Naluri dasar manusia untuk bersosialisasi dan bertahan hidup tak bisa diisolasi selamanya. Maka, sebelum vaksin Covid-19 ditemukan,jalan tengahnya adalah hidup dengan kesadaran dan kebiasaan baru. Disiplin menjadi kunci
Oleh
FX LAKSANA AS
·5 menit baca
Naluri dasar manusia untuk bersosialisasi dan bertahan hidup tak bisa diisolasi selamanya. Maka, sebelum vaksin Covid-19 ditemukan, jalan tengahnya adalah hidup dengan kesadaran dan kebiasaan baru. Disiplin menjadi kunci.
Kasus positif Covid-19 pertama di Indonesia yang menimpa dua warga asal Depok, Jawa Barat, diumumkan pemerintah pada 2 Maret 2020. Selanjutnya pemerintah pusat dan daerah melalui sejumlah kebijakannya menginstruksikan agar masyarakat tinggal di rumah per 16 Maret. Dengan demikian, kegiatan sosial-ekonomi masyarakat sampai akhir Mei ini sudah ”tiarap” selama hampir 2,5 bulan.
Semua bidang usaha mengalami tekanan besar. Tak pandang bulu apakah usaha mikro, kecil, dan menengah atau perusahaan besar; formal atau informal, semua mengalami badai.
Semua bidang usaha mengalami tekanan besar.
Berdasarkan data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pada 27 Mei, Covid-19 telah menyebar ke 410 kabupaten dan kota di 34 provinsi. Total kasus positif Covid-19 sebanyak 23.851 orang dengan 1.473 orang meninggal dan 6.057 orang sembuh.
Proyeksi pemerintah berikut realisasi perkembangan Covid-19 menunjukkan tren melandai pada Mei ini. Karena itu, pemerintah menyiapkan skenario normal baru, yakni kembalinya aktivitas sosial-ekonomi warga disertai pelaksanaan disiplin protokol kesehatan.
Normal baru akan mulai diaktivasi berdasarkan kriteria-kriteria yang disusun pemerintah. Jika tidak ada perubahan skenario, dan tren penularan Covid-19 terus menurun, normal baru dilaksanakan bertahap mulai Juni.
Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman dalam Satu Meja The Forum bertajuk ”Pertaruhan di Normal Baru” yang disiarkan Kompas TV, Rabu (27/5/2020) malam, menyatakan, normal baru adalah satu tahap ketika 270 juta jiwa rakyat Indonesia akan hidup berdampingan dengan Covid-19. Hal ini akan berlangsung selama dunia belum menemukan vaksin Covid-19.
”Jadi, ini menyeimbangkan risiko medis dan keniscayaan ekonomi,” kata Fadjroel.
Saat ini, Fadjroel menekankan, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) masih berlangsung di 25 kabupaten dan kota di empat provinsi. Daerah yang tak menerapkan PSBB, berdasarkan pemantauan, masih menerapkan protokol kesehatan untuk mengendalikan penyebaran Covid-19.
Pemerintah, kata Fadjroel, tengah melakukan persiapan menuju normal baru, di antaranya menyiapkan protokol kesehatan per sektor yang disusun Kementerian Kesehatan dan mengupayakan disiplin sosial. Untuk mengawal pelaksanaan disiplin sosial itu, pemerintah menerjunkan 340.000 polisi dan tentara di tempat-tempat keramaian selama 14 hari di empat provinsi yang menerapkan PSBB.
Keputusan untuk memasuki normal baru, menurut Fadjroel, akan didasarkan pada pertimbangan sains dan kesiapan sistem pengendalian Covid-19, di antaranya pelandaian kasus Covid-19 dan kesiapan layanan kesehatan. Normal baru tak akan diterapkan serentak di seluruh Indonesia, tetapi diterapkan sesuai kesiapan daerah.
Tersambung sebagai narasumber lain dalam diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo ialah peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara, Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies Philips J Vermonte, budayawan Agus Noor, dan Rais Syuriah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Australia dan Selandia Baru Nadirsyah Hosen.
Bhima berpendapat, normal baru adalah kebijakan yang sangat prematur. Indikator pelandaian kasus Covid-19 sebagaimana diumumkan pemerintah belum dapat jadi dasar kuat untuk masuk ke normal baru.
Pemerintah, menurut Bhima, juga tidak bisa hanya sekadar mengimbau dan membuat surat edaran tentang protokol kesehatan. Imbauan saja tanpa, misalnya, subsidi alat perlindungan diri untuk UMKM justru akan memunculkan masalah baru.
”Masalah sebenarnya adalah pemerintah seolah menyerahkan pada mekanisme pasar. Jadi, antara produsen dan konsumen. Kita lupa ada intervensi pemerintah,” kata Bhima.
Bhima menilai, stimulus pemerintah selama krisis Covid-19 masih terlalu kecil. Nilainya hanya 2,5 persen dari produk domestik bruto. Sudah begitu, programnya banyak yang kurang efektif seperti Kartu Prakerja. Akibatnya, pemulihan ekonomi akan berlangsung lebih lama.
Berjalan paralel
Philips menilai Indonesia sampai pada titik harus mengambil langkah di mana pencegahan penularan Covid-19 dan aktivitas sosial-ekonomi warga berjalan paralel. Sebab, kebijakan menurunkan kegiatan sosial-ekonomi drastis sudah berjalan hampir tiga bulan.
”Akhirnya harus dilakukan kedua-duanya karena ekonomi harus berjalan. Di sisi lain yang paling penting dilakukan adalah mengusahakan persoalan kesehatan dari epidemiologinya bisa diatasi,” kata Philips.
Paling penting, kata Philips, adalah parameter yang ditetapkan pemerintah untuk melaksanakan normal baru harus jelas dan terbuka. Selanjutnya parameter itu wajib disosialisasikan sehingga menimbulkan kepercayaan dan rasa aman masyarakat untuk beraktivitas.
Masalah hari ini adalah kepanikan-kepanikan sosial yang menurut saya tak perlu.
Parameter-parameter tersebut sebaiknya tidak ditetapkan pada level nasional, melainkan berdasarkan karakter dan dinamika masing-masing daerah.
Untuk itu, Philips berharap pemerintah pusat dan pemerintah daerah bekerja sama intensif. Pemerintah pusat juga harus memperbaiki komunikasinya yang selama ini tidak efektif agar menumbuhkan kepercayaan masyarakat.
Dari perspektif budaya, Agus mengatakan, krisis Covid-19 mestinya menumbuhkan kesadaran baru. Tidak saja pada masyarakat, tetapi juga pemerintah pusat dan daerah yang diwujudkan dalam kebijakan.
Kebutuhan dalam jangka pendek, kata Agus, ialah meredakan kepanikan masyarakat. ”Masalah hari ini adalah kepanikan-kepanikan sosial yang menurut saya tak perlu. Tugas pemerintah di sana, meredakan kepanikan masyarakat dengan konsistensi, sikap, dan contoh. Begitu kepanikan reda, orang punya kesadaran,” kata Agus.
Pelaksanaan normal baru, kata Agus, pasti akan banyak menghadapi kendala teknis di lapangan. Namun, yang terpenting bagaimana normal baru membentuk kesadaran struktural, bukan sekadar kesadaran personal atau individu.
Nadir menyatakan, krisis Covid-19 memunculkan hikmah menguatnya solidaritas masyarakat. Ini menjadi modal sosial yang besar untuk dilanjutkan di masa normal baru. Kritiknya adalah pemerintah kurang melibatkan tokoh masyarakat dan agama.
”Jadi, jangan hanya berpikir bahwa untuk mendisiplinkan rakyat harus lewat kekuatan militer atau polisi. Tokoh masyarakat dan tokoh agama sebaiknya dilibatkan dalam mendisiplinkan umat. Solidaritas sosial yang sudah terjalin dikembangkan lebih jauh secara institusional agar masyarakat lebih disiplin,” katanya.
Mampukah kita mewujudkan kesadaran dan kebiasaan baru itu?