Adaptasi menjadi jalan terbaik untuk bertahan di era pandemi ini. Saat perekonomian terpukul, warga mencari inisiatif dengan membuka usaha baru yang bisa dijalankan.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
Kota-kota besar seringkali dianggap sebagai ladang untuk mencari penghidupan. Namun, pandangan demikian tidak berlaku bagi Fitnasih (29), warga Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, dan Setyo Hermawan (22), warga Desa Depokrejo, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo. Dua warga desa ini membuktikan bahwa datangnya aliran uang hanya bergantung pada kemauan dan niat, dan bukan mengandalkan tempat.
Bekerja sebagai pemandu wisata sejak 2017, Fitnasih menyadari bahwa Desa Karangrejo memiliki banyak potensi yang bisa dikembangkan sebagai obyek wisata dan menyerap banyak tenaga kerja di dalamnya. Oleh karena itu, warga desa pun semestinya tidak perlu lagi mencari pekerjaan dengan pergi ke luar kota.
Mempertimbangkan hal itu, tahun 2018 Fitnasih bersama dua rekannya membuat program wisata dolan ndeso Karangrejo, yang menawarkan 10 paket wisata. Mengandalkan konsep pemberdayaan masyarakat, maka pelaksanaan setiap paket wisata selalu melibatkan ratusan warga, mulai dari kelompok pemuda hingga ibu PKK.
Setiap bulan, beragam paket wisata tersebut mengalirkan uang ratusan juta rupiah, yang kemudian dibagi rata untuk tiap orang yang berperan serta di dalamnya. Dengan upaya itulah, tiap orang bisa mendapatkan penghasilan lebih dari Rp 3 juta, melebihi upah minimum kabupaten (UMK) Magelang yang sekitar Rp 2 juta.
Fitnasih pun secara swadaya menjalankan usaha. Dia membuka kafe serta homestay yang dikelolanya bersama sejumlah warga. Tak hanya itu, dia pun mengajak warga lain untuk melakukan hal serupa. Dia mendatangi rumah-rumah yang layak untuk dijadikan tempat menginap, dan memberi tahu mereka tentang konsep homestay.
Kreativitas berusaha juga tidak mati di tengah pandemi. Karena kunjungan wisata berhenti, dia pun bergerak membuka usaha baru, yakni membuat racikan wedang tradisional. Masih dengan mengandalkan konsep pemberdayaan warga, maka dalam usaha ini pun dia merekrut empat tenaga kerja dan melibatkan banyak petani empon-empon dari desa lain dan dari desanya sendiri.
Setyo Hermawan (22) juga tidak kalah produktif. Tahun 2017, dia bahkan memulai usaha tanpa modal. Hanya bermodal nekat, melakukan pendekatan kepada relasi yang dimiliki, dia kemudian menjalankan usaha jual beli sapi dengan memakai uang pembelian yang dibayarkan pelanggan secara bertahap. Seiring waktu, dia kemudian meminjam uang sekitar Rp 100 juta kepada ayahnya untuk membangun kandang. Namun, dalam jangka waktu kurang dari dua tahun, uang tersebut sudah dikembalikan.
Kini, dia sudah menjadi pemilik usaha penggemukan sapi yang diberi nama Berkah Setia Farm. Jumlah sapi yang dimiliki bervariasi, pada hari-hari biasa berkisar 40 ekor dan pada hari-hari menjelang Idul Adha bisa mencapai hingga ratusan ekor.
Dia memiliki empat kandang sapi yang tersebar di empat kecamatan. Dari usaha yang dikelolanya, dia bisa mendapatkan omzet Rp 10 juta hingga Rp 50 juta per bulan. Dia hanya memiliki satu karyawan yang dipercaya untuk menjaga sapi. Namun, tiap minggu, dia pun acap kali mengajak puluhan temannya untuk terlibat merawat dan mengantarkan sapi kepada pembeli saat ada pesanan.
Sehari-hari, Hermawan masih menjalankan aktivitas sebagai mahasiswa di Yogyakarta. Di antara teman-temannya, dia sering berbagi pengalaman, dan lebih dari 10 kali bermitra, membantu rekannya membuka usaha.
Namun, saat pulang ke rumah, dia pun fokus mengurus sapi. Tidak berhenti sampai di situ, dia hingga kini juga terus mencari-cari ide pengembangan jenis usaha baru. Baginya, aktivitas mencari penghasilan tidak bergantung tempat. Hal yang terpenting untuk berwirausaha, baginya, adalah keteguhan niat dan kegigihan untuk mencari peluang dari relasi yang dimiliki.