Rock dan Mie, Siasat Bertahan di Tengah Gempuran Korona
›
Rock dan Mie, Siasat Bertahan ...
Iklan
Rock dan Mie, Siasat Bertahan di Tengah Gempuran Korona
Pekerja lepas di Shenzhen, China, Wang Zongxing, mencoba bertahan di tengah lesunya dunia industri akibat kebijakan pembatasan yang diberlakukan untuk mencegah penularan Covid-19.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
Semula, Wang Zongxing berharap dengan membuka restoran, maka hidupnya akan menjadi jauh lebih baik setelah selama 14 tahun bekerja sebagai buruh pabrik di Shenzhen, China. Namun, restoran bakmi di kampung halamannya itu sebenarnya bukanlah impiannya. Ketertarikan Wang sebenarnya hanya pada musik rock.
Dikenal dengan nama panggung Ghost, Wang (33) adalah vokalis di kelompok band Zhong-D-Yin, yang lagu-lagunya menceritakan kehidupan pekerja migran di kamar-kamar asrama yang sumpek-sesak. Mereka juga bicara soal kesendirian, percintaan, bahkan risiko kecelakaan kerja. ”Kalau sedang di atas panggung, saya bisa lupa segalanya. Saya bahagia hanya ketika di atas panggung karena bisa menjadi diri sendiri,” kata Wang.
Kelompok band beranggotakan lima orang yang bermarkas di kawasan industri Shenzhen itu mulai dibentuk sembilan tahun lalu setelah proyek amal yang diarahkan untuk mengajari para buruh pabrik bermain musik. Sejak awal, Zhong-D-Yin yang berarti ”subwoofer” dan ”musik rakyat” itu hanya mau mendokumentasikan kehidupan dan budaya pekerja migran. Akibat tekanan ekonomi dan kenaikan harga tanah, yang dalam delapan tahun terakhir menyebabkan banyak pabrik harus pindah ke pedalaman atau ke kawasan Asia Tenggara.
Celakanya, wabah Covid-19 memperparah kondisi itu. Banyak pekerja migran yang tidak mau kembali ke Shenzhen lagi setelah karantina. ”Dampak virus ini besar sekali. Sekarang tidak banyak orang yang bekerja di sini. Kalau begini terus, restoran ini paling hanya bisa bertahan dua bulan,” kata Wang sambil meramu bakmi goreng.
Untuk mencari penghasilan tambahan, Wang mau tak mau harus bekerja di pabrik pembuat kotak karton. Ia tak punya pilihan lain karena tak banyak pabrik yang beroperasi kembali setelah pencabutan kebijakan karantina.
Pabrik Lesu
Kota Shenzhen tumbuh pesat, dari yang semula kawasan pedesaan pada 1980-an hingga kini menjadi simbol kebangkitan kekuatan ekonomi dunia China. Namun, kini, karena pemerintah Shenzhen lebih fokus pada sektor industri modern dan harga properti yang kian melambung, banyak produsen kelas bawah yang tersingkir.
”Sekitar 10 tahun lalu, wilayah ini semuanya pabrik dan kumuh. Sekarang ada kereta bawah tanah, jalan raya, dan mal-mal mewah. Harga sewa apartemen jadi 3.200 yuan (sekitar Rp 6,6 juta) per bulan. Padahal upah pabrik hanya 5.000 yuan (sekitar Rp 10,3 juta) per bulan. Hidup makin susah bagi buruh,” kata Wang.
Beban kehidupan kian berat gara-gara virus korona jenis baru penyebab Covid-19. Laporan dari perusahaan sekuritas Zhongtai, bulan lalu, menyebutkan, wabah Covid-19 menghilangkan 70 juta lapangan pekerjaan dan menaikkan pengangguran hingga 20,5 persen. Total perdagangan luar negeri Provinsi Guangdong mencapai 1,9 triliun yuan (Januari-April), turun 9,9 persen.
Buramnya kehidupan pekerja migran di Shenzhen membuat misi Zhong-D-Yin kian penting. Huang Xiaona (34), pemain bas Zhong-D-Yin yang juga pekerja sosial itu, menceritakan rumput liar mulai tumbuh di mana-mana. Tidak terdengar deru mesin pabrik lagi. ”Kami mau mengumpulkan kenangan para pekerja, menulis sejarah kita sendiri, dan menceritakan seperti apa kehidupan di sini dengan suara kami sendiri,” ujarnya.
Zhong-D-Yin kini sedang mempersiapkan konser perdananya setelah wabah Covid-19, bulan depan. ”Kami ingin mengenang mereka yang sudah tiada sehingga nanti di masa depan orang akan tahu betapa berartinya hidup para pekerja,” kata Huang. (REUTERS)