu pun dengan hidup untuk bekerja, sebuah totalitas, sebab kerja adalah perkara eksistensi yang hanya dapat dilenyapkan dengan kematian.
Sepanjang mampu dan berapa pun usianya, kerja akan tetap membersamai. Bahkan, jika dengan kerja telah berlebih untuk diri sendiri, tetap bukan alasan menarik untuk beristirahat. Maka, tak ada pekerjaan yang terlalu rendah atau terlampau tinggi. Sejauh didorong oleh etos, tanggung jawab, dan eksistensi, kerja adalah kerja.
Lansia pada masa depan
Proyeksi kondisi lansia pada masa depan ditentukan oleh pendidikan, utamanya kreativitas dan inovasi yang dibangun sejak saat ini. Menurut data BPS 2019, lebih dari separuh pekerja lansia yang tamat perguruan tinggi (PT) berpendapatan Rp 3 juta lebih per bulan. Bandingkan dengan yang berpenghasilan kurang dar Rp 1 juta per bulan, sebagian besar berpendidikan SD ke bawah.
Semakin tinggi pendidikan, juga kian sedikit yang bekerja pada masa tua. Ini menggambarkan tingkat pendidikan membedakan kondisi finansial pada masa tua.
Susenas pada 2018 mencatat, ada 23,84 persen penduduk Indonesia yang berusia 20-34 tahun. Jika kelompok ini yang pada 2025-2040 menyandang status sebagai lansia tak menata diri, itu akan menjadi beban tambahan bagi anak-anaknya pada masa depan. Begitu pun yang berusia 40-50 harus mulai banyak-banyak menabung, investasi, atau merencanakan usaha baru pasca-pensiun. Dengan cara itu, ada harapan pada masa depan peningkatan jumlah lansia yang bekerja karena dorongan terus produktif.
Ada masanya menua adalah kemunduran total. Negara harus hadir untuk lansia. Anak-anak semestinya ada untuknya. Juga masyarakat selayaknya memberi ruang sosial yang ramah bagi lansia. Hanya dengan begitu, Hari Lanjut Usia yang diperingati sebagai bentuk kepedulian dan penghargaan pada lansia betul-betul bermakna sebagai kebajikan praktis.
Akhirnya, terutama kepada 13 juta lansia yang bekerja di sektor pertanian. Terima kasih, di usia yang sudah senja masih punya andil besar memberi makan anak-anak bangsa dengan bekerja keras dan berpanas-panas. Sehat dan bahagialah lansia Indonesia.
(Juwandi, Dosen Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta)