Tentang Seloki Pustaka dan Mimpi Tiga Pengarang Muda
Kami bersepakat memakai nama Seloki Pustaka tanpa melupakan slogan yang menyertainya: hanya menerbitkan karya yang pernah ditolak penerbit mayor.
Saya menulis cerita ini berdasarkan pengalaman yang saya alami sendiri, berdasarkan kegugupan menjalani hidup, berdasarkan naluri dasar saya, dan tentu saja berdasarkan obsesi umat manusia yang tak kunjung reda. Saya ingin menulis sebuah pembukaan cerita yang mudah diingat dan membikin pembaca penasaran, tapi apalah gunanya, toh para pembaca juga merupakan makhluk pelupa yang tiap waktu meminta kompromi untuk sekadar mengintip kembali isi pembukaan dari cerita ini—dan cerita-cerita lain yang lebih bermutu, tentu saja.
Lima tahun sebelum cerita ini saya tulis, saya hanya orang biasa yang tak pernah sekali pun memiliki pikiran senakal dan seliar sekarang. Saya ini religius belaka, menghadapi kenyataan yang serba rumpang hanya berbekal kepasrahan pada Tuhan. Jika kemudian saya bertemu dengan dua orang gila ini, saya sangat yakin bahwa saat itu saya lupa berdoa ataupun memasrahkan kendali pada kekuatan di luar tubuh saya. Namun tak lantas saya bisa menyalahkan mereka, kecuali memang ada hal-hal remeh temeh—seperti musibah hilangnya pemantik api atau berkurangnya beberapa batang rokok di dalam tas, saya percaya itu ulah mereka.
Saya menyebut mereka gila, ya, mereka memang gila berdasarkan kategori yang disematkan orang-orang kebanyakan. Dan entah mengapa saya mau saja ikuti alur hidup mereka. Jika pertemuan dengan mereka tertunda satu atau dua menit saja, bisa saja saya tidak menulis cerita ini, atau bisa saja saya baru menuliskannya sepuluh tahun kemudian.
***
Mereka datang dengan sepeda motor butut bersuara menakutkan, menyayat hati, dan membikin mual seorang penderita diare. Anak-anak kecil juga pasti akan berlarian dan buru-buru menutup pintu karena mengira bahwa mereka adalah makhluk jahat yang hendak menculik anak-anak. Wajah yang kusut dan rambut yang awut-awutan adalah hal pertama yang saya dapat tangkap.
Ditambah celana jins yang jebol dan kaki yang mengenakan sandal jepit beda warna, aih, mereka cocok memerankan tokoh preman untuk sinetron kejar tayang yang sering disiarkan stasiun televisi swasta di sore hari. Tapi seiring berlalunya masa, saya tahu mereka tidak jago akting, kecuali dalam rangka memelihara obsesi-obsesi kentir dan susah dipertanggungjawabkan. Dan siapa sangka, obsesi tak tahu diri itu justru membikin persahabatan kami berumur panjang dan kebal dari aneka jenis virus.
Sore itu kedai kopi di timur perempatan T sedang penuh sesak. Mereka tak dapat tempat duduk sehingga terpaksa bergabung di tempat saya berada. Tanpa basa-basi atau sejenis salam pembuka, mereka seperti tak menghiraukan keberadaan saya. Tak berapa lama pesanan saya datang, juga pesanan mereka, dan saya masih terasing di antara bau apak tubuh yang tak kenal sabun mandi itu.
Beberapa menit kemudian salah satu dari mereka menggagapi kantong celana, barangkali hendak mendapatkan rokok, tapi tak ada. Saya tawarkan kretek saya, dan mereka berdua merokok tanpa sungkan, beradu embusan asap, dan membuka pembicaraan yang seharusnya menjadi pembukaan cerita ini secara keseluruhan.
”Bung ini dari mana?” tanya seorang yang kemudian saya tahu bernama Romi.
”Saya dari kota pelat AG-R, Bung,” jawab saya sembari menyebutkan nama dan meneruskan, ”saya mahasiswa pindahan dari kampus U.”
”Mengapa Bung mesti pindah kemari? Apa yang Bung cari di kota ini?” tanya seorang lagi, yang kemudian saya tahu bernama Sreno.
Saya sempat tersedak beberapa bentar oleh pertanyaan Sreno, lalu dengan spontanitas tak terduga saya jawab, ”Selain mau kuliah, saya juga mencari saudara yang sudah lama tak saya jumpai. Mungkin sebentar lagi saya akan menemukannya.”
”Semoga lekas ketemu, Bung. Bung bisa menginap di rumah kontrakan kami jika mau.”
”Terima kasih, Bung. Saya pikir tidak.”
Penolakan yang saya lontarkan itu tak berarti sama sekali. Toh akhirnya saya tetap menginap di rumah kontrakan mereka, lalu diam-diam saya putuskan untuk tinggal bersama mereka di bawah satu atap. Saya mulai akrab dengan suasana gaduh yang mereka bikin. Saya juga mulai akrab dengan lagu-lagu Virgiawan Listanto yang diputar siang-malam tanpa henti, bahkan saat ditinggal kuliah.
***
Sreno menyodorkan segelas kecil anggur kolesom agar saya meminumnya. Romi menunggu dan berharap agar selekasnya saya mereguk satu gelas itu hingga tandas. Selagi berpikir, saya lihat ia sesekali menelan ludah yang mau tumpah. Namun kemudian saya putuskan tak hendak minum, karena kemudian saya menemukan aroma mirip ramuan jamu untuk sapi bunting.
”Lekaslah, Bung! Romi sudah menunggu!” seru Sreno.
Saya tak tega melihat Romi kepayahan atas hasratnya yang kelewat tinggi pada ”jamu sapi bunting” itu. Saya taruh saja gelas itu di hadapannya, membiarkannya minum hingga terdengar bunyi basah memuaskan kerontang di kerongkongannya. Ia bahagia, cengar-cengir di hadapan saya, dan menepuk-nepuk pundak saya sebagai sebuah isyarat tanpa makna.
Demikianlah yang mereka sering lakukan, melupakan luka berlarat-larat oleh dampratan dosen dan mata kuliah yang tak kunjung membikin pandai, juga kisah asmara yang tak dapat membela kehormatan penanggungnya. Namun ada kalanya mereka berbangga, memamerkan rentetan nama mantan pacar yang manis di satu waktu dan menjadi serupa singa betina di waktu yang lain. Saya tergelak oleh romantisisme itu, dan mereka terus saja nerocos sambil bergelut kata-kata, saling mengolok-olok, dan bermaksud menyelesaikannya dengan adu jotos tanpa menyadari bahwa kesadaran mereka tinggal lima persen.
Setelah terbangun, mereka akan kembali akur, berbagi rokok dan minyak rambut dan kembali berboncengan menuju kampus. Jika ada waktu jeda dari perkuliahan, mereka mengunjungi toko buku bekas demi menyisir novel stensilan Enny Arrow dan Fredie S. Si pedagang buku bekas akan bertanya, mengapa harus buku dari dua penulis itu? Dengan enteng mereka hanya menjawab: kami sudah kenyang dengan novel-novel Bastian Tito dan komik bikinan Ganes TH. Lalu pedagang itu akan menawarkan novel keluaran terbaru, yang lebih mahal, namun dengan mutu kertas sangat buruk. Sreno dan Romi dengan sembrono hanya akan menjawab: lain kali saja, jika kami sudah kaya, dan bila perlu akan kami borong semua yang ada di sini, termasuk rak besi dan celana dalammu, Bung. Alih-alih marah, si pedagang justru tergelak dan membiarkan dua pemuda itu pergi tanpa membayar lima buku yang mereka ambil.
***
Saya lupa menyebutkan satu nama lagi, yang seharusnya diikutkan dalam cerita ini. Ia adalah pemuda bernama F, sepantaran kami, dan barangkali akan ikut andil sebagai tokoh penggerak cerita. Ia pun pernah tinggal serumah kontrakan dengan kami.
”Tidak sebagus itu”, sanggah Sreno, ”ia masuk dalam cerita ini hanya sebagai cameo, itu lebih baik daripada saya menyebutnya sebagai ‘tokoh yang hadir hanya untuk dianiaya’!”.
”Jadi begini, saya pikir ia hadir sebagai komprador, penjilat, dan jongos dari kemegahan menara gading,” timpal Romi.
Saya mengiyakan pendapat keduanya. Tapi, sebagai sesama manusia, saya tak tega menyebutnya demikian, apalagi menuliskannya sepanjang tiga ribu kata. Sreno benar dengan pendapatnya, Romi pun saya anggap benar dengan justifikasinya, tapi cerita ini saya yang tulis. Jika mereka ingin menuliskan pemuda F berdasarkan versi mereka, biarlah mereka menulis sendiri. Dengan mesin tik kepunyaan sendiri. Dengan kertas kepunyaan sendiri. Tanpa turut campur dengan isi kepala saya.
Jadi singkatnya, pemuda F adalah tokoh yang hadir untuk dianiaya, sebab ia sebenar-benar pecundang yang merengek-rengek pada kemegahan menara gading dan birokrasi kampus kami yang teramat kompleks. Singkatnya lagi, saya muak terhadapnya. Lihatlah betapa ia selalu tampil sok gagah dengan memamerkan tatto palsu non-permanen bergambar senapan dan bunga mawar, nyaris menyerupai lambang dan identitas grup musik Guns n Roses. Seantero kampus M, kampus kami, kemudian mengenalnya sebagai penggemar Guns n Roses, meski sebenarnya ia hanya hafal dua lagu dari keseluruhan album yang pernah beredar di pasaran. Lucu, to? Saya kira tidak.
Sekali waktu saja ia berhak melucu sebelum kemudian Sreno menonjok mukanya dalam sebuah perkelahian satu lawan satu. Pemuda F yang bermulut besar dan berpenampilan sok gagah itu kemudian merengek di sudut kelas sambil memegangi biji pelirnya yang menunggu giliran kena tonjok. Sreno memberinya ampun sebelum kemudian kami dipertemukan dengan perkara lebih besar dan lebih mencemaskan.
Jadi begini, saya pikir ia hadir sebagai komprador, penjilat, dan jongos dari kemegahan menara gading,” timpal Romi.
”Saya kena drop out,” ucap Sreno di suatu sore yang cerah.
Saya dan Romi tidak bisa tidak untuk jadi seperti anak kecil yang terlonjak akibat mendengar gelegar petir di musim panas. Saya dan Romi dibikin melongo, bersedih, sekaligus menjadi sosok paling naif dalam alam manusia.
”Bagaimana bisa?” tanya Romi.
”Sebabnya perkara sepele saja. Hanya sebuah kesalahpahaman, tak lebih. Saya dituduh berbuat yang tidak-tidak,” jawab Sreno tanpa mencoba memandang wajah kami.
”Lalu, Bung?” tanya saya.
”Saya bukan contoh manusia terpuji, tentu saja, tapi saya manusia biasa. Beberapa orang memergoki saya sedang berdiri di depan pintu toilet, mengira saya hendak menggagahi pegawai administrasi yang cantik dan molek itu. Tapi sungguh demi Tuhan, Bung, saya tidak melakukannya. Meniatkannya pun belum.”
”Belum?” potong Romi.
”Ya, belum. Berarti saya tidak sedang melakukan tindakan asusila, to? Dan sungguh demi kakek dan nenek buyut saya, demi kakek dan nenek buyut kalian juga, saya tidak tahu kalau pintu toilet itu rusak dan tak bisa ditutup.”
”Lalu?”
”Saya diarak seperti pesakitan ke ruang ketua jurusan. Saya disudutkan, dihujani pertanyaan-pertanyaan nyeleneh, dan saat itu saya teringat pada kalian. Tapi kemudian saya ingat bahwa kalian tak ada jadwal ngampus. Aih, malang betul. Tak seorang pun membela saya saat itu. Mereka yang tak tahu apa-apa dan main lempar tuduhan itu hanya diam seperti kucing demam. Tai mereka itu. Cuma berani bergunjing di belakang. Awas saja!”
Sreno menahan geram dan gemetar di sekujur tubuh. Ada cerita yang ia tunda hingga beberapa baris sebelum akhirnya Romi menawarkan bantuan.
”Saya akan coba bicara pada pejabat kemahasiswaan.”
”Percuma. Saya sudah tak layak memperoleh toleransi.”
”Mengapa?”
”Saya telanjur marah begitu pembelaan diri saya ditolaknya mentah-mentah. Saya tendang lututnya. Ia kesakitan. Setelah itu saya pergi dengan surat drop out di tanga,” jawab Sreno seperti tanpa penyesalan.
***
Di tengah malam yang penuh debu dan abu rokok saya terbangun, mendapati suasana temaram yang disusul suasana sedih dan sayup-sayup lagu Virgiawan Listanto yang tak juga berhenti. Saya dapat dengar pula suara tangis samar-samar di lorong menuju dapur. Tampak Sreno sedang meringkuk tanpa dapat mengakhiri tangis yang tertahan-tahan dan memilukan itu. Saya bermaksud menghiburnya, tapi apa yang bisa jadi penghiburannya selain minum segentong anggur hingga tak sadarkan diri? Saya mencari-cari Romi ke luar rumah, namun tampaknya Romi sedang lembur tugas kelompok di rumah kawannya.
Saya mengajaknya bangkit, dan ia menolak dengan halus. Ia ingin menangis hingga pagi. Siapa sangka bahwa sosok pemabuk yang tempramental dan liar dan sering mengamuk ini bisa menangis demikian lama? Tanpa perlu menanyakan alasannya menangis, kemudian saya tahu bahwa ia merasa berdosa karena tak bisa memenuhi harapan ibunya yang ingin melihatnya jadi sarjana yang dihormati. Jadi pegawai negeri lebih tepatnya. Harapan itu terlanjur pupus, dan ia belum tahu cara mempertanggungjawabkan dirinya sendiri di hadapan orang-orang yang mempercayakan gelar sarjana kepadanya.
”Hidup ini sungguh asu, Bung. Apa-apa yang tak bisa saya selesaikan dengan baku hantam, mesti saya selesaikan dengan menangis hingga pagi,” keluhnya.
Namun sepuluh hari kemudian saya lihat ia rajin berkutat dengan komputer jinjing. Dengan khusyu ia mengetik, mengirimnya ke surat kabar lokal, dan ia menerima sejumlah uang honor atas karya yang dimuat. Lalu ia lebih banyak lagi mengetik, menerima uang honor lagi, tanpa peduli tulisan-tulisannya dibaca orang atau tidak.
”Berhari-hari saya menulis, membiarkan diri saya tenggelam sebentar, tapi hanya surat kabar lokal bernama D yang sudi menerima tulisan saya.”
”Itu cukup. Setidaknya kau tidak menganggur sepenuhnya,” jawab Romi.
Di malam-malam yang lebih beruntung Sreno bisa menraktir kami dengan beberapa gelas minuman ringan atau keripik kentang. Di malam-malam yang lain, yang dianggapnya sebagai malam-malam sial, tak kurang kami kami mendengar berpuluh-puluh serapahan dari mulutnya.
”Cerita pendek saya ditolak, tapi mereka tak memberitahukan alasannya. Sial betul! Babi!”
Ia memang sial, tapi saya dan Romi lebih sial karena serapahan itu harusnya bukan buat kami.
Itu cukup. Setidaknya kau tidak menganggur sepenuhnya,” jawab Romi.
***
Penolakan demi penolakan datang untuk kami. Romi menerima dua puluh. Sreno menerima enam. Saya tak seberapa, sebab saya hanya mengawasi mereka sambil membayangkan nasib hidup sebagai pengarang.
“Menjadi pengarang tak seindah yang saya bayangkan selama ini.”, ucap Romi.
”Saya sempat menikmati sebotol anggur dari dua kali pemuatan puisi saya di majalah D. Tapi majalah itu sudah gulung tikar. Sedangkan saya merasa tak sanggup lagi menulis puisi,” sambung Sreno.
Saya sering mendengar keluhan macam begitu dari Sreno. Beberapa lembar puisi yang ia tulis kemudian jadi santapan api yang sengaja ia pantik. Ia tertawa geli pada puisi-puisi yang dibakar itu. Dan alasan sebenarnya pernah diungkap oleh Romi, bahwa Sreno mengalami patah hati yang cukup parah hingga hidupnya terasa melompong. Hari-harinya kemudian lebih banyak dihabiskan melamun di pinggir selokan sambil bernyanyi-nyanyi lagu Ancur dari Virgiawan Listanto. Romi mulai mencoba menyelidikinya lebih jauh, dan mendapati patah hati itu turut mempengaruhi kewarasan Sreno. Miris betul. Tapi kemudian Sreno menyanggah perkara itu, memilih mengibarkan tanda perang dengan cara paling elegan: menolak berbagi minyak rambut hingga Romi diwisuda dari kampus M.
Beberapa minggu setelah lulus kuliah, saya tak juga memperoleh pekerjaan. Saya mulai mencoba-coba menulis cerita pendek, menuliskan kenangan-kenangan saya di masa-masa menjadi mahasiswa dan mengenal beraneka bacaan. Saya membikin akun surel baru, memanfaatkannya secara penuh sebagai media mengirim tulisan, dan saya pun tak kurang merana dari dua sahabat saya itu. Berkali-kali cerita pendek saya ditolak, berkali-kali pula saya mengeluh dan menanggung lapar, dan di saat itulah saya terpaksa meminjam uang pada seorang gadis yang kemudian menjadi pacar saya.
Saya sengaja tak pulang ke kota plat AG-R karena ingin menuntaskan dendam saya pada pemuda F. Saya kecewa pada seorang yang selepas lulus kuliah itu memperoleh pekerjaan yang amat baik, jauh lebih baik daripada kami bertiga. Sebab sebuah lembaga penerbitan kampus menyewa jasanya membikin perwajahan dan tata letak untuk buku-buku yang akan terbit.
”Sudah saya duga jauh-jauh waktu. Dulu ia amat lantang mengritik kebijakan kampus, tapi nyatanya nol besar. Babi,” ucap Sreno.
”Ia lupa bahwa ia pernah menumpang hidup di rumah kontrakan ini. Kemarin pas ketemu di kantor pos, ia menjelek-jelekkan kita bertiga, menyebut kita sebagai pemuda-pemuda sial,” tambah Romi.
”Ada lagi sebutan yang lebih buruk yang keluar dari mulutnya: ‘penganggur, sampah, tak berbakat menulis’ katanya,” imbuh saya.
”Asu dia. Tapi kita bisa apa?” tanya Romi.
”Kita mesti menulis lebih banyak lagi agar ditolak lebih banyak oleh redaktur-redaktur media itu. Kita masih tetap akan menulis biarpun si bajingan F hidup enak,” jawab Sreno enteng.
”Saya akan senang ditolak banyak redaktur. Saya memang belum cukup berbakat untuk jadi seperti Julio Cortazar,” timpal Romi.
”Saya juga belum pantas menjadi seperti Ernest Hemingway,” balas Sreno.
”Level kemampuan menulis saya berada jauh di bawah Sungging Raga,” saya ikut menimpali.
Setelah itu kami menemukan kepercayaan diri menulis, seburuk apa pun bentuknya.
***
Sebuah perasaan jengah menghujani kami bertiga kala si pemilik rumah menagih uang kontrak yang mesti kami bayar. Uang di tabungan kami tinggal tersisa untuk makan selama tiga kali, kami pun tak pernah berpikir menggunakannya untuk keperluan lain. Cekikan gairah yang tengah menggebu, ditambah harga-harga kebutuhan yang meninggi, dan tanggungjawab membayar uang kontrakan membikin kami hampir gila. Di titik nadir itu Sreno justru sering menghilang, sedangkan Romi terserang typhus hingga harus kami antar pulang lima hari yang lalu.
Sayalah yang kemudian sering berurusan dengan si pemilik rumah, menerima ancaman pengusiran, hingga kemudian saya putuskan pergi ke terminal demi memperoleh bus untuk pulang ke kampung halaman.
”Bung, jangan tinggalkan saya!” teriak Sreno dari kejauhan begitu saya tiba di terminal.
”Saya tak punya apa-apa lagi, Bung. Saya mau mengurus ladang sebulan saja, lalu saya akan kirim uang untuk membayar kontrakan yang nunggak beberapa bulan itu. Saya janji.”
”Tidak, Bung. Saya tak bisa tinggal seorang diri. Lihatlah, saya sedang berusaha!” ucapnya seraya menunjukkan gitar kopong yang digunakannya mengamen.
”Saya sudah bosan, Bung. Saya harus pulang.”
”Tunggulah setahun lagi, Bung! Saya bahkan belum pulang sama sekali semenjak kena drop out di semester enam. Saya justru lebih kacau darimu, saya tidak punya ijazah sarjana,” Sreno meyakinkan saya.
Panas yang menyengat dari langit di atas terminal membikin saya menunda kepulangan kali ini. Saya kembali ke rumah kontrakan, dan saya dapati Romi tengah mengelus-elus seekor kucing yang entah dari mana.
”Selamat siang, Bung. Saya bosan di rumah. Terpaksa saya mesti sembuh untuk kembali ke rumah kontrakan ini,” ucapnya.
Romi kemudian mengajak saya menemui pemilik rumah dan membayar separuh uang sewa selama setahun. Saya merasa lega, tapi sekali lagi saya tak bisa berbuat lebih banyak untuk membela nasib hidup saya di kota ini.
***
Ide gila itu akhirnya muncul di tengah-tengah kami. Romi mengusulkannya sembari mengaku bahwa ia sering bermimpi tentang singa-singa. Ia pun mengaku bahwa tidurnya lebih banyak menghasilkan ketakutan daripada sebuah kondisi yang jadi alasannya sembuh dari typhus. Keadaan serupa juga dialami Sreno, bahwa ia pernah bermimpi bertemu dengan singa yang mengejar-ngejarnya hingga ke gurun Kalahari. Saya tak dapat bayangkan, tapi mimpi mereka tak lebih dari mimpi sebelum saya ikut terpengaruh oleh ketidakwarasan mereka.
”Saya pun merasa mimpi itu memiliki makna, tapi saya tidak pernah bermimpi tentang singa-singa,” ujar saya.
”Tapi mimpi kami berdua ini nyaris sama, Bung. Dan kita tak bisa melulu hidup seperti ini, dihantui singa-singa yang bahkan tak pernah menampakkan diri di kehidupan nyata,” jawab Romi.
”Jadi sekarang kita harus apa?”, tanya saya.
”Kita buat penerbitan.”, jawab Romi.
Saya diam. Sreno tampak setuju dan manggut-manggut, membikin saya tiba-tiba mual dan ingin mengakhirinya di atas jamban.
”Saya kecewa dengan penerbit-penerbit yang sudah menolak novel saya. Saya mau membikinnya sendiri, menerbitkan buku-buku saya sendiri, membacanya sendiri, membedahnya sendiri, dan mengritiknya sendiri, dan... saya rasa itu lebih baik daripada tak diterbitkan sama sekali,” ucap Romi.
”Saya kira kita juga bisa menerbitkan buku-buku kepunyaan orang lain,” jawab Sreno.
”Saya sudah siapkan nama untuk penerbit itu: Seloki.”
”Seloki?”
”Nama yang bagus. Bisa juga dinamai Seloki Pustaka. Ada kesenangan tersendiri saat mengucapkannya. Lagipula nama itu mudah diingat,” timpal saya di antara sadar dan tidak.
Kami bersepakat memakai nama itu tanpa melupakan slogan yang menyertainya: hanya menerbitkan karya yang pernah ditolak penerbit mayor. Konyol memang, tapi di situlah kesenangan kami. Dalam seminggu ini kami sibuk membikin perangkat perizinan, menghubungi seorang notaris, dan mempersiapkan alat-alat apa saja yang akan kami perlukan di kemudian hari.
Namun sebulan kemudian kami menyadari, kami kena tipu, notaris yang kami sewa jasanya itu menggondol uang yang seharusnya bisa mewujud sebagai akta pendirian penerbitan. Tak seberapa, tapi siapa pun pasti kesal jika tahu dirinya ditipu.
”Saya mau memelintir lehernya jika bertemu orang itu lagi,” ucap Sreno sembari mengepalkan sepasang tinjunya.
”Tenanglah! Uang itu tak seberapa. Kita bisa memperolehnya lagi dengan mudah.”, ucap Romi dengan maksud meredakan kemarahan.
”Bagaimana caranya?”
”Saya hafal nomor akun rekening pemuda F beserta kata sandinya. Ia tak pernah menggantinya sama sekali.”
”Asu. Jadi uang untuk mengurus perizinan dan uang yang sudah digondol notaris itu...”, Sreno terheran hingga melongo.
”Tidak salah lagi,” jawab Romi sembari cengar-cengir.
Saya tak dapat lihat reaksi Sreno yang terakhir, tapi saya dapat dengar ia terbahak-bahak seraya menepuk-nepuk punggung Romi. Sementara Seloki Pustaka yang hendak kami rintis sebagai penerbit yang ”hanya menerbitkan karya yang pernah ditolak penerbit mayor” itu belum juga berdiri. Hanya cerita ini kemudian saya tulis dalam rangka mendahului keberadaan Seloki Pustaka yang sebenarnya, agar pembaca tahu bahwa Seloki Pustaka itu ada. Atau setidaknya: hampir ada.[]