DPR Minta Rincian Anggaran Pilkada

Akibat Covid-19, Pilkada 2020 ditunda dari September ke Desember. Konsekuensinya, KPU dan penyelenggara pemilu lainnya minta tambahan anggaran. DPR pun minta rincian kebutuhan anggaran tambahan untuk mencegah penularan.

KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA

Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian (tengah) berfoto bersama undangan dan peserta Rapat Koordinasi Bidang Politik dan Pemerintahan Umum dan Deteksi Dini Mendukung Sukses Pilkada Serentak Tahun 2020 di Bali Nusa Dua Convention Center, Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, Kamis (27/2/2020). Rapat koordinasi itu juga dihadiri Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, Badan Intelijen Negara, serta jajaran Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol).

JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat meminta Komisi Pemilihan Umum dan penyelenggara pemilu lainnya menyampaikan rincian kebutuhan anggaran tambahan bagi pelaksanaan pilkada lanjutan tahun 2020. Rincian anggaran itu akan menjadi dasar rasionalisasi bagi DPR mengajukan penambahan anggaran Pilkada 2020 kepada pemerintah, terutama yang terkait dengan kebutuhan pelaksanaan protokol Covid-19 dalam tahapan pilkada lanjutan.

Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia mengatakan, rincian anggaran dan kebutuhan dalam pelaksanaan pilkada lanjutan itu diperlukan sebagai bagian dari tindak lanjut rapat konsultasi KPU bersama penyelenggara pemilu lainnya dengan DPR, Rabu (27/5/2020). Komisi II DPR juga telah melayangkan surat secara resmi kepada KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Surat itu pada intinya meminta institusi penyelenggara pemilu mengirimkan rincian kebutuhan anggaran Pilkada 2020.

Baca juga : Ruang Penundaan Pilkada 2020 Masih Terbuka

”Hari ini (Kamis), kami mengirim surat ke KPU, Bawaslu, DKPP, untuk melakukan itu (perincian anggaran), dan agar dikirimkan kepada kami, untuk selanjutnya kami bahas dengan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan. Karena kemarin Mendagri (Tito Karnavian) bisa memahami kebutuhan penambahan anggaran, sehingga ketika ada rincian kebutuhan anggarannya, kami bersama-sama akan berusaha meyakinkan Menkeu (Sri Mulyani) untuk memberikan tambahan anggaran,” kata Doli saat dihubungi, Kamis (28/5/2020), di Jakarta.

Hari ini (Kamis), kami mengirim surat ke KPU, Bawaslu, DKPP, untuk melakukan itu (perincian anggaran), dan agar dikirimkan kepada kami, untuk selanjutnya kami bahas dengan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan.

Sebelumnya, dalam rapat konsultasi penyelenggara pemilu dengan DPR dan pemerintah, Rabu, Ketua KPU Arief Budiman menyampaikan adanya kebutuhan penambahan anggaran pilkada Rp 535,981 miliar. Kebutuhan itu akan dialokasikan untuk sejumlah pranata dan kelengkapan yang terkait dengan tahapan di masa pandemi Covid-19. Karena pilkada lanjutan diselenggarakan dalam suasana pandemi, sejumlah persiapan harus dilakukan penyelenggara, terutama untuk mencegah terjadinya penularan penyakit. Kebutuhan sarana dan prasarana untuk memenuhi protokol Covid-19 pun diperkirakan akan mengakibatkan tambahan anggaran.

Kompas/Wawan H Prabowo

Warga melintasi mural Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jalan KH Hasyim Ashari, Kota Tangerang, Banten, Kamis (7/5/2020). KPU akan menyiapkan tahapan pilkada serentak 2020 dengan mengacu pada protokol Covid-19. Hal ini menyusul telah diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang pilkada yang ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 4 Mei 2020, dengan salah satu ketetapannya berupa pemungutan suara serentak pada Desember 2020.

Dalam diskusi virtual (daring) yang digelar Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kamis, Arief mencontohkan sejumlah perlengkapan yang akan diperlukan untuk memenuhi protokol Covid-19, seperti alat coblos sekali pakai dan tinta tetes atau tinta semprot yang pengadaannya dimaksudkan untuk menghindari penggunaan barang yang sama secara massal. Selama ini, alat coblos berupa paku digunakan bersama-sama di antara pemilih pemilu dan pilkada.

Pengadaan alat-alat itu membawa dampak berupa penambahan kebutuhan anggaran karena sebelumnya tidak diperlukan dalam kondisi normal. ”Tentu biayanya kemungkinan bisa lebih mahal. Namun, pada prinsipnya, alat-alat itu dirancang untuk single use (sekali pakai), baik alat coblosnya maupun tinta dalam bentuk tetes atau spray (semprotan),” katanya.

Daerah tidak mampu

Arief mengatakan, dari hasil rapat pleno KPU RI dengan KPU kota/kabupaten dan provinsi, sebagian besar daerah itu mengatakan tidak mampu menanggung biaya tambahan dari pilkada lanjutan. Opsi penambahan anggaran dari anggaran negara menjadi kemungkinan yang paling bisa diambil untuk memenuhi kebutuhan anggaran pilkada lanjutan.

”Memang ada tiga opsi yang mengemuka dalam rapat dengan DPR. Opsi pertama, sepenuhnya didanai APBD. Kedua, rasionalisasi dari anggaran tahapan-tahapan. Ketiga, dari APBN. Rapat kemarin memutuskan akan dibahas oleh DPR. Biasanya kalau akan dibahas oleh DPR, berarti anggaran itu akan dipenuhi dari APBN. Kami tentu lebih nyaman kalau NPHD (naskah perjanjian hibah daerah) tidak diutak-atik dan kekurangannya dipenuhi APBN,” tuturnya.

KOMPAS/A PONCO ANGGORO

Salah satu materi yang dipaparkan Komisi Pemiihan Umum saat uji publik Rancangan Peraturan KPU tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pilkada 2020, Sabtu (16/5/2020).

Arief berharap kebutuhan penambahan anggaran itu dapat terpenuhi tepat waktu dan jumlahnya. Sebab, tahapan Pilkada 2020 akan dimulai 15 Juni 2020. Dengan pertimbangan itu, KPU berharap anggaran tambahan bisa dicairkan sebelum tahapan dimulai.

Terkait penambahan anggaran, Doli mengatakan, KPU harus menyerahkan dulu rincian kebutuhan anggarannya. Detail anggaran itu akan dibicarakan kembali dalam rapat bersama antara penyelenggara pemilu, pemerintah, dan DPR, Rabu pekan depan. DPR juga telah meminta KPU berkoordinasi dengan seluruh KPU daerah yang menyelenggarakan pilkada untuk membuat rasionalisasi anggaran dalam setiap tahapan.

”Rasionalisasi itu maksudnya menghitung rinci dan detail mana tahapan-tahapan yang bisa diefisienkan dan kemudian disubsidikan kepada tahapan lain yang memerlukan tahapan biaya. Berapa kekurangannya, itu yang harus dirincikan oleh KPU, dan kami mintakan hal serupa dari penyelenggara pemilu lainnya,” kata Doli.

Mengenai asal anggaran tambahan itu, menurut Doli, tidak mungkin dimintakan kepada daerah. Oleh karena itu, selain mengoptimalkan rasionalisasi anggaran dari KPU daerah terhadap setiap tahapan, penambahan anggaran itu juga bisa diupayakan dengan mengajukan permintaan tambahan kepada anggaran negara. Untuk melakukan itu, rincian anggaran tambahan menjadi hal yang wajib diserahkan oleh penyelenggara pemilu.

”Misalnya, untuk pengadaan alat coblos sekali pakai. Apakah itu perlu, sebab semua orang yang masuk ke bilik suara sudah mengenakan sarung tangan. Sarung tangan itu pun sekali pakai. Nah, ketika orang sudah memakai sarung tangan, apakah masih diperlukan alat coblos sekali pakai. Detail atau rincian seperti ini yang ingin kami dapatkan dari penyelenggara pemilu. Selain itu, kan semua penyelenggara harus dilengkapi alat, seperti masker, sarung tangan, dan alat perlindungan diri. Ini tolong dirincikan dan dihitung kebutuhannya, nanti baru akan kami bahas bersama dalam rapat, Rabu pekan depan,” papar Doli.

Kompas

Tangkapan layar petisi di laman Change.org yang berisi permintaan agar pemerintah, DPR, dan KPU menunda Pilkada 2020 ke 2021 yang dibuat oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pilkada Sehat. Hingga Selasa (26/5/2020), hampir 500 orang menandatangani petisi tersebut.

Berpotensi turunkan kualitas

Sementara itu, petisi daring dalam www.change.org yang menggalang dukungan publik untuk menunda penyelenggaraan pilkada tetap dilakukan tahun ini terus berlangsung. Menurut Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, penyelenggaraan pilkada yang dipaksakan tahun ini berimplikasi pada kurangnya persiapan penyelenggaraan. Akibatnya, kualitas pilkada bisa turun.

Hal senada diungkapkan Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan. ”Kepala daerah harus mengurus virus korona dan kontestasi pemilihan. Ini pasti berefek tidak baik kepada efektivitas pemda dan publik di daerah itu selama lima tahun ke depan. Baiknya, urungkan saja niat berpilkada tahun ini,” ujarnya.

Menurut Djohermansyah, pilkada di tengah pandemi juga berpotensi mendegradasi kualitas pemilu. Kepala daerah calon petahana berpotensi menyalahgunakan kewenangan lewat bantuan sosial. Dari sisi masyarakat, tingkat partisipasi pemilih dipastikan merosot. Pemilih lebih mementingkan menjaga keselamatan dibandingkan dengan berpartisipasi dalam pilkada. ”Penundaan ke tahun 2021 bisa menghindari hal-hal itu tadi daripada mendegradasi kualitas pemilihan,” ucapnya.

Daerah bukan negara yang suksesinya harus tepat waktu. Daerah itu sudah lama mempraktikkan pengangkatan penjabat untuk menjalankan roda pemda manakala masa jabatan kepala daerah habis dan belum terpilih yang baru. Jadi pemda tetap bisa beroperasi dengan baik.

Namun, ada konsekuensi yang harus dijalani dengan menunda pilkada ke 2021, yakni pengangkatan penjabat kepala daerah bagi kepala daerah yang sudah habis masa jabatannya. Pilihan lain, masa jabatan kepala daerah tersebut juga bisa diperpanjang sampai dilantiknya kepala daerah yang baru.

Baca juga : Antara Kepastian Anggaran dan Penundaan Pilkada 2020

”Daerah bukan negara yang suksesinya harus tepat waktu. Daerah itu sudah lama mempraktikkan pengangkatan penjabat untuk menjalankan roda pemda manakala masa jabatan kepala daerah habis dan belum terpilih yang baru. Jadi, pemda tetap bisa beroperasi dengan baik,” tutur Djohermansyah.

Dengan begitu, menurut Djohermansyah, Kemendagri harus dapat memastikan penjabat di daerah yang menggelar Pilkada 2020 harus berpengalaman di bidang birokrasi. Yang paling utama, di tengah wabah Covid-19, pengganti kepala daerah sementara itu harus memiliki kemampuan manajemen krisis.