Pemerintah Kaji Keputusan Relaksasi Pembatasan Sosial
›
Pemerintah Kaji Keputusan...
Iklan
Pemerintah Kaji Keputusan Relaksasi Pembatasan Sosial
Pemerintah masih mengkaji sejumlah aspek epidemiologi terkait penularan Covid-19. Kajian ini dibutuhkan untuk menentukan kebijakan pelonggaran atau pengetatan pembatasan sosial berskala besar.
Oleh
Deonisia Arlinta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah masih mengkaji sejumlah aspek epidemiologi terkait penularan Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona baru di masyarakat. Kajian ini dibutuhkan sebagai pertimbangan untuk menentukan keputusan relaksasi pembatasan sosial berskala besar, khususnya dalam penerapan normal baru di masa pandemi ini.
Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, mengatakan, penularan Covid-19 di sejumlah daerah mulai terkendali. Namun, sejumlah daerah lain masih mengalami penambahan kasus baru yang signifikan. Hingga kini ada empat provinsi dan 23 kabupaten/kota yang menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
”Relaksasi di sejumlah daerah harus berdasarkan kajian komprehensif dari semua aspek kehidupan masyarakat. Nantinya relaksasi yang diberikan pun tidak boleh meninggalkan asek protokol kesehatan untuk tetap menjamin keamanan dari (penularan) Covid-19,” tuturnya, di Jakarta, Rabu (27/5/2020).
Relaksasi di sejumlah daerah harus berdasarkan kajian komprehensif dari semua aspek kehidupan masyarakat.
Yurianto mencontohkan, salah satu parameter yang dikaji adalah penerapan normal baru di pusat perbelanjaan atau mal.
Ketika relaksasi di pusat perbelanjaan diterapkan, pengelola pusat perbelanjaan harus memastikan orang yang datang dalam kondisi sehat. Upaya itu bisa dilakukan dengan pengecekan suhu tubuh di tiap pintu masuk ataupun pemasangan teknologi khusus untuk mendeteksi gejala penularan Covid-19 di dalam gedung.
Kajian lain juga terkait dengan penerapan sistem kerja di industri dan perkantoran selama masa pandemi. Aturan khusus yang perlu diperhatikan antara lain pembagian jadwal masuk kerja serta ketentuan karyawan berusia di bawah 45 tahun saja yang bisa aktif datang ke kantor.
”Parameter-parameter ini tentu tidak akan sama untuk tiap provinsi dan tiap kabupaten/kota. Oleh karena itu, kajian data yang komprehensif dari setiap kabupaten/kota sampai dengan tingkat provinsi sangat dibutuhkan. Data ini yang akan menjadi dasar monitoring kita dalam melakukan pengendalian Covid-19,” kata Yurianto.
Menurut dia, kajian ini sangat dibutuhkan sebagai pertimbangan penerapan relaksasi pembatasan sosial di masyarakat. Kondisi saat ini menunjukkan, jumlah penambahan kasus baru terkait Covid-19 masih tinggi setiap hari.
Kasus bertambah
Berdasarkan data yang dilaporkan per 27 Mei 2020, jumlah kasus baru yang terkonfirmasi positif Covid-19 bertambah 686 kasus dari hari sebelumnya. Dengan begitu, total kasus yang terdata menjadi 23.851 kasus.
Adapun provinsi dengan kasus postif Covid-19 tertinggi adalah DKI Jakarta (6.895 kasus), Jawa Timur (4.142 kasus), Jawa Barat (2.157 kasus), Sulawesi Selatan (1.381 kasus), dan Jawa Tengah (1.326 kasus).
Selain itu, kasus kematian yang dilaporkan masih bertambah. Setidaknya ada penambahan 55 kasus kematian selama sehari sehingga total kasus kematian saat ini menjadi 1.473 orang.
Yurianto menuturkan, data tersebut diperoleh berdasarkan hasil pemeriksaan dari 278.411 spesimen menggunakan metode polymerase chain reaction (PCR) di 87 laboratorium, tes cepat molekuler (TCM) di 48 laboratorium, dan pemeriksaan laboratorium jejaring di 167 laboratorium di Tanah Air.
Sementara jumlah orang yang masih dipantau terkait penularan Covid-19 terdata 49.942 orang dan pasien dalam pengawasan berjumlah 12.667 orang. Data tersebut diambil dari laporan 34 provinsi di 410 kabupaten/kota di seluruh wilayah Indonesia.
Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo menyampaikan, pemerintah hingga saat ini masih menetapkan kondisi penularan Covid-19 sebagai bencana nasional. Untuk menegaskan hal itu, gugus tugas pun telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 6 Tahun 2020 tentang Status Keadaan Darurat Bencana Non-alam Covid-19 sebagai Bencana Nasional.
”Selama pandemi global belum berakhir dan vaksin serta obatnya belum ditemukan, masih diperlukan penetapan status bencana nasional untuk Covid-19,” ujar Doni.