Tak Mudah Libatkan Industri dengan Program ”Pernikahan Massal” Pendidikan Tinggi Vokasi
›
Tak Mudah Libatkan Industri...
Iklan
Tak Mudah Libatkan Industri dengan Program ”Pernikahan Massal” Pendidikan Tinggi Vokasi
Ide positif pemerintah untuk menghubungkan dan mencocokkan kebutuhan industri dan pendidikan tinggi vokasi masih terkendala. Pandemi Covid-19 menjadi rintangan utama. Fokus pengusaha kini condong menyelamatkan bisnis.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
Kelompok pengusaha menyambut baik gerakan ”Pernikahan Massal” yang dicanangkan pemerintah untuk menyelaraskanpendidikan tinggi vokasi dengan kebutuhan dunia industri dan dunia kerja. Akan tetapi, gerakan ini harus berhadapan dengan potensi pelemahan industri karena pandemi Covid-19.
”Saat ini, sejumlah perusahaan dan industri sedang efisiensi. Fokus mereka menghadapi pandemi Covid-19. Mereka umumnya sekarang sedang tidak di posisi memberikan pelatihan kerja juga,” ujar Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani saat dihubungi Rabu (27/5/2020), di Jakarta.
Gerakan ”Pernikahan Massal” pendidikan tinggi vokasi dengan dunia industri dan dunia kerja diinisiasi oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tujuan utama gerakan ini adalah agar program studi vokasi, baik di perguruan tinggi negeri maupun swasta, semakin bisa menghasilkan lulusan dengan kualitas sesuai kebutuhan industri dan dunia kerja.
Gerakan itu memiliki delapan paket. Paket pertama adalah penyusunan kurikulum antara perguruan tinggi vokasi dan industri. Materi pelatihan dan sertifikasi di industri masuk resmi di kurikulum kampus. Paket kedua, dosen tamu dari industri mengajar di kampus. Paket ketiga, program magang terstruktur dan dikelola dengan baik. Paket keempat, komitmen kuat dan resmi pihak industri untuk menyerap lulusan.
Paket kelima adalah program beasiswa dan ikatan dinas bagi mahasiswa. Paket keenam adalah bridging program, pihak industri memperkenalkan teknologi dan proses kerja industri yang diperlukan kepada para dosen. Sertifikasi kompetensi bagi lulusan diberikan oleh pihak industri.
Paket ketujuh berupa sertifikasi kompetensi bagi lulusan diberikan oleh pendidikan tinggi bersama industri. Paket kedelapan berwujud riset gabungan terapan dari kasus nyata di industri.
Apabila pandemi sudah pulih, realisasi gerakan itu diperkirakan sangat berdampak positif.
Hariyadi menilai seluruh paket yang digagas positif. Bekerja sama langsung pendidikan tinggi vokasi akan memudahkan upaya penyiapan industri. Apabila pandemi sudah pulih, realisasi gerakan itu diperkirakan sangat berdampak positif.
”Menyiapkan program magang vokasi saja membutuhkan kerja keras mempersiapkan dari industri. Ada rentetan upaya yang harus disiapkan secara serius, misalnya tim perusahaan yang akan melatih,” katanya.
Dia menambahkan, gerakan ”Pernikahan Massal” antara pendidikan tinggi vokasi dengan dunia industri dan dunia kerja perlu disosialisasikan lebih intensif. Jika perlu, pemerintah mengajak diskusi dan berbincang langsung dengan pelaku industri.
Tantangan utama
Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendikbud Wikan Sakarinto mengakui, adanya pandemi Covid-19 menjadi tantangan utama pelaksanaan gerakan ”Pernikahan Massal” tersebut. Kendati demikian, kerja sama pendidikan tinggi vokasi dengan dunia industri dan dunia kerja tetap dimungkinkan terjadi. Misalnya, bersama-sama merancang kurikulum pendidikan vokasi yang dibutuhkan untuk menyambut normal baru (new normal). Lalu, saat pandemi mereda dan pulih, penganggaran sampai belanja peralatan kebutuhan kerja sama bisa dijalankan.
”Saya bisa memahami kondisi rata-rata industri sekarang sedang down karena ada pandemi Covid-19. Saat bersamaan, saya juga percaya masih ada industri yang terus berusaha bangkit dari pandemi, misalnya berinovasi produk yang dibutuhkan saat pandemi ataupun new normal,” ujarnya.
Link and match pendidikan tinggi vokasi dengan dunia industri dan dunia kerja bukan sekadar nota kesepahaman dan seremonial foto. Selayaknya pernikahan pada umumnya, gerakan itu harus bisa memberikan manfaat mendalam bagi pendidikan tinggi dan pelaku industri.
Target tahun ini adalah minimal 100 program studi vokasi, baik dari perguruan tinggi negeri maupun swasta, terlibat kerja sama dengan puluhan sampai ratusan industri. Artinya, satu kampus vokasi bisa bekerja sama dengan lebih dari satu perusahaan.
Terkait paket yang ditawarkan Kemendikbud, Wikan menjelaskan, paket satu sampai enam adalah paket minimal. Sisanya, dia berharap bisa diterapkan jangka panjang.
Direktur Pendidikan Tinggi Vokasi dan Profesi Kemdikbud Agus Indarjo mengatakan, tahun lalu sudah keluar Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 128 Tahun 2019 yang mengatur tentang pengurangan tarif Pajak Penghasilan yang disebut superdeduction tax. PMK ini diharapkan mendorong banyak pengusaha berpartisipasi dalam menjalankan pelatihan vokasional.
Subyek pajak PMK adalah wajib badan dalam negeri yang sudah berdiri di Indonesia. Sasaran insentif diberikan apabila badan usaha mau berpartisipasi di kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan pembelajaran di SMK; perguruan tinggi program diploma vokasi; dan balai latihan kerja.
Menurut dia, apabila disinkronkan dengan gerakan ”Pernikahan Massal”, kebijakan supertax deduction akan semakin menarik pelaku industri. Hanya saja, mekanisme teknis pemberian insentif harus dibicarakan ulang.
Kesempatan berbeda
Dekan Sekolah Vokasi IPB University Arief Daryanto saat dihubungi terpisah menceritakan, bagi IPB University, link and match bukan hal baru. Pihaknya telah bekerja sama dengan sejumlah perusahaan. Misalnya, PT Minamas, PT Sugar Group, dan PT Sampoerna Group untuk mengembangkan model dual system dan model 3-2-1 (3 semester di kelas, 2 semester di industri dan 1 semester selesaikan karya akhir). Mahasiswa diberikan beasiswa penuh oleh perusahaan tersebut.
Wujud kerja sama lainnya adalah teaching industry, yaitu konsep pembelajaran berbasis industri untuk menghasilkan lulusan yang kompeten sesuai kebutuhan pasar kerja. Terkait pengembangan kurikulum SMK dan perguruan tinggi vokasi, IPB University terlibat dalam konsorsium yang berisikan Maatricht School of Management, Aeres University of Applied Sciences, dan HAS University of Applied Sciences Belanda.
”Gerakan ’Pernikahan Massal’ yang digagas pemerintah bersifat akselerasi. Tidak semua politeknik, pendidikan tinggi vokasi, dan komunitas akademi memiliki kesempatan atau akses yang sama ke dunia industri,” katanya.
Terkait insentif fiskal berupa supertax deduction yang dikeluarkan tahun lalu, Arief memandangnya sebagai daya tarik yang positif. Harapannya, semoga pihak perusahaan lebih terbuka sekarang dengan lembaga pendidikan dan pelatihan vokasi di luar perusahaan.
Hanya saja, ekosistem pendidikan vokasi yang sudah dirintis pemerintah ini jangan sampai malah disalahgunakan perusahaan. Misalnya, perusahaan kemudian menggunakan insentif fiskal untuk membangun sumber daya manusia dari dalam dengan mendirikan dan mengembangkan pelatihan melalui program universitas korporat.
”Saya rasa tetap perlu ’mak comblang’ agar link and match pendidikan tinggi vokasi dengan dunia industri dan dunia kerja bisa tercipta. ’Mak Comblang’ itu adalah pemerintah,” katanya.