”Normal Baru”, Jejak dan Pesannya
”Lupakan tentang hal besar yang akan datang. Hal itu (kini) sudah mulai. Namanya ‘Normal Baru’, dan 2003 akan menjadi tahun pertamanya. Normal Baru bukan di mana Anda menunggu kejadian besar (boom).
”Lupakan tentang hal besar yang akan datang. Hal itu (kini) sudah mulai. Namanya ‘Normal Baru’, dan 2003 akan menjadi tahun pertamanya. Normal Baru bukan di mana Anda menunggu kejadian besar (boom). Ia tentang sisa hidup Anda.” (Roger McNamee, dalam artikel Polly LeBarre berjudul ”The New Normal” dalam majalah Fast Company, 30 April 2003. English Language & Usage)
Hari-hari ini tak ada frasa yang begitu populer, memenuhi pemberitaan dan acara bincang-bincang di media dan media sosial, seperti new normal (normal baru). Berbagai kalangan, mulai dari wartawan, sosiolog, hingga birokrat membahas frasa ini, mulai dari sisi struktur bahasa hingga bagaimana menegakkannya bagi masyarakat.
Mereka yang tertarik dari segi kebahasaan, khususnya gramatika berkomentar, ”Bukankah normal kata keadaan (adjektiva), kok disandingkan dengan adjektiva lain (new)? Jika di-(bahasa)-indonesiakan, bukankah seharusnya jadi kenormalan baru?”
Lainnya berargumen, normal dalam new normal merepresentasikan kata benda, seperti dikatakan Presiden Joko Widodo dalam kunjungan ke sebuah mal di Bekasi dan Stasiun MRT Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Selasa (26/5/2020), yaitu tatanan hidup baru yang didiktekan oleh era pandemi.
Kita terima new normal, yang oleh harian ini disepakati diindonesiakan jadi ”normal baru” lebih dari sebatas semantik atau sebatas bahasa.
Pencinta film Western masih ingat judul seru tahun 1966, The Good, The Bad, and The Ugly. Adjektiva digunakan untuk menyebut sosok (orang). Pencinta musik juga ingat satu baris lirik ”The Impossible Dream” (Quixote, ”Man of La Mancha”) yang menyebut To right the unrightable wrong. ”Wrong” merepresentasikan persoalan yang tak bisa dibetulkan.
Kita terima new normal, yang oleh harian ini disepakati diindonesiakan jadi ”normal baru” lebih dari sebatas semantik atau sebatas bahasa. Normal baru dikaitkan dengan pandemi Covid-19 adalah tatanan baru yang bisa bersifat sementara, bisa juga bersifat permanen.
Baca juga : Matangkan Penerapan Normal Baru
Dalam sejarah kontemporer, normal baru dalam kehidupan muncul di Amerika Serikat menyusul serangan 11 September 2001 terhadap menara World Trade Centre (WTC) dan Pentagon. Ada banyak pengetatan dalam perjalanan dan pengamanan, khususnya dalam penerbangan sipil.
Frasa normal baru lalu merambah ke berbagai ranah lain, dari ekonomi-bisnis hingga ke pengelolaan lingkungan.
Di Forum IMF
Di kalangan keuangan, orang yang mengenalkan normal baru adalah Mohamed El-Erian, yang memakai istilah itu dalam ceramahnya pada 2010 di Forum Dana Moneter Internasional (IMF) yang berjudul ”Navigating the New Normal in Industrial Countries”. Kuliah ini menggambarkan krisis keuangan yang melanda dunia tahun sebelumnya mengubah ekonomi global, melahirkan normal baru, berupa pertumbuhan lebih rendah secara struktural.
Sebenarnya istilah normal baru ada sebelum krisis keuangan dan ceramah El-Erian. Tahun 2003, seorang venture capitalist, yang juga musisi, Roger McNamee, menggunakan istilah ini untuk menjelaskan satu lingkungan di mana berbagai kemungkinan akan hadir bagi mereka yang mau bermain dengan aturan baru untuk jangka lama. Pemikiran McNamee yang juga berisi peringatan agar orang tidak terperosok dalam ”tirani kemendesakan”. Pemikiran itu dituangkan dalam buku berjudul The New Normal: Great Opportunities in A Time of Great Risk, tulis Mike Ryan, Chief Investment Officer UBS Global Wealth Management, dalam akun LinkedIn-nya.
Ryan menambahkan, penelusurannya untuk normal baru membawanya ke ranah yang tak ada kaitan dengan ekonomi, pasar, atau teknologi. Sebelumnya, Vicki Taylor, tahun 2002 menulis buku The New Normal: How FDNY Firefighters are Rising to the Challenge of Life After September 11. FDNY atau Fire Department of the City of New York adalah departemen di kota New York yang mengamankan terhadap kebakaran atau bahaya lain. Vicki, anggota Unit Pelayanan Pendampingan FDNY dalam bukunya berkisah tentang kehidupan petugas pertolongan pertama pada peristiwa 11 September 2001 berubah mendasar menyusul serangan terhadap WTC dan bagaimana mereka beradaptasi dengan perubahan itu.
Baca juga : Daerah Bersiap Normal Baru
Dalam ekonomi-keuangan, Ryan berpendapat, istilah normal baru mampu dengan baik melukiskan lingkungan makro yang lamban mengecewakan setelah krisis keuangan global. Namun, normal baru pascakrisis 2009 ternyata mengarah ke kondisi yang tampak sedikit menyerupai normal lama.
Bagi yang tertarik mengetahui normal baru di luar kurun dua dekade terakhir, bisa sampai ke era setelah berakhirnya Perang Dunia I. Salah satu yang muncul paling dini adalah artikel Henry Wise Wood berjudul ”Beware!” di National Electric Light Association Bulletin, Desember 1918. Ada juga menanyakan, kapan normal baru lahir, tak sebagai kata keadaan, seperti ”produktivitas normal baru”, tetapi sebagai frasa yang berdiri sendiri (freestanding).
Dalam konteks perubahan, sebenarnya manusia dihadapkan pada perubahan demi perubahan, yang membawa pada keadaan, kondisi, atau tatanan kehidupan baru. Namun, harus diakui, perjalanan peradaban tidak selalu gradual, kecil, atau tak signifikan, tetapi juga tidak jarang dramatis, disruptif, yang menimbulkan guncangan besar. Berikutnya melahirkan yang disebut ”normal baru”, yang berbeda dengan ”normal lama”.
Dalam konsep evolusi, normal baru juga bisa dikatakan sebagai ujian bagi manusia sebagai spesies unggul untuk tetap adaptif dalam menghadapi berbagai tantangan masif yang bersifat global. Dalam konteks perubahan, sebagai hal yang niscaya, normal baru akan terus muncul.
Pesan Covid-19
Dengan kekuatan dahsyat, sosok nirkasatmata virus korona memorakporandakan status quo atau normal lama. Masih harus berkoeksistensi (secara damai, karena terpaksa akibat belum punya senjata pemusnah), manusia mau tak mau harus pandai menata perikehidupan, atau gaya hidupnya, mengikuti apa yang diwajibkan supaya terhindar dari serangannya.
Meski gaung normal baru demikian kuat, dalam bisnis masih banyak hal yang harus menyesuaikan diri. Selain diatur oleh protokol, seperti mal harus mengurangi pengunjung, operator gerai pasti harus menerima, kebiasaan konsumen berubah secara mendasar. Tebersit harapan, akankah semua kembali ke normal lama? (VentureXchange, 3/5/2020).
Sebagian melihat, jika normal baru mengesahkan—misalnya kerja dari rumah—boleh jadi WFH (work from home) menjadi gaya hidup baru yang mesti diterima. Perusahaan bisa mengurangi sewa ruang kantor, tetapi pemilik gedung perkantoran bakal dilanda sepi penyewa. Ini termasuk elemen normal baru yang diperkirakan akan diterima luas.
Baca juga: Kenormalan Baru Jangan Jadi Abnormal Lagi
Terkait pandemi Covid-19, normal baru yang sarat pembatasan di berbagai bidang menyiratkan prospek pertumbuhan lambat untuk tahun ke depan. Pemerintah dan pimpinan perusahaan dihadapkan pada cara mengelola urusan yang berbeda, serta ini berarti mereka harus keluar dari zona nyaman dan seperti disebut VentureXchange harus berani meninggalkan cara-cara yang kini bisa disebut ”tradisional”.
Muncul kerisauan, mendekati normal baru menyeluruh harus membicarakan berbagai masalah ekonomi dan bisnis. Padahal, semua sebenarnya harus bertumpu pada masalah asli, yakni darurat kesehatan manusia. Di sini dikumandangkan pesan, pemerintah dan perusahaan bisa berbuat lebih baik daripada bicara tentang ekonomi dan keuntungan.
Normal baru de facto sudah menyertai kehidupan, mulai dari yang paling dasar di tingkat individu: mencuci tangan dengan sabun, memakai masker, dan menjaga jarak. Meski juga harus dikatakan hal itu belum merata di masyarakat.
Baca juga : Normal Baru Masih Prematur
Normal baru tak perlu diperdebatkan lagi karena seperti disampaikan kontributor Forbes, Josie Cox, Rabu (22/4/2020), apa yang dikandung dalam normal baru segera menjadi ”biasa” (ordinary) meski ada gradasi karena penerimaan orang yang berbeda-beda. Ada yang menganggap normal baru menakutkan, menantang, tetapi juga ada yang menilainya punya daya mengubah dan mencerahkan.
Ungkapan El-Eiran tahun 2010 yang mengatakan, krisis (tahun 2009) tidak saja melukai daging, tetapi juga memotong ”tulang” mungkin terdengar berlebihan, tetapi terdengar lebih pas untuk krisis Covid-19. Mengingat Covid-19 mengubah cara hidup, bekerja, dan berinteraksi serta kita tidak tahu apakah kita bisa kembali ke normal lama setelah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan kini normal baru, kita harus mencanangkan keberhasilan. Pertama, keberhasilan mengekang penyebaran korona. Kedua, kesejahteraan rakyat tetap terjaga. Jika tidak, normal baru benar akan menjadi klise.