Gencatan senjata tiga hari di Afghanistan dan pembebasan anggota Taliban oleh Kabul diharapkan memperkuat fondasi perdamaian di Afghanistan.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
Gencatan senjata selama perayaan Idul Fitri oleh kelompok Taliban dibalas dengan pembebasan secara bertahap 2.000 anggota Taliban oleh Pemerintah Afghanistan. Gencatan senjata terjadi setelah dua pekan sebelumnya serangan demi serangan terhadap warga sipil dan petugas keamanan Afghanistan terus terjadi, bahkan terhadap sebuah rumah sakit bersalin yang dihuni oleh ibu-ibu dan bayi-bayi tidak berdosa. Serangan demi serangan terjadi meski Taliban dan Amerika Serikat telah menandatangani kesepakatan damai. Cukupkah gencatan senjata selama perayaan Idul Fitri untuk meyakinkan keberlanjutan proses perdamaian di negara itu?
Selama tiga hari, mulai Minggu (24/5/2020), kelompok Taliban memutuskan untuk melakukan gencatan senjata di seantero Afghanistan untuk menghormati perayaan Idul Fitri, setelah selama sebulan lebih umat Islam menjalani ibadah di bulan suci Ramadhan. Tindakan itu dibalas dengan rencana pembebasan 2.000 tahanan anggota kelompok Taliban yang dipenjara di sejumlah tempat di Afghanistan oleh Pemerintah Afghanistan.
Pada Rabu (27/5/2020), Pemerintah Afghanistan membebaskan 900 anggota kelompok Taliban dari 2.000 orang yang direncanakan. Apresiasi dilayangkan kelompok Taliban terhadap duet Presiden Ashraf Ghani dan Ketua Dewan Rekonsiliasi Nasional Abdullah Abdullah yang mengambil keputusan ini.
Suhail Shaheen, juru bicara kelompok Taliban, melalui akun media sosial miliknya menyatakan, pembebasan 2.000 anggota mereka oleh ”pihak sebelah sana” adalah sebuah langkah yang bagus. Ini merupakan sebagian langkah dari rencana pembebasan 5.000 tahanan anggota Taliban yang telah disepakati di Doha. Upaya ini dinilai akan memberikan kondisi yang kondusif bagi semua pihak.
”Proses ini harus terus dilanjutkan dan diselesaikan agar semua rintangan dalam proses perundingan intra-Afghanistan bisa dilaksanakan,” kata Shaheen. Dia, yang menyatakan Taliban sebagai Islamic Emirate, memiliki komitmen yang sama untuk membebaskan tahanan pihak keamanan Afghanistan.
Tanda tanya
Dua peristiwa yang terjadi dalam rentang waktu tiga hari ini cukup mengejutkan sekaligus melegakan. Respons positif dari setiap pihak bisa menandakan adanya semangat untuk menuju perdamaian, sebuah hal yang diinginkan rakyat Afghanistan sejak lama.
Pemerintah Amerika Serikat juga tampaknya cukup gembira dengan situasi terakhir ini. Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dan Utusan Khusus Pemerintah AS untuk Afghanistan Zalmay Khalilzad mengapresiasi langkah yang dilakukan Ghani dan Abdullah untuk membebaskan 2.000 tahanan anggota Taliban.
Namun, belum sampai tiga hari gencatan senjata berlangsung, beberapa serangan terhadap petugas keamanan dan warga sipil masih terus terjadi. Tidak hanya orang dewasa yang menjadi korban, tetapi juga anak-anak yang tidak berdosa. Juru bicara Taliban yang lain, Zahibullah Mujahid, membantah bahwa anggota mereka melakukan serangan meski sudah ada keputusan politik dari pemimpin mereka. ”Kami telah mendeklarasikan gencatan senjata. Kami tidak melakukan serangan apa pun dan di mana pun terhadap para musuh,” kata Mujahid.
Di tengah kebijakan gencatan senjata, terjadi serangan yang mematikan. Ini membuat sebagian besar bertanya: apakah Taliban serius dengan kebijakannya itu? Apakah Taliban benar-benar menginginkan adanya perdamaian di Afghanistan?
Dalam sebuah catatan yang dibaca oleh jurnalis kantor berita Reuters, pihak keamanan Afghanistan dan sejumlah lembaga mencatat bahwa Taliban setidaknya telah melancarkan 4.500 kali serangan semenjak kesepakatan damai di Doha ditandatangani, 29 Februari lalu.
International Crisis Group (ICG), sebuah lembaga peneliti keamanan dan terorisme internasional, dalam catatannya pada 30 Maret 2020 menyebutkan, sejumlah pejuang Taliban sempat menyampaikan bahwa mereka benar-benar menginginkan perdamaian di negara itu terwujud. Mereka menilai diri mereka juga merupakan korban peperangan yang entah kapan akan berakhir.
Tidak bisa dimungkiri, berdasarkan catatan ICG itu juga, di tubuh kelompok Taliban juga tidak ada satu suara mengenai peperangan atau perdamaian. Tidak berada satu komando, tidak berada dalam satu payung kebijakan, menjadi kendala tersendiri bagi pimpinan Taliban.
Peran Abdullah
Kesepakatan politik antara Presiden Ashraf Ghani dan rivalnya, Abdullah Abdullah, tidak dimungkiri menjadi pintu masuk untuk kembali melakukan perundingan intra-Afghanistan. Waktu tiga bulan lamanya, setelah kesepakatan damai Doha, terbuang karena Ghani dan Abdullah tidak memberikan ruang yang cukup lebar untuk negosiasi.
Sebagai Pemimpin Dewan Rekonsiliasi Nasional, Abdullah, yang berdarah Pashtun, memiliki kedekatan secara budaya dengan kelompok Taliban. Hal ini menjadi pilihan tepat bagi Ghani untuk mendapuknya sebagai pemimpin negosiasi damai dengan Taliban. Abullah, yang sempat menjadi penasihat pemimpin kelompok Mujahidin pada era melawan pasukan Soviet, Ahmad Shah Massoud, dinilai memiliki pemahaman lebih mengenai pola pikir kesukuan Pashtun, kelompok etnis dominan di Afghanistan.
Jurnalis senior Kompas (1988-2018), Trias Kuncahyono, dalam kolomnya menuliskan, Pashtun yang mendirikan Afghanistan pada tahun 1747 secara politis mendominasi Afghanistan. Catatan sejarah itu membuat mereka meyakini memiliki hak untuk memerintah Afghanistan.
Sebagian besar orang Pashtun beranggapan bahwa tatanan politik ”alami” di Afghanistan (Pashtun yang berkuasa) diubah secara radikal: pertama dengan invasi Soviet pada 1979 dan, kedua, oleh serangan Amerika pada 2001 yang dibantu Aliansi Utara Tajik yang sebagian besar menjadi penguasa de facto negara tersebut pada periode awal setelah invasi.
Tantangan sejarah itulah yang akan dibawa dan dinegosiasikan oleh Abdullah dan tim juru runding Pemerintah Afghanistan jika akan memulai perundingan dengan kelompok Taliban. Alex Thier, analis dari lembaga Institut Perdamaian Amerika Serikat, menyebutkan, perundingan akan menemui jalan terjal karena perbedaan pandangan antara kedua pihak, terutama dalam bentuk negara (emirat atau sebuah negara yang menganut paham demokrasi), pembagian kekuasaan, hingga masalah hak-hak perempuan dan kelompok marjinal.
Thier menilai, pada isu pertama, soal bentuk pemerintahan dan negara, akan terjadi perbedaan pendapat yang sangat besar. Otoritas politik Taliban terutama menginginkan sebuah negara Islam berbentuk emirat, seperti yang selama ini mereka gunakan. Adapun Pemerintah Afghanistan, sesuai pandangannya, menginginkan bentuk pemerintahan republik. Dua pandangan ini, menurut Thier, bisa menjadi salah satu halangan besar apabila tidak dicarikan jalan tengah.
Hal lain adalah hak kaum perempuan yang selama ini terpinggirkan dalam proses politik. Sebelum Taliban berkuasa, perempuan Afghanistan mendapat perlakuan dan perlindungan hukum serta memperoleh hak-hak sipilnya. Mereka diperbolehkan beraktivitas serta memperoleh pendidikan yang layak dan setara dengan kaum laki-laki. Sebuah pemandangan yang tidak bisa didapatkan ketika Taliban berkuasa di Afghanistan tahun 1996-2001.
Negara-negara lain, termasuk Indonesia, bisa mengambil perannya kembali dalam membantu perundingan damai di Afghanistan. Indonesia pernah menjadi tuan rumah pertemuan multipilar pada tahun 2018 menggunakan jalur para pemuka agama. Kini, Indonesia tampaknya bisa memainkan kartunya lagi untuk mendorong kesamaan pandangan soal perdamaian di Afghanistan, yang sempat dipandang akan runtuh.