Program JKP sebaiknya diganti dengan program jaminan pesangon. Program itu akan mendukung terciptanya hubungan industrial yang lebih harmonis dan mampu menurunkan tingkat perselisihan hubungan industrial, khususnya PHK.
Oleh
Timboel Siregar
·4 menit baca
Presiden Joko Widodo dan DPR sepakat menunda, bukan menarik, pembahasan kluster ketenagakerjaan dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Alasan penundaan yang disampaikan Presiden adalah untuk melakukan pendalaman substansi pasal-pasal di kluster ketenagakerjaan dan menerima masukan lebih banyak dari pemangku kepentingan. Penundaan ini direspons Majelis Pekerja Buruh Indonesia dengan membatalkan rencana aksi demonstrasi pada 30 April 2020.
Penundaan ini tentu baik, tetapi seharusnya dilakukan untuk semua kluster di RUU Cipta Kerja. Ini mengingat pada masa pandemi Covid-19 ini, semua elemen pemerintahan dan masyarakat harus mematuhi ketentuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk memutus rantai penularan Covid-19 dan khusus pemerintah beserta DPR fokus melayani masyarakat yang terdampak Covid-19.
Masih kisruhnya pembagian bahan kebutuhan pokok, kesulitan masyarakat mengakses Kartu Prakerja, serta semakin banyaknya pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan tanpa upah seharusnya menjadi prioritas pemerintah dan DPR dibanding membahas RUU Cipta Kerja yang menimbulkan kontroversi di masyarakat.
Pendalaman substansi pasal-pasal di kluster ketenagakerjaan dan menerima masukan lebih banyak dari pemangku kepentingan akan berjalan baik apabila pemerintah menarik terlebih dahulu draf kluster ketenagakerjaan dari DPR untuk dibahas ulang dengan melibatkan serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB). Lebih baik lagi jika pemerintah menarik kluster ketenagakerjaan dari RUU Cipta Kerja dan mengalihkannya dengan merevisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan secara komprehensif sebagai satu kesatuan ekosistem ketenagakerjaan.
Menurunnya perlindungan
Membaca isi draf kluster ketenagakerjaan yang disampaikan pemerintah ke DPR, tampak terjadi penurunan perlindungan bagi pekerja jika dibandingkan dengan isi UU No 13/2003. Ketentuan pekerja kontrak dalam Pasal 59 UU No 13/2003, yaitu hanya empat jenis pekerjaan yang bisa dikontrak dengan masa kontrak dua kali untuk maksimal tiga tahun, dihapus di RUU Cipta Kerja sehingga pekerja bisa jadi pekerja kontrak terus-menerus.
Demikian juga ketentuan pekerja alih daya (outsourcing) di Pasal 66 UU No 13/2003, yang hanya dibolehkan untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi, dihapus di RUU Cipta Kerja sehingga semakin banyak pekerja yang berstatus outsourcing. Dengan semakin maraknya pekerja kontrak dan outsourcing, perlindungan bagi pekerja semakin menurun, seperti perlindungan atas upah, jaminan sosial, kepastian kerja, dan hak berserikat.
Mempermudah proses PHK di RUU Cipta Kerja juga memastikan penurunan perlindungan kerja bagi pekerja. PHK yang dipermudah dapat dilihat di beberapa pasal, antara lain dihapuskannya persyaratan surat peringatan di Pasal 161 dan surat panggilan bekerja di Pasal 168 UU No 13/2003.
Membaca isi draf kluster ketenagakerjaan yang disampaikan pemerintah ke DPR, tampak terjadi penurunan perlindungan bagi pekerja jika dibandingkan dengan isi UU No 13/2003.
Dihilangkannya upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan sektoral di RUU Cipta Kerja akan menurunkan daya beli pekerja yang selama ini mendapatkan UMK. RUU Cipta Kerja hanya meng-endorse upah minimum provinsi yang nilainya lebih rendah dari nilai UMK.
Upah untuk usaha kecil dan mikro tidak lagi mengacu pada ketentuan UM, tetapi ditetapkan berdasarkan kesepakatan yang acuan nilainya angka garis kemiskinan. RUU Cipta Kerja akan menurunkan kesejahteraan pekerja dan puluhan juta pekerja kecil dan mikro menjadi semakin rentan miskin.
Penurunan perlindungan bagi pekerja seperti diuraikan di atas merupakan pengingkaran atas amanat Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945 bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Kompensasi penurunan
Pemerintah menyadari bahwa ada penurunan perlindungan bagi pekerja di RUU Cipta Kerja. Untuk ”mengompensasi” penurunan tersebut, pemerintah memasukkan Pasal 91 tentang program jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) dan Pasal 92 tentang penghargaan lainnya. Program JKP ini diberikan kepada pekerja yang mengalami PHK sehingga pekerja bisa mempertahankan derajat kehidupan yang layak pada saat kehilangan pekerjaan.
Program JKP ini mewajibkan adanya iuran dari perusahaan. Perusahaan tentunya merasa keberatan jika harus mengiur lagi mengingat iuran jaminan sosial (jamsos) yang selama ini diiur 10,24-11,74 persen dari upah. Dan, faktanya masih banyak pengusaha yang tidak ikut jamsos dan tidak membayar iuran jamsos sesuai ketentuan.
Menurut saya, program JKP sebaiknya diganti saja dengan program Jaminan Pesangon. Selama ini sudah ada ketentuan PSAK 24 (pernyataan standar akuntansi 24) yang mewajibkan perusahaan untuk melakukan pembukuan pencadangan keuangan atas pembayaran pesangon di dalam laporan keuangan.
Pemerintah menyadari bahwa ada penurunan perlindungan bagi pekerja di RUU Cipta Kerja.
Ketentuan PSAK 24 diaplikasikan menjadi jaminan pesangon, dengan BPJS Ketenagakerjaan sebagai pengelolanya. Iuran jaminan pesangon ini akan dikelola dan memberikan imbal hasil bagi pengusaha dan dana ini menjadi cadangan membayar pesangon jika pengusaha melakukan PHK.
Program jaminan pesangon akan mendukung terciptanya hubungan industrial yang lebih harmonis dan akan mampu menurunkan tingkat perselisihan hubungan industrial, khususnya perselisihan PHK. Dan, memang semestinya pembaruan regulasi ketenagakerjaan diarahkan pada perbaikan ekosistem ketenagakerjaan guna menciptakan iklim investasi yang lebih baik dan mendukung kesejahteraan pekerja.
Pandemi Covid-19 dengan segala dampaknya dan isu kluster ketenagakerjaan menjadi momentum keprihatinan bersama bagi kaum pekerja.
(Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch dan Sekjen OPSI-KRPI)