Siap atau tidaknya normal baru di Ibu Kota harus mempertimbangkan hasil penerapan pembatasan sosial berskala besar yang telah berlangsung selama ini.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dany
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ombudsman Jakarta Raya mengevaluasi pembatasan sosial berskala besar di Ibu Kota. Hasilnya menggambarkan siap atau tidaknya penerapan normal baru.
Ombudsman Jakarta Raya dalam proses evaluasi pembatasan sosial berskala besar atau PSBB yang sudah berlangsung tiga kali di Ibu Kota. Evaluasi tersebut menunjukkan seberapa siap Jakarta menuju normal baru atau sebaliknya harus memperpanjang PSBB. ”Nanti dari sana (evaluasi) baru dilihat apakah Jakarta sudah bisa normal baru atau masih harus PSBB,” ucap Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya Teguh Nugroho di Jakarta, Jumat (29/5/2020).
Normal baru masih sebatas rekomendasi dari pemerintah pusat karena belum ada dasar hukum, pengaturan teknis, dan dasar penetapan normal baru di suatu daerah. Itu berbeda dengan PSBB yang sudah jelas tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 09 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Menurut Teguh, siapa yang menyatakan berlakunya normal baru, dasarnya apa, alat evaluasinya apa, dan anggarannya bagaimana harus jelas sebelum penerapan normal baru. Sebab, banyak warga tidak tertib selama PSBB.
Contohnya ketika PSBB pertama belum ada perangkat hukum yang memberikan sanksi kepada pelanggar. Dalam situasi itu, penegak hukum mengambil pendekatan persuasif. Akan tetapi, pendekatan persuasif tidak cukup efektif karena warga tetap saja tidak tertib. Justru penegak hukum dan warga saling debat terkait pembatasan itu. ”Imbasnya ketika penerapan PSBB kedua, penegak hukum lebih longgar dalam penjagaan karena lelah berdebat dengan pelanggar,” katanya.
Pemprov merespons masalah itu dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 47 Tahun 2020 tentang Pembatasan Berpergian Keluar dan Masuk Provinsi DKI Jakarta dalam Upaya Pencegahan Penyebaran Covid-19. Peraturan tersebut mencantumkan sanksi denda yang masuk kategori penerimaan negara bukan pajak.
Namun, ada persoalan baru. Peraturan gubernur, kata Teguh, tidak boleh mencantumkan sanksi karena sanksi hanya tertuang dalam peraturan daerah. Untuk itu, harus ada kesepakatan antara pemerintah dan rakyat yang diwakili Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
”Dendanya nanti masuk ke mana. Kami dorong pemprov dan DPRD membuat peraturan gubenur menjadi peraturan daerah. Nantinya materi yang sama bisa dipergunakan sebagai perangkat hukum normal baru,” ucapnya. Perangkat hukum itu penting karena kurva penyebaran Covid-19 yang melandai dan normal baru tidak akan efektif tanpa penindakan yang jelas.
Jelas
Pemerintah diminta menerangkan dengan jelas konsep tatanan normal baru yang direncanakan kepada masyarakat. Ini penting sebelum hal itu diterapkan guna mencegah kesimpangsiuran informasi yang membuat publik bingung.
Ketua Komisi VIII DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional Yandri Susanto mengatakan, batasan normal baru itu harus sama, baik antara yang dipikirkan oleh pemerintah maupun masyarakat. Jika berbeda, hal itu akan mengakibatkan kebingungan dan berpotensi memicu makin besarnya penularan Covid-19.
”Sebaiknya standar WHO harus menjadi acuan semua pihak. Ini penting. Sebab, kalau standarnya berbeda, nanti yang terpapar korona dikhawatirkan akan lebih banyak,” katanya, di Jakarta, Kamis (28/5/2020).
Pemerintah juga diminta menerapkan normal baru itu secara berkeadilan dan disiplin sesuai dengan kondisi dan status zona daerah bersangkutan. Informasi yang jelas harus disampaikan pemerintah, termasuk tentang pemetaan daerah, apakah suatu daerah itu tergolong zona merah, hijau, ataukah biru. Dari keterbukaan informasi itu, menurut Yandri, kewaspadaan masyarakat bisa ditumbuhkan.
Pesan agar pemerintah melakukan pengkajian secara mendalam juga datang dari Persyarikatan Muhammadiyah yang sejak awal membantu pemerintah dalam penanganan kesehatan serta dampak Covid-19. ”Pemerintah perlu mengkaji dengan saksama pemberlakuan new normal agar masyarakat tidak menjadi korban,” kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir melalui keterangan tertulis yang disampaikan pada Kamis (28/5/2020).
Ketua Bidang Kesehatan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Syahrizal Syarif juga berpendapat, rencana pemerintah menerapkan tatanan normal baru, jika dilihat dari sisi epidemiologi, tidak tepat. ”Tentu dari sisi epidemilogi tidak tepat,” tuturnya.
Pelonggaran, lanjut dia, harus memenuhi standar minimal, yakni protokol kesehatan yang ketat. Masyarakat harus disiplin mengenakan masker, menjaga jarak dan kebersihan diri, cuci tangan, dan tidak berkerumum menjadi keharusan.
Hal yang perlu digarisbawahi adalah pemberlakuan tatanan normal baru mengakibatkan penurunan kurva kasus Covid-19 menjadi lebih lambat dan membutuhkan waktu yang lebih lama. Penurunan kasus tidak bisa dilakukan secara drastis dengan waktu yang singkat.
”Jika lockdown adalah standar ideal, PSBB adalah standar esensial, maka pelonggaran harus memenuhi standar minimal kesehatan. Pakai masker, jaga jarak, kebersihan diri, cuci tangan, social-physical distancing tidak bisa ditawar,” ujar Syahrizal.