Menyambut Normal Baru, Karyawan Diliputi Kekhawatiran
›
Menyambut Normal Baru,...
Iklan
Menyambut Normal Baru, Karyawan Diliputi Kekhawatiran
Pelonggaran PSBB disambut dengan kekhawatiran oleh para karyawan yang bekerja di DKI Jakarta. Mereka mencemaskan penularan virus korona tipe baru yang akan semakin meluas apabila masyarakat sudah kembali beraktivitas.
Oleh
sharon patricia
·4 menit baca
Rencana pelonggaran pembatasan sosial berskala besar atau PSBB untuk masuk dalam normal baru membuat para karyawan yang bekerja di wilayah DKI Jakarta khawatir. Mereka mencemaskan adanya potensi penularan virus di tengah masih tingginya jumlah kasus Covid-19.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat, dari Jumat (22/5/2020) hingga Kamis (28/5/2020), penambahan kasus positif Covid-19 di wilayah Jakarta, yaitu 99, 115, 119, 75, 89, 97, dan 105 kasus. Secara total, jumlah kasus mencapai 7.001 kasus dan masih menjadikan Jakarta sebagai daerah dengan kasus positif terbanyak.
Dalam keadaan itu, berdasarkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 489 Tahun 2020 tentang Perpanjangan Pemberlakuan Pelaksanaan PSBB dalam Penanganan Covid-19 di Provinsi DKI Jakarta, pelaksanaan PSBB diperpanjang hingga 4 Juni 2020. Begitu pun di Kabupaten/Kota Bogor, Kota Depok, dan Kabupaten/Kota Bekasi, Jawa Barat.
Helmi Mia (24), karyawan swasta di kawasan Mega Kuningan Barat, Jakarta Selatan, menyatakan khawatir untuk kembali bekerja di kantor. Terlebih lagi karena berdomisili di kawasan Green Pramuka City, Jakarta Pusat, ia harus menggunakan transportasi umum untuk sampai ke kantor.
Saat ini, sudah lebih dari dua bulan Mia bekerja dari rumah di Bandung, Jawa Barat. Ia pun harus mengurus surat izin keluar masuk (SIKM) untuk kembali kerja ke Jakarta pada 8 Juni 2020.
Menurut dia, karyawan nanti akan dibagi ke dalam beberapa sif agar tetap bisa menerapkan protokol kesehatan untuk menjaga jarak. Dengan begitu, tidak semua karyawan akan masuk pada hari yang sama.
”Sejujurnya takut kerja ke kantor, soalnya kantor di CoHive. Jadi, setiap lantai perusahaannya berbeda-beda. Artinya akan ada banyak orang, belum lagi transportasi ke kantor. Kan, pakai kendaraan umum, enggak tahu harus bagaimana nanti,” ujar Mia saat dihubungi Kompas, Jumat (29/5/2020).
Begitu pula dengan Philipus Randy (25), karyawan swasta di wilayah Sunter, Jakarta Utara, yang telah menjalani bekerja dari rumah selama dua bulan di Bogor. Ia akan kembali bekerja di kantor pada 2 Juni 2020.
Untuk sementara, ia juga lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi dibandingkan dengan harus naik kereta commuter line ke Jakarta. Upaya ini untuk mencegah adanya penularan penyebaran Covid-19.
”Menurut saya, sebenarnya belum aman untuk kembali bekerja ke kantor mengingat jumlah kasus (Covid-19) yang meningkat signifikan di bulan ini. Semoga masyarakat dapat tetap menjaga jarak dan mematuhi aturan,” ujar Randy.
Dionisia Gusda Putri (25), karyawan swasta di daerah Jakarta Selatan yang akan kembali masuk kantor pada 5 Juni 2020, juga berharap agar para karyawan benar-benar mematuhi protokol kesehatan. Menurut dia, sistem sif karyawan harus dilakukan, mengingat ruangan kantor yang tidak begitu besar.
”Kalau sudah masuk lagi, harus tetap ada sif. Ada yang sebagian di rumah, sebagian di kantor. Kalau semuanya masuk, enggak mungkin kami bisa jaga jarak 1 meter antarkaryawan,” kata Putri.
Penggunaan masker, kata Putri, juga harus terus disosialisasikan agar tidak dianggap sepele. Sebab, ada kecenderungan ketika berada di kantor, karyawan akan merasa aman sehingga tidak perlu menggunakan masker.
Biaya tinggi
Pakar kebijakan publik Achmad Nur Hidayat menilai, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi akan melahirkan ekosistem ekonomi berbiaya tinggi. Pada akhirnya akan memberatkan pengusaha dan konsumen.
Pengusaha, kata Achmad, harus menjalankan aturan Kemenkes, antara lain menyiapkan ruangan yang lebih besar untuk jumlah tenaga kerja yang sama agar bisa menjaga jarak. Apabila tidak tersedia, pengusaha harus rela memberlakukan sif kerja. Ini akan membuat kerja dalam normal baru akan memakan ongkos lebih besar.
Seluruh biaya yang ditimbulkan dari kondisi normal baru pada akhirnya akan membebani konsumen karena harga-harga akan dinaikkan. ”Ini yang disebut sebagai tail effect dari ekonomi normal baru, yaitu terbentuknya ekosistem ekonomi berbiaya tinggi di domestik, juga di seluruh dunia,” kata Achmad.
Ekonomi berbiaya tinggi ini akan menghambat laju pertumbuhan dan menyebabkan kesenjangan sosial yang tinggi. Mereka yang berpenghasilan rendah akan terdampak dengan kenaikan harga tersebut dan kesulitan menjangkau kebutuhan sehari-hari.
”Maka pemerintah perlu melakukan upgrading sumber daya manusia ke arah melakukan aktivitas ekonomi dan layanan publik tanpa melakukan kontak fisik secara langsung. Dengan begitu, Indonesia akan siap menghadapi kondisi normal baru,” ucap Achmad.